Sekretaris Genit Menyebalkan
Aku memandang kepergian Valdo hingga punggungnya menghilang. Kurapikan diriku sendiri di depan cermin dan beranjak ke lantai satu untuk sarapan.
Kedua pelayang yang mendandaniku tadi nampak tertunduk ketakutan di dekat pintu kamarku. Mereka berdua adalah pelayan yang khusus di bayar Valdo untuk mendandani dan melayani kebutuhan pagiku.
"Maafkan aku, terima kasih ya untuk bantuan kalian," bisikku pada keduanya.
Mereka berdua memandangku takut-takut.
"Kalian boleh pergi ke dapur, Bik Darsih akan memberi kalian sarapan," lanjutku kasihan.
Mereka pasti berangkat pagi-pagi sekali dari rumah untuk bekerja. Valdo memang bar-bar suka seeneknya menyuruh orang. Meski imbalan gaji yang diberikannya cukup lumayan, tetapi tetap saja terkadang tak manusiawi ia memperlakukan orang.
Lima menit kemudian aku sudah duduk manis di sisi kanan tempat Valdo duduk di meja makan. Dengan wajah ditekuk dan cemberut pastinya. Kulirik sarapanku yang hanya segelas jus jeruk dan beberapa vitamin saja.
"Gila! Suami macam apa coba, setega ini mengatur pola diet istrinya. Awas saja sampai aku masuk rumah sakit! Kuadukan semuanya pada Mami," geramku dengan menyimpan tatapan kesal. Kucengkram serbet makan di pahaku dengan gemas.
Mataku beralih melirik sarapan Valdo. Semangkuk oat lengkap dengan buah-buahan dan segelas susu. Tanpa kusadari hampir menetes air liurku melihat sarapannya. Meski hanya semangkuk bubur oat dan buah, setidaknya sarapannya lebih mengenyangkan untuk melewati hari ini.
"Jangan melihat makananku seperti anak gelandangan yang kelaparan melihat makanan mewah deh, Jean!" ledek Valdo sambil tersenyum tipis. Ia mungkin merasa lucu melihat ekspresiku.
"Ish! Dasar suami kejam! Sampai kapan kau siksa aku seperti ini, Valdo?" geramku kesal.
"Kau yang cari masalah! Sudah tahu sedang diet, kenapa kemarin kau malah makan cilok dan cimol bersama teman-temanmu?" omel Valdo menyebalkan.
"Itu jajanan kesukaanku semasa sekolah, Valdo. Tak bisakah aku mendapat keringanan?" tanyaku kesal.
Valdo menggeleng dengan wajah dingin khas pria dengan aura kulkas dua belas pintu.
"Selamat pagi, pak Valdo. Wah sedang sarapan rupanya. Boleh saya ikut sarapan sekalian bersama, bapak?" sapa ramah seorang wanita bertubuh sintal dan berpakaian kerja super seksi, dengan keramahan memuakkan yang dibuat-buat.
Sinis kulirik wanita yang tak tahu diri plus tak tahu malu itu. Namun memang dasar ulat bulu, pandangan tajam menghujam jantung yang kulayangkan hanya dianggapnya angin lalu saja.
"Bik, tolong piringnya dong. Saya mau sarapan sekalian," ujar wanita ganjen itu kepada Bik Darsih. Asisten rumah tangga senior di rumahku. Wanita itu adalah pengasuh Valdo sedari kecil.
"Dasar ulet bulu! Beraninya main minta piring aja tanpa permisi padaku!" geramku dalam hati. Lagi-lagi kuremas gemas serbet makan yang terhampar di pahaku itu hingga lecek!
"Oh, hai! Pagi, Meita. Sudah datang, Kamu. Sebelum kamu sarapan, bisa kamu sampaikan jadwal kegiatan saya untuk hari ini?" tanya Valdo pada wanita itu. Ia tidak mengalihkan pandangannya dari bubur oat dan telepon pintar dalam genggamannya tersebut.
Meita, wanita genit yang rutin merusak mood pagiku itu bernama Meita. Dia adalah sekretaris pribadi Valdo. Wantia super ganjen yang selalu berpenampilan menggoda dengan stelan blazer dan rok sepannya yang kurang bahan. Tujuannya jelas untuk membuat Valdo berpaling dariku.
"Baik, Pak Valdo. Pagi ini jam 09.00 setelah visit kantor akan ada meeting dengan brand kosmetik baru dari Korea. Makan siang dan meet and greet bersama traineer baru di agensi. Setelahnya ... bla ... bla ... bla!"
Dengan malas kudengar obrolan mereka. Aku segera menghabiskan jus jerukku dan ingin segera pergi dari meja makan. Namun baru saja aku hendak beranjak pergi, Valdo menahanku.
"Habiskan semua vitamin dan kapsul kolagennya!" tegas Valdo dingin. Ia berkata padaku tanpa menoleh, bahkan masih memiringkan tubuhnya ke arah Meita.
Aku yang kesal kembali menghempaskan pantatku di kursi empuk meja makan mewah tersebut.
Arggghhhh! Bagaimana dia bisa tahu aku masih menyisakan pil-pil laknat itu? Padahal aku sengaja beranjak saat dia disibukkan dengan jadwal kegiatannya seharian, agar ia tidak melihatnya.
Sengaja hanya kupandangi pil-pil laknat itu sambil berkaya membangkang padanya.
"Nanti kumakan setelah yoga. Aku ada sakit maag, aku hanya bisa memakannya setelah ...."
"Habiskan sekarang!" hardik Valdo padaku. Pria itu sekarang telah beralih memandang ke arahku dan melotot tajam.
Meita yang hendak mengambil setangkup roti gandum sampai beringsut mundur mendengar suara kencang Valdo. Eh, ada takutnya juga rupanya wanita itu.
Mau tak mau kutenggak juga pil-pil laknat itu dalam sekali teguk. Entah apa jadinya mereka di lambungku. Sengaja kubanting gelas minumku di hadapan Valdo sebelum beranjang pergi.
Valdo tersenyum senang sebelum kembali berkutat dengan Meita. Kulirik gerak-gerik mereka dari sudut mataku, sembari menyiapkan peralatan yogaku di dekat meja makan.
"Hihihi, aduh! Pak Valdo ah ... bisa aja." Samar kudengar suara genit Meita pada suamiku.
Kulihat Valdo diam saja, hanya Meita saja yang ganjen kegatelan dengan gaya dibuat-buat, terlihat sangat menyebalkan. Kadang ia menempelkan tubuhnya lebih dekat dengan suamiku. Lalu sedikit menunduk agar belahan blazernya yang rendah itu memamerkan pemandangan menggoda iman. Kadang ... ah sudahlah, singkatnya memang Meita sedang berusaha menjerat suamiku dengan pesonanya.
"Cih, dasar murahan!" runtukku kesal. Aku segera membereskan pekerjaanku menyiapkan diri untuk kelas Yoga, meski hatiku terbakar cemburu.
"Pak Valdo suka yang mana?" tanya Meita terdengar sempurna dengan kemanjaan yang dibuat-buat.
Aku melotot gemas pada Meita. Tapi apa daya, aku tak berani mendekat dan mengganggu diskusi mereka. Valdo bisa marah besar bahkan menghardikku kencang. Ia tidak akan suka aku menginterupsi apalagi mengganggu pekerjaannya.
"Nyonya ... Nyonyaaa, itu matrasnya kenapa di gigit begitu? Nanti kalau rusak Tuan Valdo marah," ujar Bik Darsih sambil menepuk pundakku.
Aku terkejut dan menyadari bahwa rasa kesalku telah kuluapkan pada matras yoga yang tak berdosa itu. Untung saja matrasnya cukup tebal dan terbuat dari bahan berkualitas terbaik sehingga meski sempat kukunyah dengan gigi-gigiku, tidak sampai meninggalkan bekas.
"Ahhh, Bik. Kesel aku ini lihatnya. Genit banget sih sama Valdo," ujarku setengah malu, setengah curhat.
"Nyonya mulai latihan saja, biar saya yang mengawasi mereka. Itu instruktur yoganya sudah datang," ujar Bik Darsih sambil tersenyum penuh arti padaku.
"Oke, baiklah kalau begitu. Titip mereka berduanya, Bik. Lakukan yang terbaik, fighting!" pintaku sambil menepuk lengan gendut Bik Darsih.
Di rumah ini yang boleh gendut hanya Bik Darsih, tidak yang lain. Pelayan, satpam, tukang kebun, semua harus bertubuh ideal. Tinggi 160 keatas dengan berat proporsional. Mengapa begitu? Entahlah jangan tanya aku, tanyakan sang empunya rumah.
Bibik pengasuh Valdo dari kecil itu sengaja diwariskan ibu mertuaku pada kami. Beliau bilang Bik Darsih sudah merawat Valdo dari kecil. Nyatanya memang hanya Bik Darsih yang bisa memahami Valdo dibanding aku dan Mami, ibu kandungnya sendiri.
"Inhale ... exhale ... atur nafas anda dan temukan inner peace." Mr. Saheer memberi instruksi.
Baru saja aku akan berkonsentrasi, ketika kulihat teriakan dari arah meja makan.
"Awwww!!! Tidak!!! Kenapa bisa begini? Oh my God! Kulitku!"
