Pustaka
Bahasa Indonesia

Saat Luka Jadi Senjata

3.0K · Tamat
Kisah_Yura
7
Bab
48
View
9.0
Rating

Ringkasan

Gavin, suamiku mengantar wanita idamannya menghadiri pesta pernikahan emas, tapi menabrak ambulans, dan malah meminta ambulans ganti rugi dengan arogan. Aku yang terbaring di ambulans meneleponnya untuk membiarkan aku dan pasien lain pergi, tapi ditutup dengan kejam olehnya. Karena dia menunda waktu, aku kehilangan waktu penyelamatan terbaik dan kehilangan satu kaki. Jadi sisa hidupku harus aku jalani di kursi roda. Begitu bangun dari ruang operasi, aku langsung menelepon ibu. "Ibu, aku siap kembali ke perusahaan dan mulai dari bawah."

RomansaIstriPerselingkuhanPerceraianPengkhianatan

Bab 1

"Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?"

Aku tercengang.

"Ibu, aku kehilangan satu kaki."

Setelah menutup telepon, panggilan dari Gavin langsung masuk.

Aku menarik napas dalam-dalam dan akhirnya memutuskan untuk mengangkatnya.

Aku ingin tahu apa yang ingin dia katakan padaku.

"Di mana kamu?"

Sebelum aku sempat bicara, suara Gavin terdengar.

"Angin sangat kencang, cepat buka pintu. Baju Nana tipis."

Aku melihat jam, sudah pukul tiga pagi.

"Aku tidak ada di rumah."

Aku berkata dingin dan langsung menutup telepon.

Ini pertama kalinya aku menutup telepon Gavin.

Sebelumnya, aku selalu berharap bisa bicara lebih lama dengannya, bahkan harus mencari bahan obrolan.

Setiap kali begitu, Gavin akan memarahiku dengan kesal atau langsung menutup telepon.

"Kamu hanya menutup teleponnya? Kamu seharusnya memakinya, terus diblokir!"

Suara perempuan terdengar dari samping dan dia adalah Bella, sahabatku.

Bisa dibilang dia sudah menjadi saksi perjalanan cintaku dan Gavin.

Dari yang awalnya senang karena hal-hal manis sampai muak dan marah, hanya butuh seminggu bagi Bella untuk merasakannya.

Semua itu karena Gavin.

Gavin adalah sosok idola di sekolah, meski wajahnya biasa saja, tapi tinggi ramping, putih dan nilai akademik selalu di puncak.

Dia pantas dengan kriteria pria idaman di sekolah.

Aku yang waktu itu SMA tentu saja tertarik padanya.

Demi bisa lebih dekat dengannya, aku belajar mati-matian dan akhirnya bisa satu kampus dengannya.

Namun sampai saat itu, aku bahkan tidak punya nomor teleponnya.

Di tahun pertama, aku tidak pernah bertemu dengannya, hanya mendengar julukannya dari orang lain.

"Si Dingin."

Menurut catatan forum kampus, dalam seminggu saja ada ratusan orang yang mencari Gavin, bahkan ada yang menyatakan cinta secara langsung, tapi semuanya ditolak.

Namun tidak diduga sosok idola seperti ini, tiba-tiba menghubungi aku melalui grup kelas.

Hanya ada dua kalimat.

"Halo."

"Mau mencoba bersamaku?"

Kalimat singkat, tapi langsung menembus hati seorang gadis dan aku langsung setuju.

Bella adalah teman SMA juga teman asrama di kampus.

Walaupun dia tidak tahu bagaimana aku dan Gavin bisa saling memerhatikan tanpa berkomunikasi, tapi tetap memilih memberikan dukungan.

Namun tidak lama kemudian, dia menarik kembali dukungannya dan mulai memaki Gavin.

Karena setelah menjalin hubungan, Gavin bukan hanya tidak bertemu denganku, dia bahkan tidak membalas pesanku juga tidak menerima permintaan pertemananku.

Di halaman obrolan hanya ada pesan dariku.

Kehidupan seperti ini berlangsung selama seminggu.

"Bisakah kamu berhenti bersabar?"

Aku yang sudah terbiasa menunggu tidak bereaksi, tapi Bella sudah tidak bisa menahan diri lagi.

"Cukup sampai di sini!"

Dia marah dan menghentikanku yang hendak mengirimkan pesan selamat pagi untuk Gavin.

"Aku tidak peduli apa alasan Gavin tiba-tiba mengirimimu pesan ini."

"Tidak peduli kalah tantangan, kalah taruhan, atau alasan konyol lainnya, yang jelas dia sama sekali tidak menyukaimu, dia hanya ingin mempermainkanmu!"

Dalam beberapa kata singkat, dia menghancurkan semua alasan yang kubuat untuk diriku sendiri.

Saat melihat aku terdiam, Bella tahu kata-katanya terlalu keras.

Dia ingin menjelaskan sesuatu, tapi tak ada satu pun kata yang keluar dan berdiri cemas di tempat.

Aku merasa sedikit malu, tapi tetap memaksa diri tersenyum padanya.

"Aku tahu kamu memikirkan kebaikanku, ini salahku yang tidak tegas."

Setelah sekian lama menaruh perasaan padanya dan akhirnya tiba-tiba diterima, tentu sulit bagiku untuk langsung melepaskannya.

Namun Bella benar, Gavin ingin mempermainkanku, aku tidak boleh terjerumus olehnya.

"Aku harus terus maju."

Bella sangat senang ketika melihatku membuat keputusan dan berkata akan merayakan diriku yang terlepas dari penderitaan dengan mengajakku makan besar malam itu.

Namun kami tidak jadi pergi.

Karena begitu turun ke lantai bawah, Gavin terlihat berdiri di depan pintu.

Dia memakai jas kusut dan berdiri di atas lantai semen berlubang tanpa alas kaki.

Rambutnya kusut dan mata bengkak.

Dia tampak sangat berantakan.

Ketika melihatku, mata yang tadinya redup langsung berkilau dan bergegas menghampiriku.

"Nana ...."

Wajahku langsung memerah.

Karena aku pikir dia memanggilku.

Aku bernama Vina.