11. Menyuap.
Subscribenya mana zeyenggg. Dukung othornya dong, ih.
***
"Nyonya!!!"
Yin Er terpekik mendapati Yun Zhi tidak lagi di atas kasurnya. Putri bungsu dari mendiang Raja di barat daya itu sudah berada di lantai dalam posisi duduk.
Wajahnya pucat pasi disertai batuk berkali-kali.
Gegas, Yin Er meletakkan baki makanan tadi di atas meja. Kemudian ia memapah nyonya nya bangun.
"Nyonya, apa yang terjadi?" Tanyanya seraya mengusap peluh di kening Yun Zhi.
Bersama seulas senyum, Yun Zhi membalas, "Tidak apa-apa, Yin Er, tidak apa-apa. Jangan khawatir."
Tidak mungkin, Yin Er tidak khawatir kalau keadaan nyonya nya demikian. Bahkan mood makan yang tadinya membuncah seketika menguap.
"Penyakit dingin itu datang lagi," lirih Yin Er.
Yun Zhi mengelak, "Tidak, Yin Er. Aku baik-baik saja. Sungguh."
Yin Er tak mendengarkan Yun Zhi. Gadis itu meminta nyonya nya tiduran sementara ia gegas berlalu.
Satu dupa kemudian ia kembali. Lengkap dengan mangkuk obat yang sudah direbus selama kurang lebih sepuluh menitan.
Sebelum meminumkan obat itu, Yin Er menyuapi Yun Zhi lebih dulu. Tidak perlu banyak-banyak. Setidaknya untuk mengisi perut kosong nyonya nya.
Sesuap demi sesuap, sup obatnya diminum. Setelah habis, Yun Zhi menidurkan kepala di pangkuan Yin Er.
Di luar hujan salju berlangsung. Tubuh Yun Zhi bertambah menggigil. Yin Er masih ingat masa-masa di negaranya. Ia teringat sebuah lirik lagu yang dinyanyikan saat musim dingin datang.
"Petualang kecil lari dari rumahnya. Saat itu serpihan salju melapisi jubah jubah manis mereka. Bukan dingin yang mereka rasa, melainkan kebahagiaan atas berkah dewa. Petualang kecil lari dari rumahnya. Tangan mereka menengadah. Berharap serpihan salju akan hinggap. Iya hinggap, tapi kemudian menghilang, menjadi buliran air. Petualang kecil …"
Nyanyian itu suara Yin Er, tapi yang Yun Zhi dengar adalah suara merdu ibunya. Ibu kandungnya. Ibu tercintanya. Dan ibu yang sudah pergi bersama ayahnya.
***
Di atas lantai ubin kuno, kedua kaki raja A Jhu berpijak. Di depannya, hal serupa dilakukan jendral Li.
Mereka saling membungkuk, menyimpan tangan kiri di belakang punggung sebelum akhirnya pedang masing-masing diarahkan satu sama lain.
"Jangan memberiku ampun," minta raja.
Jendral Li tersenyum. "Kalau begitu jangan salahkan hamba, Yang Mulia."
"Sombong!" hardik Raja, ditanggapi kekehan kecil.
Tanggg
Raja mengawali menyerang bagian leher, sigap jendral Li menangkis.
Suara khas yang timbul memenuhi ruangan itu. Dari luar, Kasim menunggu dengan setia sampai beberapa saat kemudian datanglah selir Xiao Ju beserta pelayan pribadinya.
"Selir Xiao Ju," hormat Kasim, setengah menunduk.
Kemudian Xiao Ju mengangkat tangan, memberi isyarat pelayannya.
Pelayan selir pertama itu memindahkan kotak hadiah yang ia bawa ke telapak tangan nyonya nya yang sudah siap.
Kasim melirik sepintas. Lalu, sudut-sudut bibirnya terangkat, karena sudah tahu apa yang akan terjadi.
Selir Xiao Ju membuka kotak hadiah tersebut. Tampaklah kilauan batu mutiara hingga membuat kedua bola mata Kasim menyipit saking silaunya.
Sambil tersenyum, selir Xiao Ju menutup kotak hadiah tersebut.
"Di timur laut sana, mutiara seperti ini adalah hasil terbaik lautan mereka. Pecinta barang mahal sepertimu tentu paham betul berapa koin emas yang harus dikeluarkan untuk barang ini," ucap selir Xiao Ju dengan nada santai tapi tetap anggun.
Kasim sangat tergoda. Dari tadi pun ia berusaha menahan tangannya untuk tidak menyentuh.
"Jadi … apa kau mau, Kasim Wu?" Tanya selir Xiao Ju setengah menggoda.
Kasim susah payah menelan ludah acap kali memperhatikan kotak hadiah itu. Demi apapun, ia tidak kuat jika tangannya tak menyentuh barang antik itu. Namun, satu hal yang pasti, selir Xiao Ju tidak akan secara cuma-cuma memberikan mutiara tersebut.
Kasim mendekatkan telinganya ke permukaan pintu. Suara pertemuan dua pedang masih jelas. Itu artinya, Raja dan jenderal Li belum menemukan titik kalah.
"Jadi apa yang nyonya minta?" Tanya Kasim, bisik membisik.
Selir Xiao Ju melipat tangan di atas perut. "Tidak banyak," katanya.
Kasim lebih mendekatkan wajah. "Boleh selir ungkapkan."
Xiao Ju memutar bola matanya sesaat. Entah ia merasa gerah atau apalah. Ia merentangkan kedua tangan kembali, dan menghembus nafas panjang.
"Aku tidak mau tahu caranya. Aku minta kau membujuk raja agar mengambil salah satu selirnya sebagai ratu. Dan kau paham bukan, selir mana yang pantas menjadi ratu," pinta selir Xiao Ju dengan nada sombong seolah-olah posisinya di sini setara dengan A Jhu.
Kasim terhenyak. Langkahnya mundur seketika.
Tampak kekesalan di wajah Xiao Ju. Ketus wanita itu mencibir, "Cihh, kau pun tak punya nyali."
Kasim menggeleng. "Sumpah demi dewa, hamba bahkan tidak berani membahas masalah kedudukan ratu, yang mulia selir. Lantas, bagaimana hamba bisa …"
Klontanggg
Saat bersamaan raja A Jhu berhasil melempar jauh pedang jendral Li, dan pedang miliknya mengarah leher panglima kavaleri itu.
Kasim dan selir Xiao Ju sama-sama tersentak kaget. Sekali lagi, Kasim Wu menguping kegiatan di dalam.
Senyum raja A Jhu mengembang. Dengan nafas tersengal-sengal ia membanggakan diri. "Kau kalah lagi, Jendral Li."
Jendral Li sama tersengal-sengalnya. Dan meskipun ia kalah, ia tetap tersenyum puas.
"Keahlian pedang Yang Mulia semakin meningkat."
Raja A Jhu tak sampai terbang. Ia menarik pedang, serta memasukkan kembali ke wadah.
Kedua alis Kasim Wu terangkat. Gegas ia meminta Xiao Ju dan pelayannya pergi sebelum kedatangan mereka disadari Raja.
"Pikirkan ini baik-baik, Kasim Wu."
Ah, sial. Kasim Wu kehilangan momen menyentuh mutiara itu. Ia harus benar-benar memutar otaknya supaya raja tidak murka tatkala ia menyungging soal posisi ratu.
Sekarang Raja dan jenderal Li duduk bersebelahan meluruskan kaki. Pandangan mereka serempak ke langit-langit ruangan.
Huhhh
Mereka menetralkan nafas masing-masing. Setelah kembali normal, mereka mulai menatap lurus ke depan.
"Sebagai panglima perang, kau harus banyak berlatih. Masa iya, kau kalah denganku. Lantas, kalau menghadapi musuh bagaimana? Siapa yang akan melindungi aku?"
Jenderal Li menyeringai. Ingin ia memuji. Tapi hatinya meminta bungkam. Dan kalau ia jujur, ia akan berkata, kemampuan orang-orang di luar sana tidak ada yang sebanding dengan raja. Jangankan menyentuh Raja, menatap matanya yang tajam pun mereka tidak akan mampu.
"Ngomong-ngomong, jenderal Li. Kita ini seumuran, tetapi kenapa kau belum juga menemukan teman hidup?"
Disinggung pertanyaan demikian, wajah jenderal Li langsung merona. Ia sengaja memalingkan wajah agar hal itu tidak raja temukan.
"Apa kekuranganmu sampai para gadis tidak ada yang tertarik?" Itu bukan pertanyaan, melainkan Raja yang berpikir sendiri.
Bicara soal kekurangan. Tentu jenderal Li nyaris sempurna. Namun, siapa yang tahu soal hati.
"Jenderal Li, katakan padaku. Di negara ini, siapa yang kau cinta? Meski harus dengan pertarungan, aku akan membawanya untukmu."
Pria panglima kavaleri itu membisu. Bukan karena ia tak punya jawaban, akan tetapi hatinya yang tiba-tiba memikirkan seseorang.