Bantuan Datang
“Tunggu, Pa. Arman ga terima sama ini semua,” protes Arman.
Baskara gagal berdiri dari kursinya dan melihat ke arah Arman, “Apanya yang ga terima? Papa udah ambil keputusan.”
“Ga bisa! Dia itu siapa. Dia orang yang ga penting dan baru saja masuk ke perusahaan. Masa iya Papa langsung percaya ama dia. Dia cuma orang gila yang ngeluarin ide ga pake otak.”
“Menurut Vio, Arman ada benernya juga saat ini, Pa. Kan kita belum tahu kinerja dia.”
“Tapi menurut Papa ide dia bagus kok.”
“Vio ga bilang ide dia jelek, tapi apa salahnya kita antisipasi kerugian. Kita luncurkan dua produk berimbang. Milik Arman dan juga milik Alex, gimana menurut Papa?”
“Heeh! Lu jangan ikutan gila kaya dia ya. Lu pikir ide tim gw bisa bersaing ama produk dia yang ga jelas itu?”
“Kali lu ngerasa produk lu bagus, tunjukin aja gimana pasar merespon. Viona pengen ini jadi kompetisi, Pa. Yang menang nanti dapet hadiah pas ulang tahun perusahaan.”
“Ok, Papa setuju sama usul kamu.”
“Tunggu!”
Baskara menoleh lagi ke Arman, “Apa lagi sih?”
“Kalo dia kalah ... dia harus rela kerja jadi babu di tempat ini tanpa gaji selama satu tahun!” ucap Arman sambil menunjuk ke arah Alex dengan pandangan penuh kebencian.
Alex kaget dengan apa yang di katakan Arman. Dia sampai menoleh ke arah Arman dan ingin protes. Tapi dia takut makin salah dan makin memperkeruh suasana.
“Ok, Papa setuju,” ucap Baskara enteng dan segera meninggalkan ruangan rapat.
Satu lagi ucapan yang mengejutkan untuk Alex. Kali ini sepertinya dia benar-benar sedang menggali kuburannya sendiri.
Padahal tadi dia sudah sempat menyesali idenya, tapi karena Baskara mendukungnya, dia jadi percaya diri kembali. Tapi baru sebentar mendukung, Baskara sudah meletakkan cairan besi panas yang siap tumpah kapan saja.
‘Lu pemilik perusahaan Lex, lu harus siap dikondisi apa pun. Ga boleh nyerah!’ hibur Alex mencoba untuk menyemangati dirinya sendiri.
“Eh lu siapa nama lu? Ah ga penting, persiapan aja lu jadi jongos di kantor ini ya. Aduuh ga nyangka Media Grup bakal punya jongos pake dasi,” ucap Arman dengan nada meremehkan.
Suara tawa mulai terdengar. Sepertinya banyak yang setuju dengan apa yang dikatakan Arman. Mereka memandang Alex sebelah mata dan orang tidak penting yang sedikit gila.
Alex segera membereskan barangnya juga, dia tidak ingin menghabiskan waktu untuk mendengarkan kalimat negatif dari orang lain. Ini akan sangat mempengaruhi kinerjanya.
Semua orang sudah keluar saat Alex akan keluar. Tapi ternyata ada satu orang yang masih tertinggal di sana. Alex melihat orang itu melihat ke arahnya.
“Kenapa? Mau hina aku juga?” ucap Alex.
Gadis itu menggeleng, “Enggak. Nerima asisten ga buat bantu kerja lu.”
Alex kaget dengan apa yang dikatakan sang gadis, “Asisten? Ga salah?”
“Enggak. Gw suka ama ide lu. Gw pikir ide lu masih masuk akal kok. Dan lu pasti butuh gw, karena gw orang lama di sini. Gw dari tim 2.”
Alex melihat ke arah sang gadis yang duduk di seberangnya. Dia sedikit tidak percaya pada gadis itu, tapi apa yang dikatakan ada benarnya, dia butuh orang yang tau tentang perusahaan ini. Untuk mempercepat kerjanya nanti.
“Gw Siska. Lu bisa andelin gw, ga usah ragu.”
Alex mengangguk, “Ok, kita kerja bareng. Satu orang aja cukup buat bantu aku.”
“Ok, gw suka cara lu kerja. Kita mulai sekarang?”
Alex tersenyum dan mengangkat kedua bahunya bersamaan, “Siapa takut.”
Dua orang yang baru saja membentuk suatu koalisi itu pun akhirnya keluar ruangan. Mereka menuju ke ruang kerja tim 2. Di sepanjang perjalanan, Siska banyak menceritakan tentang sistim produksi di perusahaan ini.
Tentu saja ini menjadi langkah awal yang bagus untuk Alex. Dia tidak perlu pengamatan karena ada orang yang pengalaman di sampingnya. Mereka pun akhirnya masuk ke ruang kerja tim 2.
“Oh, jadi ini orang yang Bapak ceritakan tadi ya.”
“Orang baru yang mau buat kita jadi susah dan bakal terancam karirnya ya.”
“Heeh anak baru! Kalo mau susah jangan ngajak kita! Awas ya lu kalo sampe karir kita nanti terhambat gara-gara lu. Siska, lu ngapain ama dia?”
“Gw? Gw mau bantu dia lah. Kami patner sekarang.”
Suara tawa segara meledak di ruangan itu. Sepertinya itu adalah hal yang lucu untuk semua orang saat Siska mengatakan kalau dia akan bekerja bersama dengan Alex. Alex merasa tidak enak dengan Siska saat ini.
“Permisi, Pak Alex ... Anda di panggil oleh Bu Viona di ruangannya,” ucap seseorang yang muncul di balik pintu kaca.
Alex menoleh ke arah Siska, dia sedikit ragu untuk menghadap Viona karena dia memang tidak kenal dengan Viona. Tapi Siska menganggukkan kepalanya pertanda setuju.
“Baiklah. Sis, aku tinggal dulu.”
“Ok, sukses ya.”
Alex segera saja keluar dari ruangan itu dan mengikuti langkah kaki wanita paruh bawa itu membawanya. Dia diajak menaiki lift dan berhenti di lantai khusus ruangan para direktur.
“Bu Vio, Pak Alex ada di sini.”
“Suruh dia masuk dan siapkan teh.”
“Baik Bu.”
Alex pun di suruh masuk dan dia segera duduk di depan meja kerja Viona. Viona memandang lekat pada Alex yang ada di depannya sekarang.
‘Dia beneran ganteng. Kenapa gw baru ketemu cwo kaya gini sekarang sih,’ ucap batin Viona.
“Eheem ... maaf Bu, ada apa Ibu panggil saya ke sini?”
“Hmm ... eh iya, saya mau tau lebih detail tentang rencana produk baru kamu. Kan saya yang bakalan bikin iklannya. Sebutkan spesifikasinya.”
“Spesifikasinya?”
“Iya ... bahan, fungsi, harga, dan lain sebagainya.”
“Saya belum memikirkan tentang itu, Bu.”
Viona kaget sampai menyandarkan tubuhnya di sandaran kursinya, “Maksud kamu, produk kamu bener-bener masih mentah?”
“Iya. Bahkan saya belum tahu apa saja yang berkaitan dengan pemasaran di perusahaan ini.”
“Cih ... trus kamu berani lawan Arman yang udah bertahun-tahun ngerjain ini di perusahaan ini?”
“Iya. Mungkin terdengar sangat naif. Tapi saya yakin bisa, Bu.”
“Hmm saya suka dengan tingkat percaya diri kamu. Tapi minggu depan kamu sudah harus bisa membawa proposal rencana yang sudah matang di depan dewan direksi, kamu sanggup?”
“Saya akan berusaha, Bu.”
“Bagaimana dengan pemasaran?”
“Saya akan mempelajarinya.”
“Terlalu lama,” jeda sebentar untuk mengambil kartu nama di kotak kartu, “Temui orang ini, kalo kamu bisa bikin dia takluk, aku yakin pemasaran kamu akan sedikit mudah,” ucap Viona sambil menyodorkan sebuah kartu nama di tangannya.
Alex melihat ke arah Viona lalu ke kartu nama di depannya, “Baiklah, mungkin ini yang akan saya kerjakan lebih dulu.”
“Itu bagus. Kita ketemu lagi minggu depan di rapat direksi.”
Alex segera permisi untuk kembali ke ruangannya. Dia menyimpan dengan baik kartu nama yang diberikan oleh Viona. Apa yang dikatakan Erik memang benar, Viona lebih pintar dari pada Arman.
Alex kembali ke ruang tim 2. Siska memanggilnya untuk segera bergabung di ruang meeting tim 2.
“Kok di sini?” tanya Alex saat masuk ke ruangan itu.
“Kita kerja di sini aja. Ga akan tenang kalo gabung ama mereka. Tadi Bu Viona bilang apa?”
Alex menyodorkan kartu nama yang diberikan Viona pada Siska, “Disuruh menuin dia.”
Siska melihat sebentar nama yang ada di kartu nama itu, “Ya udah ayo jalan. Ngapain masih di sini. Ayo!”