Huru-Hara Rumah Tangga
"Kau mau kemana?" teriak Valdo kencang. Pria itu nampak gusar namun masih berusaha menunjukkan taringnya di hadapanku.
Aku hanya membisu dan tak menggubrisnya. Aku sudah lelah dengan segala kegilaan sikap Valdo selama ini. Ingin aku akhiri semuanya cukup sampai disini saja. Aku tak akan sanggup lagi bertahan.
Aku ini istrinya, bukan boneka atau manekin pajangan toko yang harus selalu tampil sempurna. Aku juga bukan tallent model di agensinya yang dituntut untuk menjaga berat badan dan penampilan agar selalu sempurna.
Dua tahun sudah aku menjalani beratnya beban menjadi istri seorang Valdo Prawiradirdja. Seorang lelaki prefectionist akut, arogan, dingin, gila kerja, dengan mulut sarkas luar biasa. Lelah dan tekanan batin yang kualami selama ini cukup sudah. Aku tak sanggup lagi bertahan.
Biarlah aku pergi, kutinggalkan sangkar emas milik Valdo yang digunakannya untuk mengurungku selama ini. Lebih baik aku pulang ke rumah kedua orang tuaku yang sederhana tapi penuh cinta.
"Jeanita Armelia! Kuperingatkan kau! Sekali kau melangkah keluar rumah ini! Aku tidak akan menjamin ketenangan hidupmu!" teriak Valdo penuh kemarahan.
Aku tahu kepergianku melukai egonya. Membuatnya merasa lemah karena tak sanggup membuatku bertahan bersamanya. Valdo adalah pria yang selalu dituruti kemauannya. Dia adallah putra tunggal seorang konglomerat kenamaan di negeri ini.
Tetapi aku sudah tak peduli! Kubanting pintu depan dan kustarter mobilku. Kuperintahkan satpam rumah kami membuka pintu pagar.
Aku pergi! Kutinggalkan semuanya di rumah itu. Tidak peduli lagi aku dengan Valdo dan segala obsesinya yang semakin tak bisa kumengerti.
Sempat kudengar Valdo berteriak pada satpam rumah kami untuk menghalangiku pergi. Tetapi aku sudah keburu keluar pagar. Kasihan, pria yang baru bekerja selama tiga bulan di rumah kami
Meski sikapku sekeras itu, tak urung air mataku menetes juga. Di tengah laju mobilku, aku terisak. Kurasakan sesak didadaku akibat perlakuan suamiku.
Kujalankan mobilku agak kencang menyusuri jalan utama salah satu komplek perumahan mewah di kota ini. Ketika tiba di gerbang komplek, satpam perumahan sempat menahanku. Aku membuka kaca mobilku.
"Nyonya, mohon maaf. Kami mendapat perintah dari Tuan Valdo agar menahan mobil Nyonya untuk tidak keluar komplek," ujarnya sambil menurunkan portal.
"Singkirkan portalnya atau kutabrak portal sekalian pos satpammu itu dengan mobilku!" sinisku dingin. Kutatap satpam komplek dengan pandangan tajam menghujam jantung.
"Maaf, Nyonya! Tolong bekerja sama. Tolong ...."
Kutarik kerah baju satpam komplek dan kudekatkan bibirku pada telinganya. Aku sedang tak ingin berbasa-basi, pun bernegosiasi dengan manis.
"Buka gerbangnya sekarang! Atau aku akan bertindak brutal!" bentakku kencang.
Wajah satpam komplek perumahanku mendadak pucat pasi. Mungkin shock melihatku yang biasanya nampak santai, ramah dan manis berubah menjadi garang. Sungguh bar-bar luar biasa.
"Baa ... baik, Nyonya!" jawabnya terbata sambil bergegas membuka portal.
Aku melajukan mobilku lebih cepat. Satu tujuanku, rumah orang tuaku. Sayangnya karena macet perjalanan yang harusnya cuma empat puluh lima menit, harus kutempuh dengan satu setengah jam.
Aku benar-benar merasakan lelah fisik dan lelah hati dalam waktu yang bersamaan. Energiku rasanya benar-benar sudah terkuras habis. Apa setengah kiloku tadi sudah luruh bersama kekecewaan dan sakit hati, juga kelelahan yang mendera akibat macet?
"Ya Tuhan, macet apa sih ini?" keluhku emosi. Seolah hari ini seluruh alam semesta sengaja berkonspirasi untuk membuatku kesal.
Kunyalakan musik untuk sekedar menghilangkan kebosanan. Namun tak kutemukan saluran musik yang sesuai dengan suasana hatiku. Kumatikan radio dan coba kuputar musik dari koleksiku. Namun isinya adalah lagu-lagu kesukaan Valdo.
"Arghhhhh!" teriakku sangat kesal.
***
Setelah macet satu jam lebih, akhirnya aku tiba di rumah sederhana kedua orang tuaku. Aku melihat sebuah motor matic terparkir di depan rumah tersebut. Sebuah firasat tidak enak tiba-tiba kurasakan. Jangan-jangan ...?
"Assalamualaikum!" ucapku sambil membuka pintu. Entah kenapa hatiku sudah merasa tak nyaman ketika aku memasuki ruang tamu rumah kedua orang tuaku.
"Hei, ada apa ini? Tak biasanya aku tidak nyaman datang ke rumah ini!" batinku bingung.
Namun kemudian segala firasat burukku terjawab sudah. Betapa terkejutnya aku, ketika melihat Valdo sudah duduk manis dan akrab bercengkrama dengan kedua orang tuaku di ruang tamu.
"Waalaikumsalam. Kamu dari mana saja, Jean? Janjian sama suamimu di sini kok malah telat," tanya Ayah yang entah telah dicuci otak Valdo seperti apa.
Aku terbengong mendengar penuturan Ayah. Sandiwara macam apa ini wahai Valdo Prawiradirdja yang licik luar biasa?
Bisa-bisanya dia yang bersikap begitu arogan padaku beberapa jam lalu. Kemudian sekarang sudah tiba di rumah kedua orang tuaku dan bersikap 180° berbeda dari ketika berada di sangkar emasnya itu.
"Sudah sampai, Sayang? Macet ya di jalan?" sapa Valdo super manis bak gulali.
Aku mencebik mual melihat tingkahnya. Kuabaikan Valdo dan kucium tangan kedua orang tuaku takzim, lalu kutinggalkan mereka mengobrol di ruang tamu.
"Jean, mau kemana?" tanya Ibuku.
"Jean capek, Bu. Tadi di jalan macet, mau cuci muka dan istirahat dulu di kamar," pamitku segera berlalu.
"Jean," panggil Ibuku. Beliau menyusulku yang sudah hampir tiba di depan pintu kamar mandi.
"Ya, Bu," jawabku sambil menengok pada Ibu.
"Cuci muka dulu, lalu dinginkan kepalamu," ujarnya sambil membuka pintu kulkas di dekat ruang makan.
Ketika aku selesi mencuci muka, kulihat segelas minuman dingin rasa jeruk sudah terhidang di meja makan.
Aku duduk di dekat ibuku, lalu kuteguk hingga tandas gelas minumanku. Setelah macet yang begitu lama, aku memang merasa sangat haus. Sungguh sangat melegakan sekali.
"Terima kasih, Bu," ujarku.
"Ada apa denganmu dan suamimu?" tanya Ibu to the point.
Aku membisu, tak sanggup memberikan penjelasan apa-apa. Dari dulu, Ibu memang selalu punya firasat yang jitu terhadap apa yang sedang aku alami. Kali ini juga, sepertinya tanpa memberi tahu, Ibu sudah tahu apa yang terjadi.
"Berbaikanlah dengan suamimu. Meski dia begitu menyebalkan tapi Ibu yakin Valdo tulus mencintaimu. Dia terlihat begitu panik tadi ketika baru tiba. Mencarimu seolah kamu telah hilang ditelan bumi," nasihat Ibu padaku.
Aku tetap bergeming dan membuang muka. Bayangan kemarahan Valdo beberapa jam lalu membuatku enggan begitu saja memaafkannya. Enak saja, tidak akan semudah itu kali ini, Valdo!
"Sayang, aku sudah izin Ayah. Malam ini bagaimana kalau kita menginap saja di sini. Aku tahu, mungkin kamu sedang rindu kamar lamamu," ujar Valdo yang datang dengan wajah sumringah. Seolah ia baru saja mencetuskan sebuah ide brilian.
Entah rencana apa lagi yang tersusun di kepalanya sehingga membuat acara menginap di rumah orang tuaku segala. Aku tak mengerti, sungguh tak mengerti apa yang ada dalam kepala seorang Valdo Prawiradirdja.
"Dasar suami arogan yang aneh!" desisku kesal sambil berlalu menuju kamarku. Aku sungguh masih belum bisa memaafkan Valdo atas segala perbuatan hebohnya hanya karena berat badanku yang naik setengah kilo.
Klek! Blam!
Aku terkejut ada yang membuka dan menutup pintu kamarku dengan kencang. Siapa? Valdokah?
