BAB 6
HAPPY RAEDING
***
Bianca benar-benar tidak bisa menahan emosinya dan kata-kata itu keluar dari mulutnya. Ia hilang control harusnya ia tidak mengatakan kata-kata kasar itu kepada laki-laki ini. Ia selama ini berusaha menjaga manner nya dengan baik, namun yang ia lakukan barusan terdengar sangat liar, kampungan dan bodoh. Ia lalu mengunci mulutnya.
“Maaf ucapan saya tadi.”
“Sepertinya kamu tidak perlu mengurusi hidup saya dan Peter. Lebih baik kamu urus diri kamu sendiri,” ucap Bianca ia beranjak dari duduknya hendak pergi.
Alex melihat tindakan Bianca seketika ia menahan tangan wanita itu secara reflek. Ini pertama kalinya mereka bersentuhan. Mereka sama sama saling menatap satu sama lain, tangan hangat Alex seperti ada aliran listrik menjalar keseluruh tubuhnya.
“Silahkan duduk kembali, kita belum selesai bicara,” ucap Alex berusaha tenang.
Jujur apapun yang ada di muka bumi ini, baru kali ini ada seorang wanita yang mengatakannya kolot dan bodoh kepadanya. Ia akui kalau ia salah di sini, karena ia terlalu blak-balakan untuk menjauhi wanita itu dari ayahnya.Tindakannya ini membuat siapapun akan marah dan berontak. Mungkin strateginya salah.
Bianca melepaskan tangannya dan ia kembali duduk di kursinya. Ia memandang Alex Ia memperhatikannya, “Apa lagi yang akan kamu bicarakan?”
“Kamu kemarin berbohong kepada saya, data yang saya dapat kamu tidak memiliki bisnis kecantikan dan memiliki saham di perusahaan manufaktur.”
“Apa saja yang kamu tahu dari saya?”
“Semuanya.”
“Saya minta maaf saya memang berbohong kemarin. Saya melakukan itu karena harga diri saya saja.”
“Tidak apa-apa. Tenang saja.”
Alexander mengambil cangkirnya dan ia menyesapnya secara perlahan. Ia memperhatikan Bianca, umur wanita itu berusia 29 tahun dan memang sudah sepantasnya menikah. Dia sudah berada diusia matang secara finansial.
Alex melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 11.30 menit. Ia tahu kalau ini cara yang salah. Jelas, tidak ada wanita yang mau tiba-tiba membatalkan pernikahan tanpa sebab.
Alex melihat Bianca yang hanya diam, sepertinya memang sudah tidak betah bersamanya. Namun ia tetap ingin ngobrol dengan wanita itu lebih lanjut.
“Aktivitas kamu sekarang apa?” Tanya Alex mendinginkan suasana.
“Kalau pagi saya berolahraga, lalu membaca buku, melakukan hobi saya.”
“Owh ya, hobi kamu apa?”
“Saya senang memasak, membuat cemilan lalu saya taruh di toples dan memakannya sendiri sambil nonton TV. Saya juga senang memasak, saya sudah mencoba berbagai resep makanan. Saya juga ada dua kursus yang sedang saya jalani saat ini.”
Alis Alex terangkat, “Apa?”
“Saya sedang kursus bahasa Jepang dan Jerman secara private enam bulan ini. Walau tidak lancar secafa fluent tapi saya bisa secara basic berbahasa Jepang dan Jerman. Mungkin karena saya tidak ada lawan bicaranya sehar-hari. Jadi stuck di sini.”
“Dan saya sudah mendaftar untuk melanjutkan program pasca sarjana saya di Binus.”
“Ambil program apa?”
“Akutansi.”
Alex tidak menyangka kalau wanita itu peduli dengan pendidikannya. Mungkin itu cara satu-satunya dia merubah hidupnya menjadi wanita berkualitas tanpa dipandang sebelah mata. Dia juga bisa berbahasa Jerman dan Jepang demi menaiki harga dirinya. Sekarang ia tahu, kalau wanita itu paham bagaimana cara memperbaiki dirinya.
“Sekarang masih kursus?”
“Iya, masih.”
Alex menyungging senyum, “Mungkin saya tidak bisa berbahasa Jepang. Tapi kamu bisa berbahasa Jerman dengan saya, agar bahasa Jerman kamu lebih terasah dengan baik.”
“Serius kamu bisa berbahasa Jerman?”
“Iya tentu saja.”
“Bagaimana kalau kita ngobrol bahasa Jerman, mau?”
Bianca tersenyum, “No, thank you, next time saja. Yang ada saya insecure,” Bianca lalu tertawa.
Alex seketika terpana ketika melihat senyum cantik Bianca, ia tidak percaya kalau dia bisa senyum semanis itu, ia bahkan sengaja berlama-lama membiarkan wanita itu tersenyum, agar ia bisa menatapnya.
Alex membuyarkan lamunannya, ia tidak ingin terlalu terlena,
“Dari sekian banyak bahasa kenapa kamu milih Jepang dan Jerman?” Tanya Alex lagi, ia bertanya seperti ini karena ingin tahu lebih lanjut kehidupan Bianca.
Okay, ia melupakan sejenak tentang niatnya untuk kompromi membatalkan pernikahan Bianca dan ayahnya. Dan ia merubah semua aliran yang awalnya ingin membuat wanita kutu, kini strateginya menjadi lebih smooth dengan jalur pendekatan.
“Sebenarnnya saya ingin tiga bahasa, Jepang, Jerman dan Perancis. Hanya saja saya kelihatan terlalu ambisi, sementara otak saya tidak mampu memenuhi itu semua.”
“Bahasa Jepang kebanyakan paling diminati oleh orang indonesia. Prospeknya bagus untuk bidang bisnis. Sewaktu-waktu pasti akan berguna untuk saya.”
“Kalau Jerman sendiri, karena saya tertantang, karena katanya bahasa Jerman jauh lebih sulit dari Prancis. Sangat berguna untuk saya. Jika saya tidak diterima di negri ini, mungkin tujuan negara yang akan saya tinggali yaitu Jerman.”
Alex terdiam sesaat ia memandang Bianca, ia menyimpulkan secara keseluruhan dia wanita yang cerdas. Dia memikirkan hidupnya secara matang. Dia tahu mana yang akan dia tuju. Plan A tentu saja dia menikahi sang ayah demi hidup kenyamanan hidup dan dia ingin berbisnis hingga ke Jepang.
Sedangkan jika gagal, dia sudah tidak memiliki tujuan apapun dalam hidupnya, dia akan ke Jerman memulai hidup baru. Perhitungan yang sangat baik menurutnya, bisa dikatakan dia memiliki wawasan yang luas, ditambah dengan melanjutkan pendidikan pasca sarjana untuk hidupnya.
“Ada lagi yang ingin kamu tanyakan tentang saya?”
“Tidak ada, sepertinya sudah cukup. Saya suka pemikiran kamu,” Alex melihat kopinya sudah habis tidak tersisa.
Alex mencoba fokus dengan tujuan awalnya untuk menggalkan pernikahan Bianca dan Ayahnya. Ia tidak mau terlalu terpesona dengan wanita itu.
“Jika sudah tidak ada dibahas lagi, saya akan pulang. Banyak hal yang harus saya kerjakan.”
Alex mengangguk, “Iya, saya persilahkan.”
Bianca beranjak dari duduknya namun Alex menahan tangan Bianca. Otomatis Bianca menoleh memandang Alex,
“Bianca.”
“Iya, apa lagi?”
Alex berdiri kini berada di hadapan Bianca, ia melepaskan tangannya, “Senang bisa ngobrol kamu.”
Bianca tersenyum, “Sama-sama. Saya pulang dulu kalau begitu.”
“Bianc,” panggil Alex.
Bianca menoleh, “Iya, ada apa?”
“Apa saya boleh mampir ke apartemen kamu?”
Bianca menelan ludah, buat apa Alex ke apartemennya? Apa tujuan pria itu sebenarnya? Kenapa dia mau mampir ke apartemennya? Prihal apa?
“Apa boleh?” Tanyanya lagi.
“Saya perlu bicara dengan Peter, kalau kamu akan datang ke apartemen saya.”
Alex menatap Bianca dengan serius, “Apa hal-hal seperti ini dibicarakan dengan ayah saya?”
Bianca menarik napas, “Peter pasangan saya, sudah seharusnya memberitahu bahwa anak pertamanya akan ke rumah saya dan kamu seorang pria, tidak pantas rasanya mampi ke tempat saya.”
Alex terdiam beberapa detik dan ia mengangguk, “Terserah kamu, silahkan beritahu dia.”
Bianca merogoh ponsel di dalam tasnya, ia menatap nama Peter di layarnya. Sebenarnya ia ingin berkata tidak, namun bibirnya seketika kelu, ia melihat iris mata tajam itu yang memperhatikannya hingga membuatnya gugup,
“Kapan?” Tanya Bianca gugup.
“Nanti malam.”
“Buat apa?”
“Mampir saja sekedar ngobrol, mungkin pertemuan kita saat ini terbatas karena saya harus balik ke kantor.”
“Tapi, ada teman saya? Apa nggak apa-apa?” Tanya Bianca ia semakin ragu.
“Tidak apa-apa, itu justru lebih baik, saya bisa kenalan dengan teman kamu juga kan.”
Bianca terdiam sesaat dan ia mengangguk, “Saya pulang dulu kalau begitu,” ucap Bianca lalu undur diri dari hadapan Alexander.
Alexander menatap punggung Bianca dari belakang, ia tersenyum penuh arti. Ia tahu kalau Bianca tidak menghubungi ayahnya. Setelah Bianca hilang dari pandangannya, ia lalu meneruskan langkahnya menuju lobby. Alex lalu tertawa, ia tidak habis pikir kenapa bisa seperti ini. Ia ingin tahu sampai sejauh mana ia menggagalkan pernikahan Bianca dan ayahnya.
***
Beberapa jam kemudian,
Bianca uring-uringan, entah berapa kali ia ganti pakaian, mulai dari kemeja, jins dengan kaus, celana pendek dan crop top, hingga lemarinya berantakan. Lovita melihat dirinya mengaduk-aduk lemari. Akhirnya ia memilih kemeja blueberry dan rok jins. Lovi yang baru pulang kerja melihat Bianca tampak bingung.
“Lo mau ketemu siapa sih?” Tanya Lovi, ia mengikat rambutnya ke belakang ketika pulang kerja ia langsung ke kamar Bianca dan ternyata Bianca sedang sibuk dengan lemarinya.
“Ketemu Alexander.”
“Siapa Alexander?”
“Anak pertamanya pak Peter?”
“Really?”
Bianca mengangguk, ia memegang jantungnya dan duduk di samping Lovi, “Lo tau? Alex itu nyuruh gue jauhin ayahnya.”
“What! Dia nggak setuju lo sama pak Peter?”
Bianca kembali mengangguk, “Iya.”
“Terus, kalau dia nyuruh lo ngejauhin Petter. Ngapain dia ke sini coba? Lo juga kenapa mau aja ngundang ke sini.”
“Gue nggak ngundang dia. Dia sendiri yang mau datang!”
“Buat apa? Jelas-jelas dia nggak setuju lo sama pak Peter.”
“Nah itu yang gue nggak tau. Kenapa dia mau datang, aneh banget kan.”
“Terus lo mau jauhin si Peter itu?”
“Ya nggak lah, Peter aset gue kali.”
“Mending lo jauhin si Alex itu deh, kayaknya dia mau ganggu hubungan lo sama Peter, walaupun doi ayahnya. Jaman sekarang mah nggak pandang ikatan darah kalau urusan duit dan asmara.”
“Setuju kata lo!” Ucap Bianca.
“Kita lihat saja nanti, si Alex itu mau apa sama gue? Cuma sekedar main say hello ya nggak apa-apa. Kan ada lo di sini, setidaknya kalau ada apa-apa gue bisa manggil lo.”
“Iya, iya lo tenang aja. Terus kenapa juga lo pusing mau pakek baju apa, kayak mau nge-date aja sama dia.”
“Enggak bukannya gitu. Gue cuma pusing aja, sampe kebawa bingung gini.”
“Lo minum dulu gih, biar tenang,” ucap Lovita, ia mengambil air mineral di dalam gelas dan memberikan kepada Bianca.
Bianca meneguk air pemeberian Lovita, namun tetap saja hatinnya tidak tenang. Mereka keluar dari kamar. Bianca menatap Lovita masihh mengenakan pakaian kerjanya,
“Lo mandi, terus makan gue udah masak tadi siang.”
“Iya. Gue juga mau kemes-kemes koper dulu,” Lovita masuk ke dalam kamarnya.
Sementara Bianca duduk di sofa, menatap langit yang sudah mulai menghitam. Ia penasaran kenapa pria itu akan menemuinya. Padahal tadi siang mereka sudah bertemu. Ah, buat jantungan saja. Bagaimana dengan Peter? Apa ia harus memberitahu kekasihnya itu kalau Alexander menemuinya.
***
Bianca mengibaskan tangannya ke wajah entah sudah berapa kali ia mondar-mandir di kamar. Begini rasanya nervous yang tidak pasti, ponselnya bergetar. Bianca dengan cepat menatap layar ponsel, di sana tidak tertera nama sang penelfon. Ia yakin yang menelfon nya itu adalah Alexander.
Bianca menggeser tombol hijau pada layar, ia letakan ponsel di telinganya,
“Halo,” ucap Bianca.
“Hai saya Alexander.”
“Hai,” benar dugaanya kalau yang menelfonnya itu adalah Alex.
“Saya sudah ada lobby. Bisa jemput saya di bawah.”
“Iya, saya akan segera ke bawah.”
Mungkin hari ini, ia sudah sinting mau saja mengiyakan ajakan pria itu ke apartemennya. Bianca menarik napas dalam-dalam, ia keluar dari kamar, ia memandang Lovita sedang berada di depan wastafel dia sedang mencuci piring Sahabatnya itu menyadari kehadirannya.
“Udah datang orangnya?” Tanya Lovi.
“Iya, ada di lobby.”
“Take care.”
Bianca masuk ke dalam lift dan lift membawanya menuju lantai bawah. Jantungnya kembali maraton, ia tidak pernah merasakan jantungnya hampir copot seperti ini ketika berhadapan dengan seorang pria walau Peter sekalipun. Dan baru kali ini ia rasakan sepanjang hidupnya.
Pintu lift terbuka, ia melangkah menuju lobby, langkahnya terhenti ia memandang seorang pria di dekat pintu lobby. Oh Jesus! Betapa tampannya pria Alexander, malam ini dia mengenakan kemeja berwarna hitam yang lengannya tergulung hingga siku. Di tambah jam tangan yang dipergelangannya membuat ketampanannya bertambah. Pria itu tersenyum dan mendekatinya.
“Hai,” sapa Bianca.
Alex menatap Bianca, seperti biasa dia sangat cantik mengenakan kemeja burberry dan rok mini jins berwarna hitam. Rambutnya tergerai indah, sepertinya apapun yang dikenakan Bianca sangat pantas, dia memang terlahir untuk itu.
“Hai, malam Bianca.”
“Malam juga.”
“Sudah lama nunggu?”
“Baru saja.”
Alex dan Bianca masuk ke dalam lift dan lift membawanya menuju lantai atas. Jujur ia masih tidak tahu kenapa Alex berada di sini bersamanya.
“Kamu sendiri?” Tanya Bianca melangkah menuju apartemennya, ia mempersilahkan Alexander masuk.
“Iya.”
Alexander mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan, ia mengobservasi apartemen milik Bianca. Apartemennya luas dan sangat nyaman, penerangannya sangat baik view nya menghadap langsung ke kolam renang. Pintu balkon terbuka lebar, di dekat balkon ada sofa biru untuk bersantai, di tambah ada tanaman hijau menghiasi pagar.
“Mau duduk di mana?” Tanya Bianca.
“Di balkon saja.”
Tanpa sengaja Alexander melihat seorang wanita yang baru keluar dari arah samping, wanita itu mengenakan koas dan celana pendek dengan rambut tergulung ke belakang. Ia yakin wanita itu adalah sahabatnya Bianca yang dia ceritakan tadi siang.
“Maaf, saya mau ambil ponsel saya di meja,” ucap Lovi, ia tanpa sengaja melihat pria bernama Alexander. Sumpah! Ia tidak bisa berbohong kalau pria bernama Alexander itu sangat tampan, bahkan ia sempat terpana beberapa detik memandangnya. Setelah mendapati ponselnya di sofa, ia lalu kembali masuk ke dalam kamar.
“Itu Lovita sahabat saya.”
Alex lalu duduk di sofa sambil menikmati angin malam, “Kamu mau minum apa?”
“Apa saja.”
Bianca melihat ponselnya bergetar, ia melihat nama ‘Peter Calling’, ia lalu meninggalkan Alex menuju kitchen dan ia menggeser tombol hijau pada layar ia letakan di telinganya.
“Iya, halo,” ucap Bianca, ia membuka kulkas mengambil dua kaleng softdrink.
“Kamu lagi apa sayang.”
“Lagi nggak ngapa-ngapain, ini mau minum haus,” Bianca terkekeh.
“Temen kamu nginap di apartemen kamu?” Tanya pria itu.
“Iya jadi. Dia nginap sementara di sini, sampai nanti dapat sewa apartemen sesuai budget dia.”
“Yaudah kalau gitu, salam ya buat teman kamu ya sayang.”
“Iya.”
Bianca mematikan ponselnya dan ia menutup kulkas. Seketika ia shock dan lalu bergeming menatap Alexander berada di hadapannya tanpa senyum. Ia tidak tahu sejak kapan pria itu berada di sini.
“Kamu di sini …” desis Bianca.
“Kenapa tidak jujur saja, kalau sebenarnya kamu sedang sama saya.”
***