10. Menjadi Rahasia.
Subscribenya mana zeyenggg. Ayo, dong!! Dukung othornya biar nggak rebahan mulu ekekek.
***
"Aku adalah satu-satunya orang yang berinteraksi dengan selir Yun Zhi dan pelayannya semalam. Keadaan selir Yun Zhi baik-baik saja. Jika tidak, kemungkinan besar aku akan gatal-gatal seperti yang kalian tebak."
***
Berkat pengakuan jujur Jendral Li, kerusuhan dapat raja kendalikan. Para penduduk itu akhirnya bisa dibubarkan tanpa menyisakan seorangpun. Akan tetapi, rumor palsu itu masih tetap menyambung dari mulut ke mulut. Dan ini membuat para selir terkekeh-kekeh bahagia ketika mereka berkumpul di gazebo tengah danau istana.
"Aku tidak menyangka, Kak. Rencana selir kelima benar-benar bertahan meski paduka sudah turun tangan sendiri."
Xiao Ju meneguk anggur seraya tersenyum puas. Kemudian ia memanggil pelayan pribadinya mendekat.
"Iya, Nyonya."
"Ambilkan hadiah yang sudah aku siapkan untuk selir kelima," suruh Xiao Ju.
Lantas, para selir itu saling menatap dan menutup mulut dengan sebelah tangan.
"Wah, wah, kak Ju benar-benar berhati baik," puji selir kedua.
Xiao Ju menerawang telapak tangannya yang putih bersih laksana salju. Tersemat cincin di jari manisnya yang ramping.
Selir yang katanya paling cantik itu berkata, "Siapapun yang bisa memuaskan hatiku, aku pasti akan memberinya hadiah."
Para selir yang lain langsung tersenyum lebar saling memandang kembali.
"Jika demikian, tentu aku pun akan mengerahkan seluruh energiku untuk memuaskan hatimu, Kak Ju," ucap selir kedua diselingi tawa. Yang lain mengikuti, sedang Xiao Ju hanya tersenyum membayangkan nasib Yun Zhi kedepannya ketika ia keluar kediaman.
***
Selain ruang kerja yang menjadi tempat menyendiri. Raja A Jhu juga punya satu tempat lagi. Yaitu tempat ia mengasah kemampuan seni bela dirinya, sekaligus tempat ia bersemedi kala pikiran kacau.
Hanya di tempat inilah, tidak seorang pun diizinkan masuk meski itu seorang Kasim. Oleh karenanya, tempat pelatihan seni bela diri Raja A Jhu biasa disebut sebagai tempat terlarang.
Satu bulan sekali, atau satu bulan dua kali, raja A Jhu pasti datang ke tempat tersebut. Namun, berbeda bulan ini, karena sekarang adalah ketiga kalinya A Jhu datang bersemedi.
Kasim dan jendral Li yang menunggu tidak jauh dari ruangan tersebut hanya bisa memantau sambil sesekali berbincang-bincang.
"Lima tahun telah berlalu, kebencian Raja pada selir Yun Zhi seolah kian bertambah," ujar Kasim.
Jenderal Li bukan tipikal orang yang bisa diajak bicara panjang kali lebar. Selain itu, ia tidak punya keberanian membicarakan rajanya secara diam-diam.
Setiap Kasim membahas hal sensitif; tentang raja, maka Jendral Li memilih bungkam.
"Jendral Li dan Yang Mulia adalah teman seperjuangan semasa di perguruan. Bahkan kalian pernah dikirim ke kota perbatasan feng xue untuk menuntaskan para pemberontak, sekaligus menghadang masuknya pasukan musuh dari dua arah, barat laut dan timur laut. Mustahil kalau kalian berdua tidak saling berinteraksi."
Jenderal Li tersenyum. Senyuman itu tampak tulus. Matanya menerawang jauh. Jauh sampai ia ingat kalau dulu, ia hanyalah pria biasa yang selalu bersikeras melindungi raja. Raja terkesan. Lalu, ia diangkat menjadi pengawal pribadi hingga berakhir menjadi panglima perang yang bila pedangnya diangkat, maka semua orang akan menundukkan kepala.
"Jendral Li." Panggilan Kasim mengembalikan kesadaran jenderal besar tersebut.
"Ya," jawabnya tegas.
"Apa kau tahu alasan dibalik kebencian Yang Mulia pada selir Yun Zhi?" Tanya Kasim dengan tatapan mengulik.
Jendral Li menggeleng. Pada kenyataannya, ia sama sekali tidak tahu. Dan walaupun ia tahu, maka biarkan jawaban itu menjadi tebak-tebakan semua orang.
"Ishh."
Kedengarannya, Kasim kecewa akan jawaban jendral Li. Ia juga berdecak-decak menyayangkan.
Giliran jenderal Li yang balik bertanya. "Kasim sendiri seorang hamba yang sudah bertahun-tahun mengabdi pada Yang Mulia. Apa Kasim tidak tahu alasan dibalik kebencian Yang Mulia pada keturunan barat daya itu?"
Kasim mendesah kasar. Kelihatannya ia juga sama sekali tidak tahu.
"Jika aku tahu, aku tidak akan punya keberanian menguliknya bersamamu."
Senyum jenderal Li mengembang tipis-tipis. Setipis sapuan angin malam ini.
Di sisi lain.
Orang yang menjadi topik utama mereka tengah duduk bersila menghadap Utara. Tiap sisi ruangannya diletakkan dupa wewangian untuk mengusir nyamuk, sekaligus sebagai penenang. Sehingga selama satu jam ini, Raja betah bersemedi meski suara-suara asing mulai menelisik gendang telinganya.
Suara asing itu hampir mirip bisikan. Tapi bisa juga disebut tiupan angin. Namun, satu hal yang pasti. Di sini tidak ada secuil pun ruang untuk angin berhasil masuk. Lebih-lebih dalam bentuk gulung-menggulung.
***
Jatuh ke waktu yang sama. Itu artinya seharian sudah Yun Zhi dan pelayannya menjalani hukuman kurung.
Selama itu pula, tidak ada asupan makanan maupun minuman yang mereka telan.
Kini, tubuh mereka tampak kurus kering dengan pandangan nanar ke bulatnya bulan di antara mega-mega legam.
"Apa anjing-anjing milik tetangga sudah meninggalkan rumah mereka?" Entah itu pertanyaan atau sekedar tebakan. Yin Er tak menjawab.
"Dua dupa yang dinyalakan setelah langit semakin gelap hampir habis terbakar. Tapi gonggongan mereka yang riuh seakan punah. Mungkinkah, mereka tidak sudi mengeluarkan suara ketika tahu salah satu tetangganya adalah tahanan?"
Pandangan Yin Er teralihkan. Dari samping, wajah nyonya nya terlihat begitu indah. Terutama pada bagian hidung mancung seperti sengaja digaris sempurna oleh pelukis handal. Namun, bukan itu yang tengah ia perhatikan, melainkan raut seperti apa yang nyonya nya miliki sampai malam ini nyonya nya banyak berbicara; aneh.
"Apa yang kau lihat, Yin Er?" Yun Zhi tersadar. Ia pun menoleh, membuat bola matanya tertambat dengan netra teduh milik Yin Er.
Yin Er menggeleng cepat. Pun berbalik menghadap bulatnya bulan lagi.
Ah, sial, kini ia ketinggalan momen mega-mega gelap menelan secuil bulatnya rembulan.
"Aku terlalu banyak bicara." Yun Zhi sadar sendiri. "Mari masuk! Masih ada hari panjang yang menunggu."
***
Keesokan harinya.
Gerbang diketok. Setengah sadar, Yin Er berlari tunggang langgang. Tanpa ia melihat, sebuah batu bertahta di tengah jalan. Alhasil, kakinya tersandung. Ia hampir-hampir terjatuh. Beruntung seonggok tangan kekar berhasil menangkap salah satu pundaknya.
Posisi Yin Er miring, nyaris mencium tanah. Ia pun dapat melihat sepasang sepatu mahal. Gegas ia membenarkan posisi; menegakkan tubuh.
"Ahhh." Ia mendesah kecil seraya merapikan helaian rambut yang sempat kacau.
Setelah itu setengah membungkuk menyambut. "Selamat pagi, Jendral Li. Maaf telah merepotkan anda."
Sekarang pertemuan kali ketiganya yang membuat degup jantung jendral Li tidak bisa dikontrol.
Lagi dan lagi pria itu hanya bisa mengeluarkan kata-kata kaku.
"Makanan ini untuk sekali makan. Siang dan sore nanti aku akan datang lagi."
Seperti itu ucapannya sembari menyerahkan nampan berisi mangkuk mangkuk dan piring makanan.
Yin Er berdegup kagum. Tapi bukan pada makanannya, melainkan pada ketangkasan lengan jendral Li kala membawa baki tersebut.
"Apa itu seringan kapas, jendral?" Tanyanya, polos. Maklum, bila dihitung, umur Yin Er baru 16 tahun.
Jendral Li tak menjawab. Ia menyodor paksa baki makanan tersebut. Yin Er pun agak kesusahan, karena isinya lumayan berat.
"Habiskan!" Tegas jendral lantas berbalik, mengunci gerbangnya kembali.
Aroma sedap makanan berhasil mengusir kecemasan di wajah Yin Er. Pelayan 16 tahun itu tak sabar menyerahkan makanannya kepada Yun Zhi.
"Nyonya …"
Begitu kamar Yun Zhi dibuka, Yin Er terhenyak hebat.
"Nyonya!!!"