BAB 3
HAPPY READING
***
Hari ini tepat pukul tiga sore, Steven sudah berada di rumah pak Wijaya, beliau merupakan seorang konglomerat pemilik Lipo Grup, rumahnya terletak di kawasan Mega Kuningan. Ia ditemani sahabatnya Marco. Marco ini dokter bedah toraks dan kardiovaskular. Mereka sama-sama bekerja di rumah sakit yang sama, ia memang sengaja mengajak Marco ke sini untuk menemaninya agar ia tidak sendiri.
Marco yang tidak tahu apa-apa agak bengong, kenapa orang nomor satu di rumah sakit ingin menemui sahabatnya Steven. Ia mengobservasi rumah itu terdiri dari empat lantai berwarna putih, bahkan halamannya saja super luas, dengan penuh kenyamanan dan keamanan, rumah ini di desain modern tropist di tengah-tengah kota Jakarta.
Mereka sudah bertahun-tahun lamanya kerja di rumah sakit itu, namun baru kali ini mereka ke sini. Marco menatap Steven yang berada di kemudi setir, ia tidak tahu kenapa pria itu ke sini.
“Yakin lo ke sini?”
Steven mengangguk, “Iya, yakin. Pak Wijaya yang ngasih langsung alamatnya di sini, dan maps nya di titik ini.”
“Sebenarnya ada urusan apa?” Tanya Marco penasaran.
Steven menarik nafas beberapa detik, lalu memandang sahabatnya, ia mengedikan bahu, “Enggak tau, yang jelas dia mau ngomong penting sama gue, soal April.”
“April anaknya pak Wijaya?”
Steven mengangguk, “Iya, anak pertamanya.”
Steven dan Marco melihat seorang pria mengenakan pakaian security berjalan mendekati mobil mereka. Steven membuka power window, ia lalu berikan senyum kepada pria itu.
“Dengan dokter Steven?” Sapanya ramah.
“Iya, saya dokter Steven,” ucap Steven.
“Dokter Steven susah cari alamatnya?” Tanyanya lagi.
“Ah, nggak pak,” ucap Steven.
“Mari pak masuk,” ucap security itu ramah, lalu membuka pintu pagar.
Steven memasukan mobilnya ke dalam plataran rumah, ia melihat ada beberapa mobil di sana, ia lalu memarkir mobilnya secara sempurna. Setelah itu ia mematikan mesin mobil, dan lalu melepas sabuk pengaman.
Steven dan Marco melangkahkan kaki ke pintu utama dan dia langsung disambut oleh hiruk pikuk orang yang sedang bekerja di sana. Ada dua orang yang sedang membersihkan perkarangan dan satu orang menata tanaman.
Mereka melihat pintu utama terbuka seolah sudah tahu kehadirannya. Ia memperhatikan rumah ini, bangunan rumah memiliki pilar yang menjulang tinggi, jendela besar, dan kokoh. Mereka berhenti di depan daun pintu yang terbuka, mereka memencet bell, beberapa detik kemudian ia melihat pak Wijaya dan Istrinya, beliau tersenyum kepadanya.
“Selamat sore pak Wijaya,” ucap Steven ramah.
Pak Wijaya tersenyum kepada dokter Steven, ia tadi pagi menghubungi dokter Steven untuk datang ke rumahnya. Dan sekarang pria itu hadir di sini,
“Selamat sore juga dokter Steven,” ucap pak Wijaya.
Steven melirik Marco yang berada di sampingnya, “Ini teman saya, namanya dokter Marco.”
Pak Wijaya menatap Marco dan lalu tersenyum, “Dokter Marco ini kalau nggak salah dokter spesialis bedah toraks dan kardiovaskular,” ucap pak Wijaya.
Marco tersenyum, “Iya, benar pak. Bapak kenal saya?”
Pak Wijaya tertawa, “Kenal dong, dokter-dokter hebat di rumah sakit saya, pasti saya kenal.”
“Bagaimana kabarnya dok?”
“Baik pak.”
“Silahkan masuk,” ucap pak Wijaya, mempersilahkan dokter Steven dan Marco masuk ke dalam rumahnya.
Steven memperhatikan rumah pak Wijaya, ketika masuk ia di sambut langsung ruang tamu. Ruang tamu terlihat megah, ada beberapa sofa di sana, sangat selaras dengan funiture, lampu Kristal yang ada di langit-langit tinggi itu semakin elegan. Di ruang tamu ada foto keluarga, di foto itu pak Wijaya sekeluarga bersama putri cantiknya. Tidak jauh dari sana, terdapat lift, rumah ini ternyata memiliki lift.
Steven dan Marco menatap seorang wanita mengenakan baju panjang dan celana hitam, rambutnya diikat ke belakang, ia tahu kalau wanita itu adalah salah satu orang yang bekerja di sini, dia membawa tray berisi orange jus dan beberapa buah segar. Setelah itu wanita itu pergi dari hadapan mereka.
“Baru pulang dari rumah sakit?” Tanya pak Wijaya.
“Iya, benar pak.”
“Bagaimana kerjaan kalian?” Tanya pak Wijaya.
“Baik pak seperti biasa,” ucap Steven.
“Bagimana keadaan pak Wijaya?” Steven balik bertanya.
Pak Wijaya tersenyum menatap Steven, “Kamu lihat sendiri, bagaimana sekarang? Sebulan saya sudah sehat, semua berkat kamu,” ucap pak Wijaya tertawa.
“Syukurlah kalau begitu pak.”
Pak Wijaya memandang Steven, “Boleh dokter Steven ikut saya ke dalam, saya ada perlu dengan dokter Steven.”
“Baik pak, bisa,” ucap Steven.
Steven beranjak dari duduknya, ia mengikuti langkah pak Wijaya menuju ke arah dalam, sementara Marco duduk di ruang tamu seorang diri, karena Steven masuk ke dalam. Ia mengambil gelas bertangkai tinggi itu dan meneguknya sambil menunggu Steven.
***
Steven masuk ke dalam, ia melihat ruang keluarga di rumah ini tampak luas tanpa sekat. Ruangan ini memiliki jendela yang berukuran besar, view langsung menghadap kolam renang. Pak Wijaya mengajaknya ke salah satu ruangan. Ruangan itu berwarna putih dengan penerangan yang sangat baik, di sana ada meja terbuat dari kayu jati, lemari kayu mirip rak, terdapat banyak buku-buku, yang tersusun sangat rapi, hingga ke langit-langit, mirip perpustakkaan mini, ia yakin itu mereka koleksi buku-buku pak Wijaya, di samping sebelah kiri ada jendela berukuran besar yang menghadap langsung ke taman, di sana ada sofa kecil yang sangat nyaman untuk membaca.
“Ini dulu sebenarnya ruangan April, dia senang membaca buku di sini. April betah hanya untuk membaca buku seharian. Namun April sudah tidak tinggal di sini, dia memutuskan tinggal sendiri di rumahnya,” ucap pak Wijaya.
Steven salah paham, ternyata ini ruangan April bukan ruangan pak Wijaya, ia melihat pak Wijaya duduk di salah satu kursi,
“Silahkan duduk dok,” ucap pak Wijaya, mempersilahkan pria itu duduk di hadapannya, karena ada hal yang penting untuk ia bicarankan dengan pemuda itu.
Ia tahu kalau putri sulungnya April sudah saatnya menginjak usia pernikahan. Umurnya sudah memasuki 30 tahun namun belum menemukan pendamping hidup. Ia sebagai orang tua tentunya juga berhak untuk memilih menentukan calon pasangan anaknya.
Di satu sisi anaknya April memang sangat pemilih, seumur hidupnya hanya dua kali April memperkenalkan pria yang pertama saat kuliah, dan yang kedua empat tahun yang lalu seorang bule berasal dari Prancis bekerja di perusahaan swasta di London. Namun setelah itu hubungan itu kandas begitu saja tidak ada lagi kabar beritanya.
Beliau tahu zaman sudah berubah, sudah tidak lagi relevan dengan pilihan orang tua. Orang tuapun merasa paling berhak memilihkan dan menentukan pasangan. Ia tentunya memahami karakter anaknya seperti apa. Ia melihat dokter Steven memenuhi semua kriterianya, dari segi fisik dia nyaris sempurna, kesuksesan karir, dan kepribadiannya sangat baik.
“Saya sejujurnya suka dengan pemuda seperti kamu Steven,” ucap pak Wijaya.
“Kamu pria yang cerdas, kamu berani mengambil tindakan, kamu bertanggung jawab, dan kamu pekerja keras,” ucap pak Wijaya, ia yakin bahwa pilihannya kepada dokter Steven adalah yang terbaik untuk menjaga putrinya, ia ingin dokter Steven bagian dari keluarga ini. Dari latar belakang, mungkin dokter Steven sudah tidak memiliki orang tua lagi, ia tidak mempermasalahkan itu. Ia memiliki standar tertentu, ia dapat mellihat kualitas, dari pendidikan, kepribadian dan pecapaiannya.
“Terima kasih pak.”
“Saya ingin menawarkan kepada kamu untuk menjadi bagian dari keluarga saya,” ucap pak Wijaya pada akhirnya.
“Maksud pak Wiaya?”
“Apa kamu mau menikahi putri saya April?” Ucap pak Wijaya to the point.
Steven menelan ludah, ia tidak menyangka seorang pak Wijaya ingin dirinya menikah dengan putrinya bernama April. Mendengar itu jantungnya langsung berdegup kencang, ada perasaan rasah dan gelisah di hatinya. Ia tahu April dan mereka sudah berkenalan satu bulan yang lalu, setelah itu ia tidak mendengar kabar wanita itu lagi, karena pada dasarnya mereka tidak dekat.
Ia tahu diri siapa dirinya, ia hanya seorang dokter biasa dan tidak memiliki mimpi untuk menikah dengan seorang anak konglomerat, apalagi itu anak dari pak Wijaya.
Steven menarik nafas, ia menatap pak Wijaya, “Masalahnya, apa April mau sama saya? Saya hanya seorang dokter biasa.”
Pak Wijaya tersenyum, “April pasti mau dengan kamu.”
Steven pernah menanamkan prinsip bahwa ia tidak akan menikah atas tuntutan apapun. Ia tahu kalau hidup ini tentang pilihan. Ia akan menikah jika ia memang ia bersedia untuk terlatih dengan segala aspek pernikahan ke depannya. Ketika sudah menikah, hubungan yang ia pilih bukan milik dirinya, setiap pilihan kedepannya bukan tentang pertimbangan dirinya sebenernya.
Ia tahu jika pernikahan itu bukan hanya tentang bahagia saja. Ia tidak bisa membayangkan, ia hidup dengan seseorang yang sama sekali tidak ia cintai setiap hari, dari membuka mata hingga menutup mata kembali. April itu orang asing menurutnya, dan akan menjadi pasangannya, ia belum pernah mengenal apapun tentangnya kecuali dia anak dari pak Wijaya.
Apa tujuan pernikahan sebenarnya? Apa ia siap menghabiskan perjalanan hidupnya dengan wanita itu? Ia tahu kalau hidup itu tidak selalu tentang orang yang ia cintai dan juga tidak sepenuhnya tentang dirinya.
Padahal ia memang berniat memang tidak ingin menikah, alasan terbesar tentu saja ia belum menemukan orang yang tidak sefrekuensi dengan dirinya yang tipikal old soul. Bagi dirinya lebih baik ia menikmati masa lajang dirinya dengan melakukan apapun yang ingin ia lakukan, menikmati waktu tidur dirinya sendiri tanpa ribet. Ia memang lagi sedang nyaman sendiri, terakhir ia memang tertarik dengan wanita bernama Luna, dia mengalami toxic marriage. Semenjak ia menyembuhkan wanita itu, mereka berpisah begitu saja. Ia tidak mendengar kabarnya lagi setelah Luna bercerai, mungkin wanita itu sedang menenangkan diri dan ia pun tidak mencari tahu lagi tentangnya.
“Bapak yakin April mau dengan saya?” Tanya Steven sekali lagi, ia sebenarnya ingin menolak, namun ia tidak sanggup mengatakan tidak.
“Iya, saya yakin.”
Pak Wijaya menarik nafas beberapa detik, “Banyak keuntungan yang kamu dapatkan menikahi putri saya. Saya percaya kamu bisa mengurusi perusahaan saya terutama dibidang medis, dan saya juga saya yakin kamu bisa memimpin rumah sakit yang saya bangun.”
Steven bergeming sesaat, ia tahu sumah sakit Siloam yang dibangun pak Wijaya sebanyak 40 rumah sakit tersebar di seluruh Indonesia, dan puluhan klinik tersebar di mana-mana. Ia hanya dokter biasa, namun ia tidak pernah bermimpi memiliki bagian dari perusahaan itu, apalagi membangun rumah sakit.
“Ada beberapa alasan kenapa saya memilih kamu menjadi bagian dari saya dokter Steven. Saya tahu kamu orangnya sangat gigih dalam bekerja. Rumah sakit yang saya bangun mengalami kemunduran. Perusahaan lain mengakusisi beberapa rumah sakit saya, saya tidak ingin itu terjadi lagi. Saya harap kamu bisa menjadi bagian dari saya. Kamu tahu sendiri, saya bukan terlahir dari kalangan medis, dengan nekat membangun bisnis ini, awalnya berjalan dengan baik, namun tahun belakangan ini mengalami kemunduran.”
Steven menatap pak Wijaya, beliau bercerita tentang bisnisnya. Ia tahu kalau prospek bisnis rumah sakit di Indonesia sangat menjanjikan, di topang beberapa indicator yang mendukung, dari pemerintah, penduduk dan industry kesehatan lainnya. Penduduk berjumlah ratusan juta jiwa, jelas sangat membutuhkan kehadiran rumah sakit sebagai layanan dibidang kesehatan. Keuntungan sangat menggiurkan, dan masa depan yang sangat cerah. Ia tahu disekor ini meliputi rumah sakit, klinik, dokter, perusahaan farmasi, laboratorium, apotek, dll. Ia paham cara kerjanya, namun ia belum pernah terjun langsung membangun perusahaan ini.
Ia merasakan tangan pak Wijaya berada di permukaan tangannya, “Saya ingin kamu menikahi putri saya.”
Steven menatap iris mata pak Wijaya, ada keseriusan di sana, “Bapak mempercayakan saya?”
Pak Wijaya mengangguk, “Iya, saya percaya kamu memimpin perusahaan saya, asalkan kamu menikahi putri saya. Otomatis kamu menjadi bagian dari saya. Kamu menantu pertama di keluarga ini.”
“Apa bapak sudah menyelidiki sebelumnya saya siapa?”
Pak Wijaya tersenyum, dan mengangguk, “Ia sudah. Kamu dokter yang hebat. Orang tua kamu sudah tiada, tidak apa-apa bukan menjadi persoalan besar bagi saya. Kamu masih single dan kamu cerdas luar biasa. Saya suka kamu semua tentang kamu.”
“Kamu mau menjadi bagian dari saya?”
Steven menatap pak Wijaya dengan berani, “Saya minta waktu untuk berpikir.”
“Iya. Kamis ini, saya mengundang anak-anak saya untuk makan malam bersama. Jika kamu hadir, itu tandanya kamu setuju atas permintaan saya. Saya harap kamu hadir dan menjadi bagian dari saya Steven.”
Steven mengangguk, “Baik pak, beri saya waktu untuk berpikir. Ini tentang pernikahan dan saya tidak main-main dalam hubungan ini.”
“Iya, saya mengerti bagaimana posisi anda. Sepertinya beberapa hari cukup waktu untuk kamu berpikir.”
“Iya.”
“Kamu sudah memiliki kekasih?”
“Belum pak.”
“Good. Untuk strategi bisnis, dan rencana kedepannya, nanti kamu bisa belajar dan dibantu oleh pak Danung, dia tangan kanan saya, dia tahu seluk beluk perusahaan saya. Ada beberapa staff kepercayaan saya membantu kamu nanti.”
Steven mengambil nafas beberapa detik, “Jadi bapak ngajak ketemu saya di sini untuk berbicara tentang ini.”
Pak Wijaya terseyum dan mengangguk, “Iya, kamu benar, itu tujuan saya memanggil kamu di sini.”
“Saya harap kamu bisa berpikir dengan baik. Ini demi masa depan kita bersama.”
“Bagaimana dengan April? Apakah dia tahu tentang ini?”
“Tidak, dia tidak akan tahu. Kalaupun tahu, tidak akan menjadi persoalan bersar, kalian sudah menjadi suami istri nantinya. Pasti cinta kalian akan bersemi di rumah tangga kalian.”
Menikah dengan April tentu saja ia langsung mengubah status sosialnya. Ia harus berpikir ratusan kali untuk ini. Ia menatap pak Wijaya, dan beliau terlihat teramat yakin kepadanya. Ia dulu pernah bermimpi bahwa ia akan membangun rumah sakit dengan basis tekhnologi.
Namun apa daya ia bukanlah dari konglomerat, membangun rumah sakit bukan seperti mengoperasi pasien, itu jelas dunia yang berbeda. Ia ingin rumah sakit itu memiliki telemedicine dengan memadukan layanan kesehatan dan kehadiran teknologi yang memudahkan setiap orang mendapatkan pelayanan kesehatan secara mudah dan cepat. Tawaran pak Wijaya memang sangat menggiurkan dan mimpinya langsung menjadi kenyataan.
Yang ia pikirkan saat ini adalah, bagaimana dengan pernikahan? Apa ia bisa menikah tanpa cinta? Apa yang terjadi dengan pernikahannya dengan April kelak? Bagaimana cara pendekatan dengan wanita itu? Masalahnya ia sama sekali tidak pernah mengenal siapa dia.
“Baik pak, terima kasih atas tawarannya. Jujur saya terharu atas kepercayaan bapak kepada saya,” Steven beranjak dari duduknya, begitu juga dengan pak Wijaya.
“Sama-sama dokter Steven,” mereka melangkahkan kaki menuju ruang tamu kembali.
Steven menatap Marco yang masih berada di posisi yang sama, ia lalu kembali duduk di kursi di temani pak Wijaya sambil ngobrol banyak tentang keadaan rumah sakit bersama Marco.
Beberapa menit kemudian,
Steven dan Marco akhirnya undur diri dan mereka meninggalkan rumah pak Wijaya. Steven memanuver mobilnya. Dan Marco menatap Steven, ia bertanya-tanya dengan pria itu.
“Lo belum cerita?” Ucap Marco.
Steven menarik nafas beberapa detik, ia melirik Marco,
“Lo mau tau?”
“Jelas dong.”
“Pak Wijaya mau gue nikah sama April, anaknya.”
“What!”
***