Kejadian Pagi Hari
Suasana pagi di rumah terasa lebih hening dari biasanya. Nayla sibuk di dapur, memotong sayuran dengan penuh konsentrasi, sampai sebuah suara menyapanya dari belakang.
"Selamat pagi, Mbak."
Nayla menoleh sekilas dan mendapati Indri sudah berdiri di sampingnya, memperhatikan setiap gerakannya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Indri, kamu sudah bangun?" tanyanya santai.
Indri tersenyum tipis. "Mbak Nayla memang istri idaman. Pantas saja Mas Bayu sangat mencintai Mbak."
Nayla hanya membalas dengan senyum kecil sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. Namun, kata-kata Indri berikutnya membuat tangannya terhenti.
"Mbak, pernah nggak kepikiran kalau Mas Bayu tiba-tiba mengkhianati Mbak?"
Seketika Nayla memalingkan wajahnya ke arah Indri, menatapnya dengan alis berkerut.
"Aku percaya sama Mas Bayu," jawabnya pelan namun tegas. "Aku yakin dia nggak akan mengkhianati aku."
Indri tersenyum miring, tatapannya berubah tajam. "Ya, bisa aja kan? Mas Bayu itu pria tampan, kaya, baik hati. Jujur aja, Mbak, mana ada wanita yang menolak pria seperti dia?" Indri menghela napas dramatis sebelum menambahkan, "Kalau dia bukan sepupuku, mungkin aku sendiri mau jadi istri keduanya."
Deg.
Nayla merasakan dadanya seperti dihantam sesuatu. Tangannya gemetar, dan pisau yang dipegangnya terjatuh ke meja.
"A-aku mau ke belakang dulu. Harus memeriksa cucian," gumam Nayla tergesa-gesa, berusaha melarikan diri dari situasi yang tiba-tiba menyesakkan.
Di ruang laundry, Nayla duduk di kursi kecil, menarik napas dalam-dalam. Kata-kata Indri terus terngiang di telinganya.
"Apa mungkin Mas Bayu tega mengkhianati aku?"
Dia mencoba menyangkal, tapi hatinya tahu, di luar sana banyak wanita yang pasti tergoda oleh Bayu. Dengan wajah tampan, harta berlimpah, dan statusnya sebagai CEO, pria seperti itu adalah incaran banyak orang.
"Tapi… tidak mungkin, kan? Mas Bayu bukan tipe pria seperti itu."
"Nayla! Sayang!" suara Bayu menggema di seluruh rumah.
Nayla buru-buru menghapus air matanya dan keluar menemui suaminya.
"Ada apa, Mas?"
"Sayang, kamu lihat kaos kesayanganku nggak? Aku sudah cari ke mana-mana tapi nggak ketemu."
Nayla mencoba mengingat. "Aku cari di ruang laundry dulu, ya."
Ia segera beranjak, meninggalkan Bayu yang masih berdiri di ruang makan. Kaos itu memang favorit Bayu, selalu ia kenakan sebelum memakai kemeja kerja. Namun, setelah menggeledah ruang laundry, kaos itu tidak ditemukan.
"Mas, kaosmu nggak ada," katanya ketika kembali.
"Aduh, di mana ya? Aku suka banget pakai kaos itu kalau cuaca panas."
Nayla menepuk lengan Bayu lembut. "Sudah, Mas mandi dulu aja. Aku cari lagi nanti."
Bayu tersenyum dan mengecup kening Nayla. "Kamu memang istri terbaikku."
Namun, sebelum Bayu sempat melangkah ke kamar, suara Indri tiba-tiba terdengar.
"Mas, ini kaosmu?"
Nayla langsung menoleh. Matanya membulat saat melihat Indri berdiri di tangga, memegang kaos favorit Bayu.
"Kaos Mas Bayu ada di Indri? Tapi… bagaimana bisa?"
Bayu menatap kaos itu, lalu mengernyit. "Iya, ini kaosku. Kok bisa ada di kamu?"
"Tadi aku nggak sengaja menemukannya di dekat kamarku," jawab Indri santai. "Karena kaos ini milik laki-laki, aku pikir pasti milik Mas."
Bayu meraih kaos itu, lalu melirik ke arah dapur, tepat ke arah Nayla yang diam memperhatikannya.
"Terima kasih ya," katanya cepat, sebelum bergegas ke kamar.
Nayla menggigit bibirnya, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdebar kencang.
"Aneh. Kamar Indri dan kamar kami berada di arah yang berbeda. Bagaimana mungkin kaos itu bisa sampai ke sana?"
Dia mencoba mencari alasan logis, tapi pikirannya terus dipenuhi dengan bayangan buruk.
"Ah, mungkin semua ini cuma kebetulan."
Namun, benarkah hanya kebetulan?
Nayla berusaha menepis pikirannya dan kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Tak lama kemudian, semua sudah berkumpul di meja makan, kecuali dirinya yang masih sibuk menata makanan.
"Nayla, cepat!" suara Ratna terdengar ketus.
"Iya, Bu. Sebentar lagi."
Beberapa saat kemudian, Nayla membawa piring-piring berisi nasi goreng dan telur ceplok ke meja makan. Namun, belum sempat ia duduk, suara tajam Ratna kembali terdengar.
"Kamu mau ngapain?"
Nayla menelan ludah. "A-aku juga mau sarapan, Ma."
Ratna mendengus sinis. "Sarapan? Lihat dirimu! Bau bawang, keringatan, jijik aku. Makan di dapur aja!"
Nayla mengepalkan tangannya di bawah meja, menahan emosi yang mulai membara di dalam hatinya.
"Sayang, lain kali kalau mau makan bareng, bersihin dulu diri kamu," kata Bayu tanpa menoleh. "Kamu kelihatan dekil, bikin nggak selera makan."
Deg.
Sekarang, bukan hanya Ratna yang mempermalukannya, tapi juga suaminya sendiri. Bayu, pria yang selama ini membelanya, kini ikut menyudutkannya.
"Maaf, Mas…" suaranya bergetar. Air mata mulai berkumpul di sudut matanya.
"Ya udah, cepat sana ke dapur!" bentak Bayu.
Tanpa berkata lagi, Nayla beranjak dari kursinya.
Namun, baru saja ia melangkah ke dapur, suara Indri terdengar.
"Mas, makan dulu, jangan sampai gara-gara marah malah nggak nafsu makan." Indri mengambil telur ceplok dan meletakkannya di piring Bayu.
Beberapa detik kemudian, Indri mengambil suapan pertamanya. Namun, yang terjadi selanjutnya membuat semua orang di meja makan terkejut.
Indri tiba-tiba memuntahkan makanan dari mulutnya. Wajahnya berubah pucat, dan tangannya menggenggam lehernya seolah ada sesuatu yang salah.
"Indri, kamu kenapa?"
Bayu dan Ratna saling berpandangan, sementara Nayla yang berdiri di dapur menatap mereka dengan ekspresi penuh tanda tanya. Sesuatu yang aneh sedang terjadi.
