BAB 4
HAPPY READING
***
“What!”
“Itu yang menjadi permasalah gue,” ucap Steven.
“Terus gimana? Lo mau?” Tanyanya lagi.
Steven menatap sahabatnya, ia lalu berpikir sejenak, sebelum menjawab pertanyaan Marco, “Pak Wijaya nyuruh gue mimpin perusahaan milik dia terutama di Siloam Internasional, kalau gue nikah sama April.”
Marco bergeming beberapa detik mencerna kata-kata Marco. Ia lalu menutup wajahnya dengan tangan, ia tidak menyangka kalau sahabatnya Steven mendapatkan tawaran yang menarik dari pak Wijaya. Siapa yang tidak tahu putri pak Wijaya yang benama April, dia cantik, cerdas dan yang paling penting dia juga dokter. Seluruh rumah sakit tempatnya bekerja, tahu siapa anak pak Wijaya, dia pewaris utama perusahaan tempatnya bekerja.
Rumah sakit yang dibangun pak Wijaya itu merupakan rumah sakit Internasional. Salah satu jaringan rumah sakit swasta yang terdepan di Indonesia dan telah menjadi benchmarck pada pelayanan kesehatan berkualitas. Untuk sekarang rumah sakit itu terdiri dari 2.700 dokter umum dan spesialis, serta 10.000 perawat dann staff mendukung lainnya, dan telah melayani 2 juta pasien setiap tahunnya.
“Wow,” ucap Marco, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya.
“Amazing, gue harap lo ambil tawaran pak Wijaya.”
“I know.”
“Lo udah kenalan dengan April kan?”
“Iya, sudah.”
“Enggak masalahkan?”
“Enggak. Hanya saja, gue yang belum kenal secara personal, first impression April itu perfect.”
“Semua orang tau kalau dia memang perfect, cantik, kaya, berpendidikan, elegan dan yang jelas dia anak bukan wanita sembarangan.”
Steven menyungging senyum, “Gue sama April itu orang asing. Enggak kenal secara personal, nggak pernah komunikasi, lalu gue tiba-tiba nikah sama dia. Aneh nggak sih,” ucap Steven.
“Enggak begitu aneh sih, kan lo perfect juga. Lo rich, lo dokter terkenal, lo punya privilege. Cocok sih sama April, jadi lo tolak tawaran pak Wijaya,”
“Gue masih minta waktu untuk berpikir,” ucap Steven.
“Kalau lo tolak, gue yakin lo bakalan nangis tujuh turunan.”
Steven tertawa, “Memangnya kenapa?”
“Come on, impian lo bisnis dibidang medis udah di depan mata men,” ucap Marco.
“Alasan perbandingan lo karena April sebagai orang asing itu nggak sebanding yang bakalan lo dapat nanti. Itu cuma alasan klise aja.”
“Mungkin sekarang penghasilan kita seratus ribu dollar pertahun dan masih tahapan rich, kalau lo nikah dengan April otomatis lo bakalan penghasilan seratus juta dollars dan lo jadi crazy rich.”
“Kita berdua mayoritas yang wajib banting tulang setiap hari dari sejak melek mata sampai kita tutup mata menjelang tidur di malam hari. Besoknya kita kerja lagi, kita bersama segelintir manusia bersinggasana hanya untuk bekerja untuk mencapai puncak.”
“Tawaran pak Wijaya, dalam sekejap lo berubah dalam kejayaan, mendadak berpenghasilan 200 juta dollars? Crazy sih.”
“Status social lo, bakalan jadi satu-satunya menantu pak Wijaya. Semua mata akan tertuju sama lo, lo langsung berada di posisi di mana orang-orang yang segan sama lo.”
“Lo tau? Intinya kekayaan itu dihargai semua orang.”
“Lo bakalan jadi superioritas, karena sudah melampaui person. Lo tau sendiri, naluri manusia itu maunya dapat menyandang predikat lebih dibanding dengan yang biasa-biasa aja kan.”
“Yang dimpi-impikan manusia sekarang, nggak lepas dari kesenangan, kekayaan, reputasi. Lo lebih unggul dan banyak diuntungkan di sini.”
“So gimana dengan lo? Masih mau nolak?” Tanya Marco.
Steven menghentikan mobilnya di depan lampu merah. Ia menatap Marco. Ia tahu bahwa sejak dulu ia menanamkan pada dirinya untuk menjadi kaya. Tidak peduli dengan kompetisi sengit, bahkan ia belajar berinvestasi, menabung, impiannya ingin membangun rumah sakit sejak lama, ia melakukan itu mulai dari hal-hal yang paling kecil, soalnya ia juga tidak memiliki privilege lebih.
Ah, ya ia ingat sahabatnya Oscar, karena dia memang terlahir dari keluarga konglomerat. Sementara dirinya harus bisa memanajemen waktu dan keuangan. Kebahagiaan hanya dapat diraih dengan uang. Tidak ada yang dapat menyelamatkan dan mensejahterakan masyarakat selain uang.
Dulu ketika ia menjadi dokter muda, ia sering bolak-balik ke rumah sakit yang berbeda. Dan ia jadi sedikit bisa melihat perbedaan yang cukup mencolok pada pasien, ia kadang shock dan anxiety sampai overthinking tidak bisa tidur. Di rumah sakit ada namanya lorong panjang, ia menemukan dunia yang cukup mencolok dengan dunia yang berbeda. Disisi si kaya, ketika sakit masih bisa makan di restoran enak sedangkan yang tidak hanya berbekal dari rumah seadanya, sambil menunggu anggota keluarga yang sedang dioperasi dengan mata nanar dan penuh beban.
Bahkan untuk urusan datang ke rumah sakit pun berbeda, di satu sisi menggunakan Lexus, Alphard, dan satu lagi diantar menggunakan mobil sewaan atau ambulance. Ini namanya privilege, si kaya dilayani dengan sangat baik. Mulai dari itu ia bertekat ia harus menjadi orang kaya, at least cukup untuk masa tua dirinya.
Ia memang cenderung, jika ingin kaya, ia harus menyisihkan pendapatannya dan ia lakukan bertahun-tahun lamanya. Ia selalu mencari cara agar selalu menekan menambah pemasukan. Ia selalu memiliki target hidup, memiliki rumah di lingkungan yang nyaman, mobil, tabungan pensiun, ia menghitung oprasional yang ia keluarkan setiap bulannya. Begitu saja hidupnya untuk bertujuan menjadi kaya, dan sekarang kekayaan itu sudah berada di dalam genggamannya, apakah ia bisa lepaskan begitu saja?
“Nanti gue pikirkan,” ucap Steven, ia kembali menjalankan mobilnya.
Steven memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya, “Menurut lo nikah tanpa cinta gimana?” Tanya Steven, karena itulah yang ada dalam pikirannya saat ini.
“Tergantung lo sih, bisa apa nggak nikah tanpa cinta?”
Steven mengedikan bahu, “Gue nggak tau, dan memang nggak disarankan kalau nikah tanpa cinta kan?”
“Gue pikir, lo bisa lah PDKT dengan April, ngobrol berdua, kencan, honeymoon. Berduaan sehariaan, lama-alam tumbuh kok perasaan itu, apalagi serumah don’t worry about them.”
“Lo bukan homo, lo normal, pasti punya insting alamiah kalau berduaan dengan wanita, apalagi itu April. Dia cantik, not bad untuk ukuran seorang wanita. Cinta dari mata turun ke hati, nggak pakek ngecek surat nikah.”
Steven tertawa, ia meninju bahu Marco, “Gue nggak pernah mikir jatuh cinta lagi di umur sekarang.”
“Itu artinya lo terima tawaran pak Wijaya.”
“I think that's awesome.”
“Money is always awesome,” sahut Marco di selingi tawa.
“How about your love?” Tanya Marco lagi.
“My love died a long time ago.”
Marco tertawa, “Kalau lo jadi menantu pak Wijaya, libatkan gue dalam semua bisnis lo.”
Steven menepuk bahu Marco, “Lo tenang aja.”
Steven menatap ke depan, rasanya sudah lama sekali ia tidak merasakan jatuh cinta. Beberapa orang banyak memuji pekerjaanya, bahkan ada juga memuji cara berpakaiannya. Ia dulu pernah berhubungan dengan berberapa wanita, dia selalu memperlakukan cara untuk mencintai dia. Ia bisa saja meraung, menghamba dan kadang ditampar oleh keadaan.
Ia hanya jatuh cinta pada sosok wanita ideal yang mengapreasiasi apapun yang ia punya. Ia sadar bahwa ia memang tidak pernah jatuh cinta, namun ia hanya jatuh cinta pada konsep ideal yang ia ciptakan dalam isi kepalanya. Yang ia lakukan hanya merasakan rumah saat bersama, untuk hidup dan menghidupi.
Beberapa menit kemudian akhirnya ia tiba di rumah Marco, ia melihat Marco membuka sabuk pengaman, ia menghidupkan dasbor dan seketika lampu menyala. Ia melihat secara jelas wajah marco, pria itu membuka pintu mobil dan pintu tengah mengambil tas nya di sana.
Steven membuka power window, “Thank’s, udah nganterin gue ke rumah pak Wijaya,” ucap Steven, melihat sahabatnya.
“Ok. Iya, lo hati-hati di jalan,” ucap Marco.
“Oiya,” ucap Marco.
“Kenapa?”
“Saran gue, lebih baik lo nikah aja sama April. Kesempatan itu nggak datang dua kali,” Marco terkekeh.
Steven tertawa, “I know, kalau gue tolak, tawaran itu pasti bakalan jatuh di tangan lo.”
Marco tertawa geli, “Semoga aja. Kalau gue jadi lo, nggak bakalan di tolak.”
Steven tersenyum penuh arti, ia melihat Marco melangkah mendekati pintu pagar, pria itu lalu menghilang dari pandangannya. Setelah itu ia menjalankan mobilnya kembali menuju rumahnya. Ia tidak pernah menyangka bahwa jalan hidupnya akan seperti ini.
Umurnya sudah menjelang kepala empat, ia memang bukan tipe pria yang tidak terlalu mementingan perasaan cinta di dalamnya. Ia akan di jodohkan, dan ia juga ingin pasrah dengan usia sudah terbilang layak melepas masa lajang, lagian ia juga tidak perlu pertimbangan lagi, karena saat ini ia juga masih sendiri, tidak ada perasaan yang harus ia jaga. Pilihannya menerima melepaskan masa lajang lalu genggam erat pernikahan, maka akan ia dapatkan semuanya.
Ia hanya perlu menjalankan kewajibannya sebagai mencari nafkah dan istri, mungkin awalnya terasa hambar, namun ia tidak akan menggoyahkan pernikahan karena uang. Tidak ada salahnya ia menerima, ia tidak sendiri, banyak orang di luar sana yang menikah tanpa cinta di dalamnya. Ia selalu ingat, kapan ia ingin menikah dan dengan siapa ia akan menikah, itu semua urusannya.
***
April sedang memikirkan untuk acara makan malam besok. Jujur ada perasaan tidak enak di hatinya, kemarin papi dan mami membahas tentang dokter Steven dan lagi-lagi mengelu-elukan pria bernama Steven di hadapannya. Ia seperti wanita yang tidak laku saja, ia single saat ini dan ia bahagia. Ia tidak berpengaruh atau tertekan oleh teman-temannya yang sudah nikah. Memaksakan diri untuk menikah itu bukan pilihan yang tepat, apalagi ia tidak terlalu kenal.
Ia menatap ke depan, ia memandang sahabatnya di sana, ia tersenyum kepada seorang wanita yang baru saja masuk dari lobby, ia melambaikan tangan kepada wanita itu. Dia adalah sahabatnya Aruna, dia mengenakan mini dress floral, rambutanya terurai bergelombang, kaca mata hitam bertengger di hidung mancungnya.
Ia melambaikan tangannya kepada wanita itu dan ia tersenyum, “Sorry ya, lama datangnya, macet banget tadi di jalan,” ucap Aruna, ia lalu duduk di hadpaan April.
“Lo udah pesen?” Tanya Aruna.
“Udah, gue udah pesenin lo juga,” ucap April.
Aruna ini adalah sahabatnya, dia anak dari rekan kerja papi, dulu ia pernah bertetangga di Mega Kuningan. Namun setelah beranjak dewasa mereka sama-sama sudah pindah rumah. Aruna memilih tinggal di District 8 SCBD dan dirinya lebih memilih tinggal di rumah tapak Pondok Indah. Walaupun begitu mereka sering bertemu bahkan liburan bersama ke Eropa.
Tidak lama kemudian pesan mereka datang, di hadapannya tagliolini nerl all aragosta, berupa pasta dengan bumbu tomat segar, lobster. Lalu ia juga pesan pizza, calamari, croissant dan dua water sparkling. Mereka saat ini sedang berada Alba Ristorante di Mega Kuningan.
Aruna meletakan tasnya di kursi kosong di sebelahnya, ia menaruh keca matanya di atas kepala, mereka saling menatap satu sama lain,
“Terus lo mau cerita apa?” Tanya Aruna memandang April, ia mengambil air mineral itu dan lalu meneguknya.
April mengambil garpu dan sendok di hadapannya, ia akan memakan pasta yang ia pesan, karena terlihat sangat menggoda menurutnya, “Lo mau tau nggak?”
“Apa?”
“Gue mau dijodohin sama mami dan papi,” ucap April.
Alis Aruna terangkat, “Owh ya? Sama siapa?” Tanya Aruna penasaran, ia tidak terkejut dengan sosok April dan dirinya jika dijodohkan dengan seorang pria. Karena jika mereka ingin mendapatkan jodoh itu agak susah, banyak hal yang harus dipertimbangkan.
Siapa orang tuanya? Punya usaha apa saja? Bahkan tidak jarang mereka menjodohkan dengan sesama rekan kerja orang tuanya. Mereka sejak dulu ditekankan kalau mereka harus menjaga nama baik keluarga, tampan, kaya, berpendidikan tinggi, pintar berinvestasi bahkan mendekati sempurna. Memang tidak semua mengalami, tapi kebanyakan seperti itu.
“Sama dokter Steven, dia dokter di rumah sakit milik papi.”
Alis Aruna terangkat, “Serius?”
“Iya, serius.”
“Dia siapa sampe di jodohin sama lo?” Tanya Aruna semakin ingin tahu, ia pikir yang akan dijodohkan dengan April itu anak dari rekan bisnis orang tua mereka. Paling tidak pengusaha batu bara.
“Dia dokter spesialis bedah saraf yang nyembuhin papi kemarin.”
“Terus lo mau?”
Aruna mengedikan bahu, “Enggak tau deh.”
“Mana sih orangnya.”
“Klik aja di google, Dokter Steven Louise,” ucap April menyuruh April mencari sosok dokter Steven.
Aruna mengambil ponselnya, ia lalu mengetik nama Dokter Steven Louise, dan lalu keluar semua identitas dokter Steven di sana. Ia memandang sosok pria mengenakan jas putih berlengan panjang lengan panjang, dengan tangan melipat di dada. Aruna terdiam memperhatikan setiap detail wajah itu, satu kata yang ada di dalam pikirannya, dia sangat berkharisma. Lihatlah pahatan wajahnya sangat sempurna mirip mirip dewa Yunani, wibawanya sebagai pria tidak terbantahkan.
“Serius ini dokter Steven.”
April mengangguk, “Iya itu dia. Kemarin papi bahas dia lagi, dan dia yang bakal jadi jodoh gue.”
“Lo mau?”
“Enggak bisa mikir gue,” ucap April.
“Not bad, dia pasti pinter banget,” ucap Aruna.
“Namanya juga dokter, pasti pinter lah.”
“Tipe lo banget sih ini. Lo kan bilang sendiri kalau lo suka banget sama cowok pinter,” ucap Aruna.
“Tapi gue nggak kenal dia, Run.”
“Nanti juga kenal. Cuma kenalan doang kan.”
“Gue nggak bisa nikah sama orang yang nggak gue kenal.”
“Lo ada pacar nggak?”
“Enggak.”
“Yaudah terima aja, lagian oke banget kok doi,” ucap Aruna, sambil membawa profil milik dokter Steven.
“Dia mau nikah sama lo?”
“Enggak tau, keputusannya besok malam. Bokap katanya ngundang dia buat makan malam ke rumah.”
“I see, kalau dia datang ke rumah bokap lo, itu tandanya dia setuju.”
“Enggak tau deh, liat besok. Intinya dia cowok yang bakalan jadi jodoh gue.”
“Terima aja lah, lagian lo single juga. Enggak ada yang lo jaga perasaan,” sahut Aruna, “Gue yakin bokap lo, punya alasan sendiri kenapa milih dia sebagai pendamping lo.”
“Kalau lo di posisi gue gimana?” Tanya April.
“Terima aja. Kalau aslinya pasti cakep banget.”
“Iya sih, bener kata lo.”
“Rata-rata tuh cowok tuh cakep aslinya.”
“Exactly,” April tertawa membenarkan ucapan Aruna.
Aruna memicingkan mata, memandang sahabatnya, “Jadi lo mau nih?”
April mengedikan bahu, “Bingung gue. Masih belum siap juga mau nikah. Masih abu-abu.”
“Terima aja lah. Lagian lo nungguin apa lagi? Udah 30 tahun.”
“Nungguin lo nikah juga.”
Aruna tertawa geli, “Bisa aja lo. Gue juga bakalan nyusul lo, kalau bokap gue jodohin sama dokter yang miripnya kayak dokter Steven.”
“Yaudah lo aja sama dokter Steven.”
“Yaudah mana orangnya,” Aruna semakin tertawa geli.
“Di rumah sakit.”
“Emang doi punya usaha?” Tanya Aruna.
“Enggak tau, belum kenalan, nggak pernah ngobrol juga.”
“Punya klinik nggak? Rumah sakit? Atau punya perusahaan farmasi apa gitu.”
“Enggak ada Run, pure dokter doi.”
“Ah, masa sih?”
“Seriusan, baca ada profilnya.”
“Yaudah deh, yang penting intinya dia baik aja sama lo. Soalnya cari cowok baik sekarang tuh susah, rata-rata brengsek.”
***