Bab 2
Ketika melihatku terdiam di tempat, Gavin tiba-tiba memelukku.
"Nana, maafkan. Aku bukan sengaja mengabaikanmu."
"Saat aku mau mencarimu, ponselku malah dicuri dan tidak menemukannya setelah lama mencarinya."
"Maafkan aku, ya?"
Leherku tiba-tiba merasakan sesuatu yang lembab dan hangat.
Ternyata Gavin menangis.
Aku yang bingung melihat Bella yang berdiri kaget di samping, lalu aku buru-buru menjauhkan pria yang memelukku. Saat itulah aku melihat kakinya berdarah.
Pada akhirnya, aku dan Bella yang membawanya ke rumah sakit.
Di dalam perjalanan, aku mengambil sisir kecil dari tas untuk merapikan rambutnya, lalu membeli kaus kaki dan sandal di dekat rumah sakit.
Dokter menangani luka dengan cepat, saat masuk ke ruang perawatan, aku melihat Gavin yang duduk diam di bangku.
Aku merasa canggung, tapi tetap ke depan dan berjongkok dengan hati-hati sambil memegang kaus kaki.
Suara desahan berat terdengar dari belakang, seolah merasa kecewa.
Aku mengatupkan bibir, akhirnya berdiri dan memberikan kaus kaki itu padanya.
"Pakailah, panggil aku kalau sudah selesai, aku juga bawa sandal untukmu."
Lalu aku berjalan keluar dan bertemu tatapan kecewa Bella.
"Kamu seorang nona besar, kenapa merendahkan diri seperti itu, kamu bahkan mau memakaikan kaus kaki untuknya, kamu ...."
Kalimatnya belum selesai dan dipotong suara dari belakangku.
Aku berbalik dan bergegas masuk ke kamar dan melihat Gavin yang jatuh di lantai.
Kaus kaki yang aku berikan terlempar ke sudut ruangan.
"Apakah dia gila? Kenapa tidak bilang kalau sakit?"
Bella tercengang ketika melihat hasil pemeriksaan.
Aku menghela napas setelah melihat laporan itu.
"Dokter bilang dia demam tinggi dan sudah beberapa hari, serta kemungkinan besar menyebabkan kerusakan otak."
"Awalnya sehat tapi jadi sakit sekarang."
Bella mengangkat ahu.
"Maksudku sakit jiwa."
Aku bisa merasakan ketidaksukaan Bella pada Gavin, tapi aku tidak berdebat dengannya.
Akal sehat mengatakan aku harus memutus hubungan dengan Gavin.
Namun ada suara kecil yang terus membujukku untuk mencoba lagi.
Tidak diduga percobaan itu berujung pada pernikahan.
Di hari pernikahan, Bella yang duduk di baris terdepan melihatku dan Gavin dengan kesal.
"Selama lima tahun ini, aku lebih sering menyuruh kalian putus daripada jumlah kalian bertemu."
Saat tiba gilirannya memberi sambutan, dia tanpa ragu bicara di depan Gavin.
Aku tidak tahu harus bagaimana menanggapinya, hanya bisa tersenyum tanpa daya.
Semua berjalan lancar, tapi saat akhirnya momen tukar cincin terjadi hal tak terduga.
Suara dering kencang terdengar dan ekspresi Gavin yang berdiri di atas panggung berubah.
Dia bergegas turun dari panggung, mengambil ponsel dan berlari keluar meninggalkan aku yang mengangkat tangan dengan bengong.
Sosok Gavin sudah hilang, tapi suaranya masih bisa terdengar di aula diikuti suara lembut seorang wanita.
"Vin, aku kangen padamu."
"Nana, akhirnya kamu mau menghubungiku, aku akan segera pergi mencarimu!"
Gavin terburu-buru pergi, jadi lupa melepas mikrofon di dasi kupu-kupunya.
Pesta yang tadinya meriah langsung hening dan wajah orang tua Gavin yang berdiri di panggung terlihat jelek.
Orang pertama yang bereaksi adalah ayahku, wajahnya merah padam dan mengayunkan tangan dengan kencang.
"Aku rasa pernikahan ini tidak perlu dilanjutkan lagi!"
Ibu juga segera bereaksi dan tersenyum pada orang tua Gavin yang panik.
"Putri kami sudah cukup menurunkan standar, malah terjadi drama sebesar ini, seolah ada yang memaksa kalian."
"Mau membahas kerja sama? Mimpi!"
Paman yang ada di bawah panggung ikut bergabung.
Teriakannya langsung menyulut kehebohan juga membuat orang tua Gavin semakin panik.
"Pak Harry ...."
Ayah Gavin mencoba menahan, tapi sia-sia dan melihat aku yang berdiri bengong ditarik keluar oleh Bella.