2. Hanya Jaminan Perdamaian.
"Kau benar, mari kita pulang!"
*
*
*
Pada akhirnya, selir Yun Zhi beranjak bangun dengan bantuan tangan kurus pelayan pribadinya.
Sebelum pergi, nyonya dan pelayannya itu setengah berjongkok; berpamitan.
Begitu A Jhu mengibaskan tangan, pertanda mengizinkan mereka enyah, mereka pun pelan-pelan melangkah mundur. Setelah berjarak lima meter, keduanya berbalik lalu pergi.
"Ahhh, syukurlah." Terlukis perasaan lega di wajah Xiao Ju. Guna menambah kepuasan hatinya, selir kedua menuangkan anggur lagi pada cangkir porselan biru langit milik wanita itu.
Belum terlalu jauh dari lokasi festival berlangsung. Yun Zhi dan pelayannya berpapasan dengan rombongan penari yang memiliki tubuh nyaris tak punya lemak.
Salah satu dari penari itu berhenti, dan diikuti penari lain.
"Nyonya," sapa si penari, membungkuk lemah gemulai.
Yun Zhi dan pelayannya otomatis berhenti. Kemudian si penari itu bertanya. "Kami adalah rombongan penari dari perbatasan. Sebelumnya, kami tidak pernah datang ke sini. Nyonya, bisakah anda tunjukan jalan menuju ruang festival bulan dirayakan."
"Tidak jauh dari sini. Itu dia ruangannya," jawab pelayan Yun Zhi, menunjuk pintu setinggi tiga meter yang dijaga dua pengawal.
"Terima kasih."
Para penari itu berlalu cepat. Yun Zhi dan pelayannya juga melanjutkan langkah.
Belum terlalu jauh lagi, Yun Zhi mendengar musik ditabuh begitu merdu. Sudah pasti para penari itu sudah menunjukkan bakat masing-masing.
"Nyonya, bukankah nada musik itu nada khas di negara kita. Seingatku, itu dipakai setiap kita semua menikmati cahaya bulan yang penuh," ujar pelayan pribadi Yun Zhi.
Yun Zhi terdiam. Tanpa sadar kelopak matanya terpejam, serta sudut-sudut bibirnya terangkat tipis.
***
Benar memang. Malam ini bulan bulat sempurna. Tepat sekali peramal istana; menjatuhkan hari cocok merayakan festival bulan.
Sayangnya, setiap keindahan ini berlangsung, Yun Zhi dan pelayan pribadinya tidak bisa menikmati secara utuh.
Selalu saja keduanya diganggu. Bila tidak diundang dalam acara, maka jika diundang pun hanya akan dipermalukan.
Hal seperti ini telah berlangsung sejak kali pertama kaki perempuan berdarah dataran barat daya itu singgah di negara ini. Dimana selama ia tinggal, ia hanya dianggap sampah, noda bahkan wujud kutukan dari perdamaian perang lima tahun lalu.
Sebagai jaminan perdamaian, Yun Zhi menerima semua umpatan itu. Toh, di dunia yang luas ini, ia tidak punya tempat lagi untuk kembali.
"Nyonya, jangan lama-lama di luar. Udaranya terlalu dingin. Kau bisa masuk angin," bujuk pelayan pribadi yang sudah bertahun-tahun menemani Yun Zhi.
Respon Yun Zhi hanya seulas senyum seraya menatap sang dirgantara.
"Kalau begitu, pakailah ini." Pelayannya pasrah kemudian mengenakan mantel tebal pada pundak yang semakin hari semakin kurus saja.
"Apa menurutmu, mereka juga sedang melakukan festival yang sama?" Tanya Yun Zhi mendadak.
Pelayan pribadinya mengangguk. "Tentu saja, Nyonya."
Senyum Yun Zhi mengembang. Ia semakin betah duduk di tempat terbuka, depan kamarnya. Tak lupa, ia juga meminta pelayannya membawakan kue bulan yang sempat mereka buat.
"Ambilah kue bulan kita!"
"Hum." Pelayannya pergi dengan semangat. Tak lama, ia kembali membawa nampan berisi sepiring kue bulan beserta poci dan cangkir cangkir kecil.
Currr
Anggur dalam poci itu dituang. Aroma khasnya menyeruak.
"Ini berkat nyonya yang menyimpan guci anggurnya di bawah pohon persik selama satu tahun," kata si pelayan.
Tidak ada tanggapan. Yun Zhi meneguk anggur tersebut setelah satu gigitan kue bulannya.
***
Waktu bergulir.
Baskom api telah padam. Tinggallah arang, serta abu yang masih mengeluarkan asap. Seorang pelayan mengambilnya. Lalu, bergegas ke luar dan diikuti pelayan pelayan lain yang masuk mematikan satu lilin penerangan, juga menyiapkan segala keperluan raja sebelum raja sendiri kembali dari mimpi.
"Raja sudah bangun?"
Sedetik kemudian, Xiao Ju masuk dengan keberanian seolah-olah ia memiliki hak sepenuhnya di istana ini.
"Maaf, Selir Xiao Ju, Raja belum bangun. Tolong jangan diganggu atau---"
"Lancang!!"
Tadinya Kasim melarang Xiao Ju, akan tetapi pria tua itu malah mendapat bentakan dari Xiao Ju sendiri.
"Kau lupa siapa aku? Kau lupa sebelum kau datang, akulah wanita yang selalu mendampingi Raja?"
Mendapat pertanyaan demikian, Kasim hanya mampu tertunduk, memendam dalam keinginan melarang wanita asli negara ini bertindak.
"Minggir!" Kasar sekali sikap selir Xiao Ju.
Tak mau berdebat padanya, Kasim pun lantas memberi jalan selir itu masuk lebih dalam, atau lebih tepatnya ke lokasi ranjang utama A Jhu bertahta dengan megah laksana singgasana.
Begitu mendapati A Jhu masih terlelap. Selir Xiao Ju tersenyum lebar. Ia mengibas tangan, sebagai kode untuk kedua pelayannya pergi.
Patuh sekali pelayan wanita itu. Sekali perintah, mereka gegas pergi. Selir Xiao Ju pun dapat bergerak bebas dengan menaiki tempat tidur A Jhu, disusul membelai wajah tampan rupawan raja itu menggunakan bulu merak.
Geli menjalar. A Jhu yang tadinya sangat nyenyak, menjadi terganggu. Pelan tapi pasti, kelopak mata Raja itu terbuka.
Seberkas cahaya putih menyambut secara hangat. Berikutnya, wajah cantik yang telah lama ia kenal hadir memberinya senyum terbaik.
"Ahhh." A Jhu mendesah malas. Ia hendak menarik selimutnya kembali, tetapi Xiao Ju menahan disertai tatapan nakal.
"Paduka, apa kau lupa?"
A Jhu terdiam. Tampaknya ia sedang berpikir. Maklum, nyawa raja itu belum sepenuhnya kembali.
"Setelah rapat harian, paduka harus datang ke perguruan ayah. Jamuan pertengahan musim gugur telah dimulai. Secara khusus, ayah membuat balap kuda yang hanya diikuti oleh anak-anak didiknya."
"Ahhh." A Jhu mendesah lagi. "Aku baru ingat."
Tanpa komando, raja lekas bangun. Kasim yang melihat cepat-cepat meminta pelayan segera mengurus keperluannya.
***
"Nyonya ..."
Selir pribadi Yun Zhi memberanikan diri masuk ke kamar nyonya nya setelah matahari pagi berpamitan, atau lebih tepatnya setelah ia melihat rombongan pengawal raja berangkat ke padepokan milik ayah selir Xiao Ju.
Wanita yang ia panggil nyonya berbaring di tempat tidur dengan selimut nyaris menutup seluruh tubuhnya.
Pelayan pribadi itu mendekat. Ia menggoyang-goyang pundak Yun Zhi.
"Nyonya, sudah siang. Nanti air panasnya kembali dingin," ujarnya membangunkan.
Selimut perlahan dibuka. Tampak wajah pucat Yun Zhi dengan pandangan redup.
"Nyonya!"
Tentu si pelayan pribadi itu terkejut bukan main. Tanpa komando lagi, ia gegas keluar kamar dan berlari kencang ke arah istana.
Sampai di gerbang masuk istana, ia dihadang dua prajurit.
"Mau apa kau?" Tanyanya bernada ketus.
Si pelayan itu menjawab sambil terengah-engah menyeka keringat. "Tuan tuan, tolong aku, tolong nyonya ku."
"Kau dari mana?"
"Payah! Itu pelayan selir Yun Zhi," timpal prajurit yang lain.
Bukannya lanjut bertanya secara serius. Mereka malah terbahak-bahak menertawakan pelayan tersebut, ya, lebih tepatnya, sih, menertawai selir Yun Zhi sendiri.
"Aku baru tahu selir Yun Zhi punya pelayan secantik ini. Dan lagi, kenapa tidak kau saja yang jadi selir Yun Zhi supaya raja A Jhu mencintainya?"
Si pelayan milik Yun Zhi mengepalkan tangan karena emosi. Kalau saja keadaannya tidak darurat, sudah pasti ia memberi mereka pelajaran.
"Tuan, saya mohon jangan bercanda! Saya butuh bantuan. Saya mohon tuan," minta si pelayan.