Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 5

HAPPY READING

***

“Nyokap lo gimana? Ada nanyain lo nikah nggak?” Tanya April.

“Masih lah, kayak lo nggak tau nyokap gue aja. Umur segini gue masih sendiri. Banyak yang deketin, cuma bukan selera gue, susah,” ucap Aruna.

“Yaudah lah, nikmatin hidup aja,” ucap April.

Di umurnya sekarang, untuk masalah hidup ia tidak terlalu memikirkannya, diusia segini yang ia pikirkan tentang dirinya sendiri. Ia pikir ia mengenal baik dirinya sendiri. Ia telah melewati perjalanan hidup yang panjang, mengubahnya menjadi lebih dewasa dan tenang. Ia hanya ingin menyederhanakan semua hal yang begitu mudah untuk dijalani. Begitu banyak paradox dan kontradiksi dalam diri, terkadang ia sendiri tidak tahu apa yang ia inginkan. Melihat diri sendiri dari sudut pandang orang lain, tidak terlalu buruk untuk membuka mindset untuk selalu bertumbuh.

“Nyokap lo gimana? Udah sering check-up diabetesnya?” Tanya April, ia tahu kalau mama Aruna memiliki riwayat diabetes.

“Sering lah, cuma mama tuh sering nggak control makan, katanya cuma nyicipin ini itu, makanya udah disuruh control terus. Di bilangin suka khilaf. Terus adek lo Nara gimana? Di jodohin nggak?” Tanya Aruna.

“Enggak, gue terus sih yang di suruh nikah, dikejar-kejar gitu. Nara masih muda lah, dia masih nikmatin masa mudanya, mungkin gue udah dianggap expired sama mami dan papi.”

“Udah ketuaan.”

“Lo gimana? Ada yang deketin?”

“Masih gitu gitu aja, males. Gue nungguin dijodohin aja kali ya sama kayak lo. Orang tua tuh pasti nyariin yang nyaris perfect. Mirip dokter Steven.”

April tertawa, ia lalu memakan makanannya dengan tenang, “Gue aja nggak tau gue bakalan terima dokter Steven apa nggak. Pengennya nolak aja, alasan nggak cinta.”

“Terima aja kenapa sih. Perfect gitu.”

Hanya karena musim nikah, orang tuanya akan menjodohkannya. Ia tahu kalau kedua orang tuanya khawatir masalah jodoh, meski zaman sudah berubah. Padahal ia masih santai dalam menentukan masalah jodoh. Selama Aruna sahabatnya masih single, ia masih belum mengkhawatirkan hal itu. Namun ia juga tidak menolak, ia penasaran dan ingin tahu siapa dokter Steven. Kanapa dokter Steven sampai disukai oleh kedua orang tuanya? Apa dia sebaik itu? Apa dia bisa setulus itu untuk nikah dengan wanita yang sama sekali tidak ia kenal? Apa untungnya dia nikah dengan dirinnya? Kenapa memilih dokter Steven? Bukannya anak-anak rekan bisnis orang tuanya itu banyak? Misalnya pengusaha batu bara, pengusaha media, pengusaha restoran, pengusaha property, logika aja seperti itu.

“Lo habis ini ke mana?” Tanya Aruna membuyarkan lamunan April.

“Enggak ke mana-mana, kenapa?” April memasukan makanannya ke dalam mulutnya.

“Mau ngajak lo belanja, ada tas yang gue incer Plaza Senayan.”

“Boleh.”

Setelah makan siang April dan Aruna, langsung kembali melanjutkan perjalanan menuju ke Plaza Senayan. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari berbelanja. Apalagi ia mengikuti tren fashion terbaru yang sedang berkembang di dunia. Belanja salah satu kegiatan untuk menghilangkan stress. Sama dengan halnya pria yang rela bergadang hanya buat nonton bola. Mirip-mirip seperti itu dan itu alternative dapat menghibur diri.

***

Sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, Steven memandang penampilannya di cermin, ia rasa ia sudah cukup rapi untuk makan malam ini. Ia mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Rambutnya ia sisir dengan rapi. Ia menyemprot parfume di bagian tubuhnya. Ia sudah memikirkan jawaban tentang pak Wijaya untuk bersanding dengan putri-nya April. Bahwa ia memang untuk menerima dan hadir di tengah-tengah malam ini.

Kesempatan ini tidak datang dua kali, ia hanya perlu take it or leave it. Ia termasuk pria yang tidak menyia-nyiakan kesempatan. Di mana dan kapan pun kesempatan itu datang, ia pasti akan hajar saja. Mudah baginya untuk mengiyakan kesempatan yang datang, tanpa perlu berpikir bahwa ia tidak bisa menjalaninya. Apapun itu, jika sesuatu yang bisa dilakukan tidak ada yang tidak bisa di dunia ini, jika ada keinginan.

Steven mengambil kunci mobil di meja, ia lalu keluar dari kamar. Setelah itu ia menuruni tangga. Jika ia menikah nanti dengan April, satu hal yang ada di dalam pikirannya, bahwa wanita itu harus tinggal di rumahnya. Ia tidak peduli wanita itu memiliki rumah yang besar bak istana, ia tetap ingin berkeluarga tinggal di rumah ini. Ini tentang ego dan harga dirinya sebagai seorang pria.

Walau ia tidak sekaya pak Wijaya, namun ia tentu bisa menghidupi anak dan istrinya. Ia memiliki tabungan dan ia tidak ingin tinggal di rumah pak Wijaya dan tidak ingin dikatakan numpang hidup. Ia seorang laki-laki pekerjaan merupakan harga diri, takdir sejak lahir seorang laki-laki menyediakan sesuatu yang lebih agar dipandang.

Intinya ia akan menyiapkan apapun untuk orang sekitarnya. Ia seorang pria yang memiliki financial settle, ia sudah menyelesaikan permasalah keuangan, pekerjaanya sebagai dokter, stabil dalam keuangan, tidak punya beban dan tanggungan dan sudah memiliki tabungan dan aset.

Namun ia tidak mengesampingkan potensi yang ada di depan mata. Ia cukup peka masalah masa depan dan ia sangat berambisi besar untuk terus belajar, berusaha dan mengugrade diri. Ia tahu potensinya seperti apa.

Ia mendengar suara ponselnya bergetar, Steven melihat ponselnya bergetar “Marco calling,” ia lalu menggeser tombol hijau pada layar, ia letakan ponsel itu di telinga.

“Iya, Mar,” ucap Steven.

“Lo jadi ke rumah pak Wijaya.”

“Iya, jadi ini mau berangkat.”

“Oh God. Syukurlah kalau gitu. Good luck, men.”

“Terima kasih,” Steven mematikan sambungan telfonnya

Steven melihat menghidupkan central lock, dan ia masuk ke dalam mobilnya. Semenit kemudian mobil meninggalkan area rumah. Ia memanuver mobilnya sambil memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya. Apa yang harus ia lakukan nanti ketika ke rumah pak Wijaya? Ada siapa saja di sana? Yang jelas keluarga inti pak Wijaya.

***

Beberapa menit kemudiann akhirnya ia tiba di depan rumah pak Wijaya. Ia memandang security yang berjaga di sana, pria berseragam itu membuka pintu pagar untuknya. Ia mengucapkan terima kasih kepada pria itu. Ia memarkir mobilnya di plataran rumah, ia melihat ada beberapa mobil yang terpakir di dekatnya. Ia mematikan mesin mobil dan melepaskan sabuk pengaman. Ia menarik nafas beberapa detik, menangkan pikirannya, ia keluar dari mobil.

“Bapak dan ibu, sudah berada di dalam, nungguin bapak,” ucap security itu.

“Terima kasih,” ucap Steven, ia menatap ke pintu utama, pintu rumah itu terbuka, seolah memang menunggu kehadirannya. Ia melihat jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 19.00 menit, ia tidak telat dan justru ia datang dengan tepat waktu.

Ia melangkahkan kakinya menuju pintu utama, ia menekan bell di dekat bell. Ia menunggu hingga sang pemilik rumah keluar. Beberapa detik kemudian ia melihat pak Wijaya melangkah mendekatinya, pria itu tersenyum kepadanya. Ia lalu membalas senyuman itu.

“Selamat malam pak Wijaya.”

“Selamat malam dokter Steven. Saya senang kamu hadir malam ini di rumah saya,” ucap pak Wijaya.

“Mari masuk,” ucap pak Wijaya lagi, ia mempersilahkan Steven masuk ke dalam rumahnya.

“Di dalam sudah ada April dan adiknya Aruna,” ucap pak Wijaya.

Steven mengedarkan pandangan kesegala penjuru ruangan. Beberapa hari lalu ia ke sini, dan malam ini ia datang lagi. Entah kenapa, ia memutuskan untuk mengambil tawaran pak Wijaya untuk menikahi putrinya yang jelas-jelas bahwa mereka tidak saling kenal.

Ia semakin masuk ke dalam lebih tepatnya masuk ke ruang keluarga, langkahnya terhenti, ia menatap beberapa orang berada di ruangan ini. Ia melihat ibu Wijaya selaku istri dan nyonya di rumah ini, dia tampak anggun mengenakan dress hitam. Di sebelahnya Aruna, adiknya April dia mengenakan dress berwarna coklat, dan tatapannya beralih ke arah seorang wanita yang sedang duduk di sana, wanita itu mengenakan midi dress putih, dia tampak anggun, rambut panjangnya dibiarkan terurai. Beberapa detik kemudian pandangannya mereka bertemu, mereka saling menatap satu sama. Dia lah wanita yang akan menjadi istrinya kelak, namun ia tidak tahu bagaimana pendapat wanita itu, apakah dia menerima pernikahan atau tidak.

Ia menyadari bahwa mereka di sini mengenakan pakaian yang sama, sama-sama mengenakan baju putih.

Istri pak Wijaya mendekatinya, “Selamat malam dok.”

“Selamat malam juga ibu.”

Beliau melirik putrinya yang duduk di sofa, “Kalian nggak janjian kan, pakai baju warna yang sama,” ucap istri pak Wijaya.

“Itu berarti jodoh ma,” ucap Aruna sambil terkekeh, dia beranjak dari duduknya, dan melangkah mendekati sang mami.

Nara tersenyum kepada sosok pria tampan di hadapannya, “Oiya, kita belum kenalan mas. Saya Nara,” ucap Nara, dia mengulurkan tangannya kepada pria itu.

Steven membalas uluran tangan itu, “Saya Steven,” sedetik kemudian ia melepaskan tangannya.

“Udah lama ya mas kerja di rumah sakitnya papi?”

Steven tersenyum, “Lumayan,” ucap Steven, ia melihat bahwa Nara terlihat sangat ceria, ia tahu kalau wanita di hadapannya ini jauh lebih muda dari April.

“April, sini,” ucap mami kepada putri pertamanya, karena yang datang adalah calon suaminya.

April menatap pria yang berada di sana, ia akui kalau pria itu tampan dan sangat menawan. Cara dia sangat rapi dan dia sangat tahu cara berpakaian yang baik. Ia yakin bahwa pria itu sangat perfectionis, cara dia mengenakan jam tangan, menata rambut dia seperti memperhatikan setiap detail penampilannya.

Meskipun ia melihat Steven berprilaku baik, namun di dalam pikirannya saat ini ia akan berprilaku bitchy kepada pria itu. Karena tidak ada sehelai benangpun yang membuat dia tidak terlihat perfect. Dia terlihat rapid an professional, terlalu kaku. Tiba-tiba ia berkeinginan untuk membuatnya berantakan. Misalnya mencium pria itu, dan mengobrak abirik rambutnya hingga kehabisan nafas, mengajaknya ke club melupakan sejenak ruang operasinya. Harusnya dia menjadi pria paling seksi se-Indonesia.

April beranjak dari duduknya, ia melangkah mendekati pria itu. Jantungnya tiba-tiba berdesir begitu saja, ia merasa resah dan gelisah. Pria itu tersenyum simpul kepadanya, seakan pria itu tahu kalau ia memperhatikannya. Tatapannya memancarkan sinar persahabatan.

“Hai, April, apa kabar?” ucap Steven ia mengulurkan tangan kepada wanita cantik itu.

April membalas uluran tangan itu, “Baik,” ia merasakan tangan Steven mengggenggam tangannya.

April melepaskan tangannya, ia melihat wajah tampan itu dari jarak dekat. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, ia melihat mami yang tersenyum kepada mereka.

“Ayo kita langsung saja makan,” ucap mami.

Steven bersyukur kalau keluarga pak Wijaya sangat baik kepadanya. Ia melangkah menuju meja makan. Meja makan mewah itu terdiri dari 8 kursi berwarna putih, di atasnya terdapat lampu Kristal, menghadap ke jendela kaca berukuran besar dengan view kolam renang.

Ia melihat ada 10 jenis hidangan yang tersaji di sana. Ia duduk di samping April, ia melihat ada staff dapur yang sudah menghilang dari pandangannya. Diam-diam Steven memperhatikan April, wanita itu tenang dan tampak tidak banyak bicara. Ia tidak tahu apakah wanita itu sudah tahu apa tidak, kalau mereka akan bersanding nantinya. Ia tidak tahu, apakah wanita itu akan berontak atau tidak atas perjodohan ini.

Makan malampun di mulai, Steven mengambil gelas bertangkai tinggi itu, ia meneguk air mineral itu dan ia mulai memakan dengan tenang.

“Mami dan papi ngundang dokter Steven ke sini, untuk menjodohkan kamu dengan dokter Steven,” ucap mami membuka topik pembicaraan.

“Kebetulan dokter Steven setuju dan mami harap kamu juga setuju April,” ucap mami lagi.

April menarik nafas ia memandang Steven yang duduk di sampingnya, “Alasannya apa mami dan papi, jodohin April dengan dia?” Tanya April, ia hanya ingin tahu alasannya.

“Mami dan papi suka karakter dokter Steven, dia bisa mengatur emosi, dia cerdas, dia cara pandang dan how he grew up hampir sama dengan papi. Kamu akan lebih cepat happier dan Steven bisa beradaptasi if we bond to one,” ucap mami.

“Aku tidak mau menikah, jika rumah tangga dengan kondisi finansial tidak stabil. Aku juga banyak melihat banyak teman-teman yang menikah muda dengan kualitas hidup menyedihkan, banyak juga yang bercerai karena masalah ekonomi dan banyak yang menyedihkan karena terlalu terbebani tanggung jawab rumah tangga,” ucap April.

Steven lalu menoleh memandang April, ia tidak menyangka kalau bibir penuh itu mengucapkan kata-kata pedas dari mulut seksinya. Ia menghentikan makannya. Ia merasa tertampar di meja ini.

“Bisa kita bicara berduaa,” ucap Steven, memotong pembicaraan April.

April mendongakan wajahnya, ia melihat Steven beranjak dari duduknya, pria itu menarik pergelangan tangannya. Ia otomatis berdiri, dan mengikuti langkah Steven. Ia tidak percaya kalau Steven menariknya meninggalkan ruang makan. Mami, papi dan Nara hanya menatap mereka dari kejauhan.

April menyeimbangi langkah Steven, dengan terseok-seok, karena pria itu membawanya dengan langkah cepat. Kini mereka berada di taman belakang, tepatnya di dekat gazebo. Pria itu lalu melepaskan tangannya, dan memandangnya dengan sangat serius. Tatapan itu penuh dengan intimidasi, jantungnya maraton hebat.

“Apa yang kamu pikirkan tentang saya?” Tanya Steven to the point.

April bergeming, ia menelan ludah, ia memegang dressnya, hingga buku-buku tangannya memutih,

“Kamu pikir saya tidak punya uang untuk menikah dengan kamu?” Tanya Steven.

“Sebelum saya memutuskan untuk menikah dengan kamu atas tawaran orang tua kamu. Saya ini dokter, setidaknya saya sudah mengumpulkan tabungan yang cukup banyak untuk bekal hidup saya pribadi, saya sudah menabung secara agresif cukup banyak, hanya untuk sekedar menikah dengan kamu.”

“Saya selama ini sudah memiliki dana darurat, dana pendidikan, dana pensiun dan beberapa aset lainnya. Saya mengambil tawarin ini, karena kamu itu anak pak Wijaya yang berumur tiga puluh tahun hingga saat ini belum menikah.”

“Kedua orang tua kamu ini sangat khawatir kalau anaknya, hingga mengambil langkah seperti ini.”

“Karena sejak dulu kamu selalu membawa pria yang salah!”

“Kalau kamu itu bukan anak pak Wijaya yang saya hormati, saya tidak akan mau menikah dengan wanita seperti kamu, paham!”

“Kamu mau menolak, ngomong secara baik-baik. Bukan menampar ucapan seperti itu, di depan kedua orang tua kamu!”

“Kamu itu belum kenal saya!”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel