BAB 7
HAPPY READING
***
“Everything alright!” Ucap Bianca gugup. Ia sadar bahwa ucapan Alex dari segala pertanyaan yang melayang di kepalanya.
“Not sure,” ucap Alex.
“Coba saya tebak, ayah saya pasti tidak suka jika saya samper kamu ke sini.”
Jantung Bianca berdegup kencang ia memegang erat dua kaleng soft drink di tangannya agar tidak terjatuh. Ia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Bagaimana mungkin Alex berpikir seperti itu? Ia tahu kalau Peter memberikan kepercayaan untuk tidak berpaling darinya, dan ia tidak pernah memberikan alasan kepada Peter untuk mempertanyakan kepercayaan itu.
Bianca melangkah menuju balkon dan Alex mengikuti langkahnya dari belakang. Ketika ia hendak duduk ia merasakan tangan kiri Alex berada di lengannya. Otomatis ia tertahan dan pria itu berada di hadapannya. Bianca bergeming ketika mereka saling berhadapan satu sama lain. Tubuh Bianca seketika mundur ke belakang, kini berada di tepi balkon. Ia menatap Alex sudah mengurung tubuhnya.
Jantung Bianca mau copot sekarang karena napas Alex terasa di permukaan wajahnya. Aroma parfum nya yang hangat, membuatnya betah belama-lama menciumnya. Ia mendongakkan wajahnya, agar wajah mereka sejajar, ia memperhatikan struktur wajah Alex. Oh Jesus! Kenapa dia setampan ini.
Apa Alex keturunan Spanyol, Portugal? Kenapa ia yakin kalau Alex darah campuran Eropa. Apa Alex sadar kalau dia itu sangat tampan? Ia kembali teringat dengan mimpinya, dia sama percis dengan yang ada di sana. Apa yang harus ia lakukan saat ini? Alex seperti ingin menciumnya. Bagaimana rasanya dicium oleh Alex. Apa mereka akan berciuman secara santai atau justri sebaliknya? Oh Tidak! Kenapa ia tiba-tiba menginginkan alex menciumnya.
Bianca mengalihkan matanya ke arah lengan Alex, tangannya terlihat kokoh dan kuat. Bianca dan Alex saling terdiam satu sama lain. Alex menatap wajah cantik Bianca, ia tahu bahwa banyak sekali pria di luar sana tertarik dengan wanita satu ini, dia dulunya pekerja seks komersial untuk kalangan konglomerat dan dia tidak bodoh jika diajak kerja sama. Dia cerdas dalam mengelola finansialnya dan dia memiliki aset di mana-mana, bahkan dia pernah menjadi pacar sewaan yang dibayar hanya perjam tanpa melakukan apa-apa.
Ia tau kalau Bianca mendekati ayahnya karena harta. Harta yang membuatnya rela melakukan apa saja walau tanpa cinta. Ia ingin menawarkan hal yang lebih menggoda untuknya, namun sepertinya tidak sekarang, ia harus menjalin pendekatan terlebih dahulu, karena ia tahu kalau Bianca akan menolaknya.
Alex mengalihkan pandangannya ke kaleng soft drink yang dipegang Bianca, ia mengamil soft drink dingin itu dari tangan Bianca dan tersenyum, “Thank’s, minumannya,” ucap Alex mengambil soft drink itu dari tangan Bianca.
“Kebetulan saya haus,” Alex membuka botol kaleng itu dengan tangannya dan tersenyum.
Alex melangkah menjauh dan duduk di kursi ia tersenyum penuh arti. Sementara Bianca merasa lega akhirnya Alex menjauh darinya. Bianca masuk kembali ke dalam ia mengambil cookies yang ia buat beberapa hari yang lalu, ia bawa ke balkon sambil menenangkan hatinya.
Bianca menaruh cookies itu di meja, ia duduk di sofa. Ia membuka tutup botol itu dan meneguknya secara perlahan.
Alex memperhatikan Bianca wanita itu berada di hadapannya.
“Apartemen kamu bagus.”
“Terima kasih.”
“Oiya, maafkan saya atas ucapan saya tadi siang,” ucap Alex meredakan suasana.
“Yang mana …” Bianca mencoba mengingat, ah ya ucapan Alex yang mengatakan kalau pria itu menjauhinya.
“Owh itu, tidak apa-apa,” tandas Bianca.
Alex melihat toples kaca berisi cookies ia ingat kalau Bianca memiliki hobi memasak, untuk membuat wanita nyaman tentu saja membicarakan hal-hal yang disukainya.
“Ini cookies buatan kamu?” Tanya Alex membuka topik pembicaraan berbeda.
“Iya.”
“Boleh saya coba?”
“Iya, silahkan,” Bianca ia lalu dengan cepat membuka tutup toples berbahan kaca itu.
Bianca menatap Alex memakan cookies buatannya, ia ingin tahu bagaimana reaksi Alex menyicipin cookies buatannya.
“Cookies nya enak. Saya suka, apa ini terbuat dari oat?” Tanya Alex mencoba merasakan tekstur dan rasa.
Bianca mengangguk, “Iya kamu benar, itu oat.”
“Ada rasa manis dan sedikit asam, ini bukan coklat kan.”
“Bukan, itu kismis buat menambah rasa manis pada cookies. Sebenarnya saya lagi rajin buat cookies sehat, yang rendah kalori dan bebas gluten, tapi tidak mengubah rasa cookies itu sendiri. Manis dan renyah saya suka.”
“Saya biasa buat cookies pisang oat, cookies matcha, cookies oat peanut. Kebetulan kemarin saya buat cookies oat kismis, cookies selalu tersedia di meja saya. Setiap sisa sedikit langsung saya buat lagi karena pada dasarnya, saya suka ngemil.”
Satu hal lagi yang buat ia tidak percaya kalau wanita di hadapannya menyukai makanan sehat. Dia tidak hanya cantik tapi juga memperhatikan kesehatannya. Semakin ia mengenal Bianca kehidupan wanita itu semakin menarik menurutnya.
“Ide cookie sehat seperti ini, bisa jadi peluang usaha loh ya,” ucap Alex kembali memasukan makanan ke dalam mulutnya.
Alis Bianca terangkat, “Owh ya? Saya belum ada kepikiran kalau ini ada peluang usaha. Memang dibuat untuk makan sendiri.”
“Kalau dianalisa usahanya bisa saja. Nanti saya ajari kamu melakukan bisnis pertama kamu.”
“Really? Saya yang sebenarnya tidak yakin, apa ini bisa diterima di lidah orang lain apa tidak. Karena tidak semua orang suka oat,” Bianca tertawa.
“Rasanya enak, manis, renyah semua orang pasti suka. Di tambah nilai plus nya bahwa ini bisa jadi cemilan sehat. Apapun itu jika dengan saya maka akan jadi peluang usaha.”
“I know, kamu memang terlahir untuk itu kan.”
Alex tertawa, “Maybe.”
“Sejak kapan kamu sekarang melakukan pola hidup sehat.”
“Masih jauh dari kata sehat sebenarnya, saya tidak yakin juga sehat atau tidak. Saya kadang-kadang masih suka minum alkohol dan minuman bersoda seperti ini. Buat cookies itu karena saya pecinta cookies, kalau kebanyakan makan manis akibatnya saya bisa diabetes.”
“Tidak apa-apa, ini bisa jadi ladang usaha buat kamu kedepannya.”
“Apa-apa jadi usaha.”
Alex tertawa dan wanita itu juga ikut tertawa. Alex memperhatkan Bianca, seperti biasa tawa wanita itu sangat manis, ia mengerutkan dahi dan memfokuskan penglihatannya, ia melihat ada tato salib kecil di nadi Bianca. Salib itu tertutup oleh gelang rantai.
“Wait, you have a tattoo?” Tanya Alex seketika.
Bianca lalu mengalihkan tatapannya ke arah pergelangan tangannya, “Maksud kamu ini?” Tanya Bianca memperlihatkan tato mini nya kepada Alex. Padahal hanya sebuah tato sangat kecil berukuran garis
“Iya.”
“Kok kelihatan sih sama kamu.”
Alex mencuri pandang ke arah Bianca, pria itu memperhatikan tattoo nya. Mata Alex terlihat tidak terlalu fokus, seakan terpesona dengan tato nya. Jarak mereka hanya berada kurang dari setengah meter. Bianca tahu ini bukan terbaik.
“Do you like it?” Tanya Bianca memperhatkan
Alex menarik perhatiannya dari tato Bianca, ia sadar bahwa ia terpana menatap tato kecil di nadi itu, tanpa sadar ia menyentuh kulit Bianca, ia memperhatikan tato itu dari jarak dekat.
“Kamu suka tato saya?” Tanya Bianca mengulangi ucapannya, ia menahan napas karena tangan hangat Alex menyentuhnya, ia sama sekali tidak menghindarinya.
Alex baru sadar apa yang telah ia lakukan, ia lalu melepaskan tangannya, “Im sorry, saya tidak bermaksud,” ucap Alex.
Suasana menjadi terasa kaku setelah Alex memegang tangan Bianca, ia tahu kalau ia kurang sopan menyentuhnya begitu saja karena rasa penasarannya. Namun Bianca ingin tahu bagaimana pendapat Alex tentang tato nya.
“Itu tato di mana?” Tanya Alex penasaran.
“Tato di Bali waktu saya liburan dengan teman-teman saya beberapa tahun lalu.”
“Kenapa milih salib?”
Bianca menarik napas, “Walau sebenarnya saya bukan wanita yang taat ibadah. Namun saya selalu ingat kalau hidup saya itu ada di tangan Tuhan. Dan apapun saya lakukan tidak akan memiliki akses tanpa seizinnya.”
Alex tertegun mendengar penjelasan Bianca, ia benar-benar tidak percaya bahwa seorang Bianca memiliki kenyamanan emosional tentang salib berada ditubuhnya. Salib itu sendiri sebuah symbol yang sangat tua dan selalu digunakan oleh gereja.
“Kamu kelihatan kaget, saya memiliki tato salib ini.”
Alex tersenyum, “Enggak kok, saya nggak kaget. Ada tato yang lain?”
“Tidak ada, hanya ini,” ucap Bianca.
Bianca memicingkan mata menatap Alex, pria itu meminum soft drinknya, “Apa kamu punya tato juga?”
Alex mengangguk, “Iya, saya punya.”
“Owh ya? Apa?” Tanya Bianca penasaran.
“Lucifer.”
“Di mana?”
“Di punggung saya.”
“Besar.”
Alex mengangguk, “Seluruh punggung saya.”
Bianca menelan ludah, perlu diketahui kalau Lucifer itu merujuk ke iblis yang memiliki entitas secara tradisional dikaitkan dengan kejahatan, kebalikan dari Tuhan. Ia berpikir positif kalau tato Lucifer memang sangat umum di Barat, namun kurang umum di Timur di mana lebih banyak dewa dan tidak ada konsep tentang kejahatan. Ia ingin tahu tato milik Alex sebesar apa, tatonya pasti sangat rumit, sekilas ia membayangkan tato iblis yang terlihat gelap dan kejam. Ia tidak lupa bahwa iblis adalah malaikat yang jatuh bertahun-tahun yang lalu adalah favorit Tuhan.
Lucifer melihat banyak kekurangan dalam diri manusia, termasuk kejahatan, keberdosaan, dan ketidaktahuan. Tidak memahami cinta ilahi bagi mereka, Lucifer memilih jalan kegelapan, dia memutuskan untuk menyerang takhta Tuhan bersama dengan kekuatan surgawi lainnya yang berpihak padanya.
“Why?” Desis Bianca ia mulai penasaran.
Kini Bianca mulai berani menatap iris mata Alexander, Karena ia tahu kalau segelintir orang yang tahu bahwa tato ditubuhnya bukan sekedar tato, tapi adalah bagian darinya. Ia mulai merinding, entah kenapa menjadi seperti ini.
“Untuk mengingat kalau saya selalu menyentuh bumi.”
“Tato di mana?”
“Las Vegas saat itu saya ada kerjaan di sana.”
“Sakit nggak tato sebanyak itu?”
“Tidak terlalu. Kamu mau lihat?”
Sebelum menjawab pertanyaan itu, Bianca mengibaskan rambutnya ke belakang. Hingga menyebarkan aroma vanilla pada rambutnya. Alex mencoba tidak bernapas untuk mengontrol reaksi tubuhnya akan aroma itu.
“Apa boleh?”
“Tentu saja.”
Alex membuka kancing kemejanya satu persatu, dan kemejanya ia simpan di sisi sofa. Alex memperlihatkan tato punggungnya kepada Bianca. Bianca terdiam, ini merupakan pertama kaliya ia melihat tubuh Alex berada di hadapannya. Dia memiliki tubuh yang sempurna. Bahunya lebar dan lengannya terlihat kokoh. Di tambah tato Lucifer berada di punggung Alex membuatnya terlihat sangat nyata. Tato itu dibuat dengan sangat detail.
Bianca terpana beberapa detik menatap tato Lucifer di punggung Alex. Jemarinya reflek menyentuh punggung Alex secara perlahan, ia tidak tahu kenapa Lucifer menjadi pilihan Alex. Ia dapat menganalisis bahwa ini merupakan sebuah pemberontakan yang berani namun tidak memahkotai dengan kesuksesan surgawi dikalahkan dan campakkan ke bumi. Dan di sinilah mantan favorite Tuhan mendirikan neraka, tempat di mana siksaan abadi kematian berkuasa.
Alex memejamkan matanya merasakan jemari Bianca menyentuh tubuhnya. Ia tahu kalau tato milik Bianca dan dirinya saling bertolak belakang. Karena Alex tahu Lucifer dialah malaikat yang membawa manusia pada kehancuran, ketika orang-orang menghadapi penghakiman terkahir.
“Why?” Tanya Bianca pelan.
Alex tahu kalau Bianca belum puas dengan jawabannya, “Sebagai bentuk pemberontakan.”
Bianca melepaskan tangannya dari punggung Alex. Oh God, apa yang harus ia lakukan, seketika ia merinding mendengar itu. Entah kenapa ia menjadi gugup menghadapi Alex.
“Are you okay?” Tanya Alex memperhatika Bianca.
“I am fine.”
“Besok kamu ngapain?”
Bianca mengangkat kepalanya, memandang Alex, “Seperti biasa tidak ngapa-ngapain, cuma besok Peter ngajak saya kunjungan ke wedding organizer melihat mana yang cocok buat kita.”
“Kapan kalian akan menikah?”
Bianca mengedikkan bahu, “Hanya mengunjunjungi dulu.”
Alex terdiam beberapa detik, ia menutup wajahnya dengan tangan, “Are you comfortable with him?”
“Sure,” sudut mata Bianca memandang Alex yang memperhatikannya, ia tidak percaya kalau saat ini ia bisa ngobrol dan bercanda seperti ini. Walau jantungnya hampir copot setiap saat.
“I know, you're not sure.”
Alex beranjak dari duduknya, dan ia lalu mendekati Bianca. Ia memilih duduk di samping wanita itu dan ia lalu mencondongkan wajahnya. Jarak mereka sangat dekat, bahkan ia bisa mencium aroma vanilla dari tubuh Bianca.
“Kamu lebih nyaman dengan saya, dibanding dia.”
***