8 - Aku hanya memberimu sedikit apa yang aku rasakan.
Waktu berlalu, Amber sudah menjadi tahanan rumah selama satu minggu. Rasanya ia sudah sangat merindukan piano. Pada akhirnya ia tidak bisa menahan dirinya untuk menyentuh piano legendaris yang ada di aula besar lantai satu.
“Bibi Glenda, bolehkah aku bermain piano?” Amber bertanya pada Glenda.
Glenda merasa iba pada Amber, terkurung di rumah dan tidak melihat dunia luar pasti membuat Amber begitu bosan. Selain itu tiga hai ini Glenda melihat Amber tampak sangat sedih. Wanita itu masih akan tersenyum padanya, tapi senyum itu tampak lesu.
Sepertinya itu ada hubungannya dengan pemberitaan mengenai tuan mudanya dengan Laurece beberapa hari lalu. Para pelayan juga bergosip tentang hal itu tanpa memikirkan perasaan Amber.
Ia benar-benar tidak mengerti kenapa tuan mudanya menikahi Amber tapi memperlakukan Amber dengan sangat buruk. Yang Glenda lihat dari mata tuan mudanya hanyalah kebencian terhadap Amber.
“Nona bisa memainkannya. Piano ini sebelumnya hanya dimainkan oleh Nona Sharon, jadi bibi rasa itu baik-baik saja.”
“Nona Sharon?” Amber mengerutkan keningnya. Siapa lagi wanita bernama Sharon ini.
“Nona Sharon adalah adik kandung Tuan Muda.” Glenda mengerti arti dari kerutan di kening Amber. Ia tidak ingin Amber salah paham jadi ia memberitahu Amber.
“Jadi dia memiliki adik.” Amber tidak pernah tahu apapun tentang Oliver kecuali nama keluarganya dan statusnya sebagai pemimpin Phoenix Grup.
“Nona, silahkan bermain piano. Saya akan mengurus pekerjaan lain.” Glenda tidak ingin berbicara lebih banyak tentang keluarga Oliver pada Amber. Ia tidak ingin mendahului tuannya.
“Baik, Bibi. Terima kasih.”
“Ya, Nona.”
Amber berdiri di sebelah piano, jarinya menyentuh lembut penutup tuts piano, setelahnya ia membuka penutup itu. Amber segera duduk, ia memposisikan jarinya di atas tuts hitam putih di depannya.
Perasaannya sudah buruk selama beberapa hari ini, ia harap bermain piano bisa kembali membuatnya menjadi lebih baik. Menarik napas dalam, Amber mulai menekan jarinya, bergerak lincah di atas piano. Memainkan nada sulit yang hanya bisa dimainkan oleh segelintir pianis profesional.
Nada menyayat hati keluar memenuhi setiap sudut ruangan besar itu. Melodi ini menggambarkan keseluruhan perasaan Amber sekarang. Ia terluka parah, dan ia sendiri tidak tahu harus bagaimana mengobatinya.
Mata Amber terpejam, ia membiarkan jemarinya yang mengungkapkan betapa tragis hidupnya.
Beberapa pelayan yang ada di sekitar ruangan itu tertarik oleh suara magnetik melodi yang dimainkan oleh Amber. Mereka berdiri sembari memperhatikan wanita yang saat ini memunggungi mereka.
Nada-nada yang Amber mainkan seperti jarum-jarum kecil yang menusuk hati siapa saja yang mendengarnya. Ia benar-benar membuat siapapun merasakan apa yang ia rasakan saat ini melalui musiknya.
“Siapa yang mengizinkanmu menyentuh piano itu!” Suara marah mendominasi ruangan. Para pelayan yang tadinya menikmati permainan Amber kini tersentak kaget. Rasa sakit di hati mereka berganti dengan perasaan takut. Tak ada yang berani mengangkat wajah untuk menatap wajah marah Oliver.
Jari Amber berhenti bergerak. Ia memiringkan wajahnya menatap Oliver yang kini mendekat ke arahnya seperti ingin membunuhnya. Selama beberapa hari ini pria itu telah membuat hatinya kacau, dan sekarang setelah kembali kemarahannya yang ia dapatkan. Pernikahan jenis apa yang sedang ia jalani sekarang?
“Kau sudah kembali.” Amber bersuara dengan tenang, ia tidak lagi menggunakan bahasa formal yang biasa ia pakai untuk bicara dengan Oliver. Selama beberapa hari ini ia memperlakukan Oliver dengan hormat, tapi pria itu tidak menghargainya sama sekali.
Benar, ia mencintai pria masa kecilnya, tapi pria itu sudah tidak ada lagi di diri Oliver. Ia harus menghadapi kenyataan meski itu kejam. Ia hanya berangan-angan tentang pernikahan bahagia dengan pria yang ia cintai.
Amber berdiri dari tempat duduknya, apapun yang akan Oliver lakukan padanya ia sanggup menanggungnya. Kurang dari sepuluh hari ia menikah dengan Oliver, tapi ia telah menghadapi banyak rasa sakit.
Tangan Oliver mencengkram lengan Amber dengan kuat, pria itu mungkin akan mematahkan lengan Amber sekarang. “Siapa yang memberimu izin menyentuh piano Sharon!” geram Oliver.
Dari arah belakang, Glenda mendengar suara kemarahan Oliver, ia mendekat untuk melihat, hatinya tenggelam tiba-tiba. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya karena memberikan izin pada Amber memainkan piano itu.
“Oh, selain kamarmu, aku juga tidak boleh menyentuh piano ini? Aku benar-benar tidak tahu.” Amber berkata tanpa penyesalan. “Di masa depan, aku tidak akan menyentuhnya lagi.” Ia memberikan senyuman manisnya pada Oliver.
Melihat senyum Amber, amarah Oliver semakin menjadi. Bisa-bisanya wanita itu tersenyum tanpa rasa bersalah. “Jika kau berani menyentuh barang-barang Sharon lagi, aku pasti akan mematahkan tanganmu!”
“Kau bisa melakukannya sekarang. Tidak apa-apa. Kau membatasi kebebasanku, kau juga bisa membunuhku, mematahkan tanganku bukan apa-apa. Lakukan sesuka hatimu, renggut apapun yang aku sukai.” Amber menantang Oliver. Bahkan jika ia mati, ia tidak akan memiliki penyesalan sekarang. Ia telah membalas budi pada pamannya atas semua kebaikan pamannya.
Masa-masa sulit dalam hidupnya telah ia lalui dengan kata-kata penyemangat dari Oliver. Ia selalu menjadikan cinta masa kecilnya sebagai alasan untuk ia hidup. Semoga suatu hari nanti ia bisa bertemu kembali dengan pria itu. Dan sekarang ia sudah bertemu dengan pria itu, melihatnya sebelum ia mati sudah cukup baik untuknya.
Ia tidak ingin kenangan tentang pria masa kecilnya ini rusak karena rasa sakit yang ia terima terlalu banyak dan tidak bisa ditangani oleh dirinya.
Tangan Oliver berpindah ke rahang Amber. “Kematian terlalu mudah untukmu. Kau harus menderita sampai kau menyesal karena telah dilahirkan di dunia ini!”
Amber tertawa ironi. “Jika kau hanya ingin membuatku menderita, seharusnya tidak perlu bagimu menikahiku. Kau membuang uang terlalu banyak untuk membeli hidupku!”
Setiap kata yang keluar dari mulut Amber hanya memprovokasi Oliver. Pria itu seperti gunung berapi yang akan meledak sekarang. “Kau sangat bernyali, Amber! Apa kau pikir aku tidak berani melakukan apapun padamu!”
“Tidak, kau salah. Aku tahu kau sangat mampu. Aku tahu nyawa manusia bagimu tidak begitu penting. Aku tahu kau bisa melakukan apa saja yang kau inginkan di dunia ini. Kau bersenang-senang dengan menyiksa orang lain.” Amber menatap ke dalam iris abu-abu Oliver. Ia benar-benar menyukai manik mata itu, tapi tidak ada lagi kelembutan di sana, yang ada hanya kemarahan dan kebencian.
Udara di ruangan itu semakin menipis, para pelayan merasa kesulita bernapas. Mereka tidak tahu seberapa banyak nyawa Amber sehingga begitu berani memprovokasi Oliver. Bukan rahasia umum lagi jika majikan mereka itu kejam dan berdarah dingin.
“Kau sendiri yang memintanya!” Oliver kemudian menyeret tangan Amber, membawa wanita itu menuju ke lantai dua. Saat ini Amber berdiri membelakangi pagar teras, pinggangnya membentur besi dingin itu.
Tangan Oliver mendorong pangkal leher Amber kuat. “Kau mencari kematian, bukan? Aku memberikannya padamu! Matilah!” Dengan satu dorongan lainnya tubuh Amber melewati pagar.
Amber tersenyum melihat Oliver, pria ini jelas sedang membual tentang kematian. Jika ia benar-benar ingin membunuhnya maka seharusnya pria itu menyeretnya menuju ke lantai empat dan menjatuhkannya ke lantai bawah bukan ke kolam renang. Oliver jelas sedang bermain-main dengan rasa takutnya. Sayangnya, ia adalah Amber. Meski ia ketakutan, ia tidak akan bergetar atau menangis. Ia telah terbiasa dari kecil berada dalam hal-hal seperti ini.
Bibi dan sepupunya sering menyiksanya, mereka sangat senang mendengar ia memohon. Mereka sangat senang melihat ia ketakutan. Tidak ingin bibi dan sepupunya mendapatkan kesenangan, Amber melawan rasa takutnya sendiri. Ia tidak akan pernah memohon pada mereka, ia juga tidak akan menjerit putus asa.
Tubuh Amber jatuh ke kolam renang yang cukup dalam itu. Jika ia tidak bisa berenang maka saat ini ia pasti sudah mati tenggelam. Namun, Amber tidak memiliki niat untuk berenang ke permukaan. Ia cukup yakin Oliver tidak akan membiarkannya mati begitu saja.
Amber menahan napasnya, ia membiarkan tubuhnya terus berada di dalam air. Amber sering berolahraga jadi ia memiliki pernapasan yang baik. Ia bisa bertahan di air lebih baik dari orang biasa.
Di lantai atas, Oliver mengepalkan kedua tangannya. Ia menunggu Amber keluar, tapi wanita itu tidak kunjung keluar. “Sialan!” Oliver terjun ke kolam renang dari lantai dua. Seperti yang Amber pikirkan, Oliver tidak akan membiarkannya mati begitu saja.
Oliver berenang, ia bergerak menggapai tubuh Amber, tapi tepat ketika ia hendak mendapatkan tubuh Amber, mata Amber yang terpejam kini terbuka. Wanita itu juga tersenyum pada Oliver.
Tanpa bantuan Oliver, Amber berenang naik ke permukaan. Wanita itu berhasil membuat Oliver semakin marah karena merasa telah dipermainkan.
Amber berjalan dengan tenang menaiki tangga keluar dari kolam renang. Oliver menarik pergelangan tangan Amber kuat. “Berani sekali kau mempermainkanku!”
Amber terkekeh kecil. “Bagaimana? Apakah menyenangkan jika hidupmu dipermainkan oleh orang lain? Aku hanya memberimu sedikit apa yang aku rasakan.” Amber melepaskan tangan Oliver dari lengannya lalu kemudian melangkah pergi.
“Berhenti di sana, Amber!” Oliver bersuara bengis.
Amber tidak mengindahkan kata-kata Oliver, ia terus melangkah dengan tubuhnya yang basah.
“Wanita sialan!” desis Oliver geram. Pria itu benar-benar benci sikap Amber yang menantangnya.
Oliver tidak mengejar Amber, ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan pada wanita itu jika ia lepas kendali. Ia mungkin benar-benar akan membunuh Amber.