BAB 6
HAPPY READING
***
April tidak bisa berkata-kata, ia melihat tatapan emosi pada pria itu. Seketika ia nge-blank begitu saja. Ia menelan ludah,
“Kamu pikir saya tidak cukup finansial menikahi kamu?”
“Kamu mau pesta pernikahan seperti apa? Kamu mau liburan ke negara mana? Kamu mau berbelanja apa? Kamu pikir saya tidak bisa membiayai kamu selama kamu menjadi istri saya.”
“Saya tahu kamu lebih kaya dari saya, hanya saja saya punya harga diri. Saya punya skill, kemampuan, kefasihan, keterampilan, kecerdasan dan pengetahuan. Yang bisa membuat saya menghasilkan income yang lebih.”
“Kamu itu seorang dokter, harusnya kamu tahu siapa saya.”
“Kalau mau menolak, oke tidak apa-apa. Saya akan mengatakan kepada kedua orang tua kamu, bahwa saya dan kamu, tidak bisa disatukan dengan alasan karena kita tidak cocok.”
“Saat ini kita belum terlambat mengatakannya, lagian hubungan kita belum di mulai,” ucap Steven.
April mengigit bibir bawahnya, entah kenapa ia merasa bersalah mengatakan hal itu kepada Steven. Ini prihal prinsip dan nilai yang dianut, ini juga tentang mindset dan cara berbicara. Pria itu mengajaknya ke sini hanya untuk berbicara tentang finansial dan keputusan.
Ia akui kalau pria itu menjaga sikap dan prilaku kepada keluarganya agar pembicaraan ini tidak menyakiti perasaan orang tuanya. Dia mampu mengendalikan emosinya, namun ego nya sangat tinggi bahkan ia tidak bisa berkata-kata untuk sekedar membantah.
Ia menatap tatapan Steven dengan berani, ia lebih mengalah diri sendiri. Ia tidak perlu menyanjungnya, tidak perlu memuji kalau dia memang dokter hebat, tidak perlu konferensi pers tentang hal apapun. Ia tau kalau kepercayaan diri yang tinggi, diucapkan olehh Steven datang bersamaan dengan kebanggaan. Harga diri pria itu ternyata sangat penting, dia memiliki kewibawaan dan jiwanya harus dihargai oleh orang lain, lidahnya semakin kelu.
April mengatur nafasnya, ia berusaha tenang, ia tahu ego Steven tidak bisa dibantah, memang sepenuhnya benar, ia bersalah di sini, tidak menjaga lisannya dengan baik, hingga membuat pria itu langsung berdiskusi secara terbuka, pilihannya batal atau melanjutkan.
“Saya akan berbicara dengan kedua orang tua kamu, jika kamu tidak menginginkan saya.”
April memejamkan mata, ia hampir gila memikirkan ini semua, “Oke, saya terima kasih atas keputusan kamu,” ucap April pada akhirnya.
“Maaf atas ucapan saya tadi. Saya tidak bermaksud untuk menyinggung kamu. Saya tidak mengatakan kalau kamu tidak stabil dalam finansial, saya hanya menganalogikan seperti apa yang saya inginkan,” ia menurunkan egonya kepada pria itu.
April menarik nafas beberapa detik, ia melihat Steven yang menatapnya,
“Jadi bagaimana? Apa keputusan kamu?” Tanya Steven.
“Apa kamu yakin menikahi saya?”
“Kalau saya tidak yakin, saya tidak mungkin berada di sini dihadapan orang tua kamu. Buat apa saya membuang waktu saya untuk datang ke sini.”
“Saya butuh alasan,” ucap April lagi.
Steven menarik nafas, ia menatap iris mata bening itu, “Kamu mau tau alasan saya untuk menikah dengan kamu.”
“Iya, tentu saja.”
“Jika membicarakan cinta, perjalanan cinta saya ini sangat panjang, berliku, berkelok dan menikung. Awalnya saya tidak ingin menikah, lebih baik sendiri saja, tidak ada beban yang saya tanggung dan lebih baik menikmati hidup saya.”
“Hingga akhirnya orang tua kamu datang kepada saya, menawarkan putrinya yang tidak kunjung menikah karena sudah berkepala tiga. Saya tidak memiliki orang tua lagi untuk diajak diskusi masalah ini. Sampai akhirnya saya memiliki kesepakatan dalam hati saya untuk punya kemampuan keras untuk hidup bersama dengan seseorang, walaupun dia orang asing bagi saya.”
“Kamu itu hampir memenuhi semua kriteria saya, kamu cantik, fisik kamu bagus dan kamu seorang dokter. Saya yang justrunya bertanya kepada kamu, apa kamu bisa menerima saya yang begini adanya, biasa-biasa saja?”
“Saya ini tipe pria yang punya keinginan dan effort lebih. Repotnya disaya, jika cuma saya yang mau dan kamu tidak.”
“Saya pikir kamu sudah menerima atas permintaan orang tua kamu. Andai saya tahu kalau kamu tidak menerima saya, lebih baik tidak datang ke sini.”
“Kamu tahu kenapa saya terima tawaran ini? Saya sudah lelah namanya cinta, terlalu banyak alasan dan kata-kata, banyak tapi-nya, ujung-ujunganya saya sendiri juga.”
“Orang-orang di luar sana banyak alasan menikah karena seks yang dibungkus dengan hal-hal puitis sehingga terlihat lebih beradab. Tapi buat saya menikah bukanlah hal mendesak, bukan juga kebutuhan saya, saya tidak terlalu tertarik ke arah sana. Karena yang menawarkan itu orang tua kamu sendiri, yang saya hormati, saya mengambil keputusan untuk datang.”
“Saya menikah dengan kamu karena kekayaan, rasanya tidak juga, buat apa mempertahankan ekspansi kepemilikan yang bukan milik saya. Saya menikah tentu saja harusnya dia mau juga menikah dengan saya.”
“Saya mau menikah, karena saya ingin menghabiskan waktu bersama, membangun keluarga, tiap hari ngobrol, sampai beranak pinak sampai tua. Saya percaya karena kamu bisa worth the effort, dan dia juga percaya kalau saya worth the effort.”
“Lalu apa lagi? Apa saya harus menolak? Di umur saya yang segini mau ke mana lagi? Dengan apa agar saya bisa memenuhi cara yang baik? Yes of course marriage.”
April tertegun dengan penjelasan Steven, ia sampai takjub tidak berkata-kata dengan penjelasan dan alasan kenapa dia menerima ini. Di umurnya segini juga ia memang tidak berpikiran untuk menikah, malah saat ini ia tidak dekat dengan siapapun. Bahkan lingkungan pertemanannya sangat kecil lone ranger. Sejak dulu ke mana-mana sendiri bahkan untuk traveling kadang sendiri. Mungkin banyak yang bilang ia selfish, masih ingin merasakan hidup sendiri itu menyenangkan. Ia hanya takut kalau ia menikah masalahnya semakin banyak, masalah dirinya, masalah suami, masalah anak. Jika single masalahnya cuma dua dirinya dan keluarga saja.
Steven menarik nafas beberapa detik, ia menatap April, “Oke, sekarang saya sudah tahu bagaimana mau kamu. Lebih baik kita selesaikan dengan cara baik-baik, dan saya yakin orang tua kamu paham. Tidak mungkin memaksakan kehendak, karena jika dipaksakan juga tidak akan baik ke depannya.”
Steven menatap orang tua April dari kejauhan, “Orang tua kamu sudah menunggu kita. Lebih baik kita masuk,” ucap Steven, ia lalu meninggalkan gadis itu sendiri di sini.
April melihat Steven sudah melangkah menjauhinya, lalu ia dengan cepat mengejar pria itu, ia tidak bisa berpikir lagi, ia sepertinya harus mengambil keputusan.
“Steven.”
“Apa?”
“Oke, lebih baik kita menikah saja,” ucap April pada akhirnya.
Langkah Steven terhenti, ia menatap April yang berada di sampingnya, ia tidak menyangka kalau wanita itu menerima kalau mereka akan menikah. Ia lalu tersenyum penuh arti dan lalu meneruskan langkahnya. Entahlah, ia merasa kalau hatinya saat ini akan meledak sekarang juga.
***
April dan Steven kembali ke meja makan, mereka duduk kembali bersama kedua orang tua dan Nara. Ada perasaan lega dihati mereka setelah memikirkan pernikahan. April mengambil gelas bertangkai tinggi itu dan lalu meneguknya secara perlahan. Ia menatap kedua orang tuanya, ia tahu kedua orang tuanya tidak muda lagi, apa salahnya membahagiakan beliau dengan menikah.
“Bagaimana?” Tanya papi menatap April dan Steven, tadi mereka hanya memandang dari kejauhan, ia tidak tahu apa yang mereka bicarakan di sana.
Steven melirik April dan April menatapnya, tatapan itu seakan mengatakan bahwa dirinya yang harus bicara.
“Iya, kita putuskan untuk menikah,” ucap Steven.
Kedua orang tua April tersenyum mendengar jawaban Steven, ia memandang putri sulungnya. April menatap balik, seolah kedua orang tuanya meminta jawaban kepadanya.
April mengangguk, “Iya, kita akan menikah.”
Papi April tersenyum, “Kita akan segera urus pernikahan kalian secapatnya.”
Akhirnya mereka kembali makan dengan tenang, di meja makan diisi dengan obrolan sejarah pernikahan. Papi bercerita kalau dia dan mami bertemu di kantor, mereka cinta lokasi. Ya, selayaknya sinetron Indonesia. Perjalan cinta mereka ternyata tidak di restui oleh kedua orang tua. Namun papi bertekat tetape menikahi mami.
Perjalanan pernikahan mereka tentu saja tidaklah mulus, bahkan mami kesulitan untuk diterima oleh keluarga besar papi, ia menganggap bahwa dia kena kutukan karma. Namun sekeras-kerasnya batu suatu saat akan lapuk terkena air. Kesabaran mami membuahkan hasil hingga seluruh keluarga papi menerima dengan lapang dada.
Kekuatan cinta mereka, dan rasa saling percaya menjadikan ekspetasi dan interprestasi dirinya terhadap suatu hubungan menjadi sangat tinggi. Jujur ia iri dengan kisah cinta mereka, senyum kedua orang tuanya, membuatnya bahagia, entah tidak tahu kenapa ia suka saja. Terbesit di dalam pikirannya bahwa itu adalah senyum kebahagiaan.
***
Akhirnya kedua orang tua mereka dan Nara memberi ruang privasi antara ia dan Steven. Ia memilih duduk di kursi, sambil menatap kolam, ia melirik Steven yang berada tidak jauh darinya.
“Kamu tinggal di mana?” Tanya Steven membuka topik pembicaraan, ia duduk di salah satu kursi kosong, tepatnya di samping April, ia memandang staff dapur membawa dua cangkir orange jus dan beberapa cemilan, ia mengucapkan terima kasih, setelah itu wanita itu meninggalkannya.
“Tinggal di Pondok Indah.”
“Sama, kalau gitu.”
Alis April terangkat memandang Steven, “Owh ya? Di mananya?” Tanya April penasaran..
“Villa Pondok Indah. Kamu di mana?” Tanya Steven.
“Wisma Indah Pondok Indah.”
“I see, tidak begitu jauh, menurut saya,” ucap Steven, ia meraih gelas dan meneguk orange jus itu dengan tenang. Ia melirik jam melingkar di tangannya sudah menunjukan pukul 21.15 menit.
Steven menatap April, wanita itu hanya diam, dia bergerak secara natural, angin malam menerpa rambut panjangnya. Mereka memilih tinggal di kawasan itu karena merasa aman, steril dan nyaman.
April tahu kalau Steven itu dokter bedah, biaya bedah tidaklah murah, sekali operasi ada yang mencapai ratusan juta, wajar pria itu bisa dapat membeli rumah tapak di sana. Di kawasan itu banyak orang-orang pentolannya dengan gaji fantastis. Mereka butuh hunian yang menenangkan. Dan yang penting hunian itu tidak terlalu jauh dari tempat mereka kerja.
“Kalau kamu menikah dengan saya, kamu otomatis tinggal dengan saya. Saya tidak akan tinggal di rumah kamu apalagi rumah orang tua kamu.”
“Why?”
“Karena kamu istri saya.”
“Kalau saya tidak mau?”
“Saya akan tetap paksa kamu tinggal dengan saya.”
“Kamu itu agak egois ya.”
Steven tertawa, “Saya tidak egois, karena ini soal harga diri. Kalaupun rumah orang tua kamu megah. Atau rumah kamu lebih besar dari rumah saya, kamu tetap ikut saya, tinggal bersama saya. Apapun alasannya, kamu tetap tinggal sama saya.”
“Bagaimana tentang finansial?” Tanya April.
“Saya akan serahkan kepada kamu. Saya yakin kamu pasti bisa mengelola keuangan saya.”
“Yah, kita bicarakan saja secara terbuka, dari penghasilan saya, kamu, jobdesc rumah, tetang sex, prinsip yang harus dijalani. Kalau prinsip saya dan kamu berbeda, mungkin ada kata negosiasi dan pertimbangan lebih lanjut.”
April mengangguk paham, “Untuk sex, saya hanya bisa tidur dengan orang yang sama-sama memiliki chemistry yang kuat.”
Steven menarik nafas, “Tidak apa-apa, saya tidak terlalu tergesa-gesa soal itu. Papi kamu mengatakan kalau dia ingin kita segera menikah. Bagaimana dengan tanggapan kamu?”
“Tidak apa-apa, ikutin saja kemauan mami dan papi. Saya ikut saja.”
“Point yang paling penting, fisik dan mental kamu harus siap untuk menikah.”
“Siap nggak siap. Jalani saja, walaupun saya tidak tahu ke depannya seperti apa.”
“Mas Steven!”
April dan Steven menoleh ke samping, ia menatap Nara di sana, wanita itu melangkah mendekatinya. Ia tersenyum kepada gadis itu.
“Iya, kenapa Nara?” Tanya Steven.
“Aku kan buru-buru mau balik. Tadi mba April sama aku. Mba April pulangnya sama mas Steven aja ya.”
Steven melirik April, “Iya, enggak apa-apa. Nanti April pulang sama saya.”
“Oke, dah mas Steven, langgeng ya berdua,” ucap Nara di selingi tawa.
April melihat adiknya sudah melesat dari balik pintu meninggalkan dirinya dan Steven. Ia menatap Steven yang tengah memperhatikannya.
“Tadi kamu perginya sama Nara?”
“Iya.”
“Rumah saya dan kamu satu arah, kita pulang sama-sama.”
April mengangguk, “Iya.”
April beranjak dari duduknya, begitu juga dengan Steven, “Mau pulang sekarang?”
“Iya, udah hampir jam sepuluh. Kita pamit sama mami dan papi dulu.”
“April,” ucap Steven.
April menatap Steven, “Iya, kenapa?”
“Saya harap kamu menerima pendapat saya tadi.”
April mengangguk, “Iya.”
“Terima kasih.”
April dan Steven lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Ia melihat mami dan papi sedang duduk di ruang keluarga. Mereka melangkah mendekat,
“Mi, pi, aku sama Steven pulang dulu ya,” ucap April.
“Langsung pulang?”
“Iya, udah malem. Besok Steven harus kerja dan aku juga besok pagi ada meeting.”
Mami lalu memeluk April, “Kamu hati-hati ya sayang pulangnya.”
“Iya.”
Papi menepuk bahu Steven, “Kamu hati-hati bawa mobil Steven.”
Steven tersenyum, mereka melangkahkan kakinya menuju teras. April melihat Steven menghidupkan central lock, dan lampu mobil itu menyala. Ia tahu kalau mobil yang dikendari milik Steven adalah mobil Eropa keluaran seri terbaru yang dibandrol dengan harag fantastis. Ia melihat Steven membuka pintu mobil untuknya. Ia masuk ke dalam mobil itu dan mendaratkan pantatnya di kursi. Ia tidak lupa memasang sabuk pengaman. Ia melihat Steven sudah berada di sampingnya, dia menghidupkan lampu dasbor, setelah itu mobil meninggalkan area rumah orang tuanya.
***