BAB 5
HAPPY READING
***
“I know who you are.”
Bianca terpaksa mengalihkan pandangannya ke arah daftar belanjaanya. Lagi-lagi ia seperti wanita yang mengalami anxiety. Masih banyak yang akan ia beli, ia tidak bisa memenuhi keinginan pria itu untuk ikut bersamanya. Bianca kembali menatap Alex, pria itu masih menunggu jawabannya.
Bianca tahu kebanyakan konglomerat sangat menghargai waktu. Hampir semuanya tidak akan menyia-nyiakan waktunya untuk hal-hal sepele, jika sudah membuatnya seperti ini, tentu ini sangat penting untuknya. Alexander itu sangat sibuk, karena dialah satu-satunya orang yang mengurus perusahaan sang ayah di Indonesia. Ketika dia berada di sini, pria itu pasti mengurangi eksposure demi bertemu dengannya.
“Saya tidak ada waktu untuk meladeni kamu. Silahkkan kamu pergi dari hadapan saya,” Bianca meneruskan langkahnya menuju rak, sambil memasukan bahan makanan yang ia list dalam note ponselnya.
Namun tetap Alex mengikuti langkah Bianca, ucapan wanita itu seperti angin lal.
Alex tersenyum penuh arti, “Saya sudah membuang waktu saya demi bertemu kamu. Apa salahnya kita ngobrol di coffe shop, ada yang ingin saya bicarakan kepada kamu.”
“Apa kamu tidak ada kerjaan?” Ucap Bianca, karena sepertinya Alex tetap keras hhati berkeinginan untuk bertemu dengannya.
“Jelas saya banyak kerjaan. Kamu tenang saja, ini hari Jum’at, tidak ada meeting hari ini. Oleh sebab itu, saya bertemu kamu,” Alex masih mengikuti langkah Bianca, memperhatikan apa saja yang wanita itu beli, dia memasukan beberapa bahan makanan ke dalam troli.
Bianca melirik Alex yang berada di sampingnya. Seketika ia teringat tentang mimpinya yang masih memenuhi pikirannya. Bayang-bayang pria itu masih ada, bahkan terasa nyata. Ia berusaha tidak memperdulikan Alex, namun tetap saja mulut dan pikirannya bertentangan. Ia terus memasukan bahan-bahan makanan secara random, karena ia sendiri bingung menghadapi Alex seperti apa, ia sudah seperti orang bodoh yang tidakk tahu apa-apa.
“Nora Bianca!”
Bianca lalu menoleh menatap Alex, ia menutup mulutnya dengan tangan. Itu adalah nama kepanjangannya yang semua orangg tidak tahu, Nora Bianca adalah nama yang diberikan oleh neneknya, bahkan sahabatnya sendiri tidak tahu nama itu, karena semua dokumen birokrasi yang tertera hanyalah nama Bianca tidak ada embel-embel Nora.
Sialnya Alex mengetahui namanya. Otaknya bereaksi dengan cepat, jika pria itu sudah tahu nama kepanjangannya, maka dia pasti sudah mencari tahu seluruh kehidupannya,
“You know my full name?”
Alex tenpa senyum “Saya sudah katakan, kalau saya tahu semua tentang kamu.”
Bianca lalu terdiam,sekarang ia tahu dengan siapa ia berhadapan. Pria itu pasti dengan mudahnya mencari informasi tentangnya. Konglomerat itu sangat sensitive terhadap orang-orang yang baru datang di hidup mereka. Mereka akan mengulik hingga ke akar. Ia memang tidak bisa berbuat banyak, karena di sini ia tidak memiliki peran dan kemampuan yang memadai.
Jika pria itu sudah menimbulkan ketidak nyamanan, tentu akan di blacklist, bisa juga ia masuk dalam daftar hitam dan hilang dalam sekejap. Dia seperti Lucifer bertopeng dengan wajah tampannya.
Bianca tahu, konglomeratseperti Alex memiliki beberapa staff terpercaya seperti, ajudan, pengawal, personal asisten, penasehat hukum, penasehat keuangan, sekretarisnya juga tidak sedikit. Jika ada orang baru hadir dalam hidup mereka pasti sudah disensor penyaringan dan pengamatan dalam screening dan scanning.
“Okay, saya belanja dulu,” ucap Bianca pada akhirnya, ia mengikuti keinginan pria itu.
Bianca melanjutkan langkahnya ke rak-rak makanan, ia memasukan beberapa bahan makanan seperti pasta, saos, kecap, mie instan, bumbu dapur, marica, mengingat bahwa di apartemennya ada Lovita, ia akan membeli lebih.
“Apa kamu tidak ada asisten untuk membeli hal-hal seperti ini?” Tanya Alex, karena menemani wanita belanja.
“Saya bukan seperti kamu yang memiliki asisten, apa-apa sudah tersedia tanpa kamu kebingungan. Kamu pasti pertama kali ke Grand Lucky?”
“Iya, ini pertama kalinya untuk saya. Saya pernah ke superstore seperti ini waktu saya menjadi mahasiswa, tapi di New York bukan di Jakarta. Saya tidak ada waktu mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan dapur. Karena bukan tugas saya,” ucap Alex.
Bianca tidak menanggapi ucapan Alex, ia melangkah menuju bagian sayur dan buah. Bianca mengambil telur, memasukan sayur brokoli, wortel, kentang, buncis, kol, edamame, selada, tauge, dan daun bawang. Ia berhenti mengambil plastic dan memasukan buah apel, lalu ia pilih secara cermat, ia sengaja berlama-lama ditumpukkan apel, agar pria itu mati kebosanan menunggunya.
“Saya pikir kamu senang belanja,” ucap Alex mengobservasi Bianca sejak tadi.
Alex mengambil beberapa buah anggur yang sudah diprepack di dalam wadah, ia juga mengambil strawberry dan ia masukan ke dalam troli. Dan ia memasukan beberapa buah lainnya.
Bianca yang melihat itu ia lalu bertolak pinggang di hadapan Alex, “Stop, Alex! What are you doing?” Bianca tidak terima, karena aksi belanjanya terusik oleh pria itu. Alex benar-benar sangat mengganggu ketenangannya.
“I help you. Biar cepat selesai kan.”
“Kamu sama sekali tidak membantu saya. Justru kamu menganggu saya. Saya tidak suka aksi belanja saya diganggu oleh kamu!” Ucap Bianca menggeram.
“Kalau kamu buru-buru, ya kamu persilahkan pergi dari hadapan saya. Saya belanja seperti ini tidak setiap hari, saya menunggu moment ini sebulan sekali. Paham kamu!”
Alex menatap Bianca, memandang iris mata itu dengan berani, “I know, tapi kamu sengaja berlama-lama di sini.”
“Sok tau.”
“Karena sejak tadi saya memperhatikan kamu.”
Bianca hanya diam, ia kembali melanjutkan aktivitas nya. Alex memang benar-benar sangat menganggunya, ia mendorong trolinya melangkah menuju ikan dan daging. Ia mengambil beberapa pack beef, beef slice, udang, ayam, sosis, nugget, sebagai sumber protein.
“Lebih baik kamu pulang ke kantor saja. Kalau saya sudah selesai, saya akan menghubungi kamu.”
“Jusru kamu yang harus kamu lakukan saat inni tinggalkan troli kamu ikut saya, nanti asisten saya saja yang urus semua.”
“Oh Tuhan! Kamu benar-benar keterlaluan ya! Kamu tidak punya hak atur-atur saya.”
Alex menatapp Bianca ia pandangi wajah itu, wanita itu menantangnya, “Apapun bisa saya lakukan, jika menjadi keinginan saya.”
Bianca menarik napas ia tahu kalau Alex benar-benar sangat menguji nyalinya,
“Tunggulah beberapa menit lagi, saya membeli beberapa pack tisu dan obat-obatan,” Bianca mendorong trolinya, ia mengambil tisu dan obat herbal.
Setelah itu Bianca menuju kasir, ia bersyukur kalau ia tidak menunggu antrian mungkin karena ia belanja store ini ketika baru buka. Bianca memperhatikan kasir itu memasukan barang belanjaan ke shoppingbag. Sambil memperhatikan nominal yang ada di monitor. Bianca mengeluarkan dompetnya dan lalu mengambil kartu ATM miliknya.
“Total belanjaanya tiga juta empat ratus ribu bu,” ucap kasir itu.
Bianca memberikan kartu ATM nya kepada kasir,
“Pakai ini saja,” Alex menyodorkan kartunya kepada kasir.
“Berhentilah menganggu saya Alex. Saya mau bayar.”
“Kamu calon ibu tiri saya, saya bisa dimarahin papa kalau saya membiarkan kamu seperti ini,” ucap Alex menahan tawa.
Bianca berusaha tenang dan sabar. Ia membiarkan kasir mengambil ATM milik Alex. Kalau dibantah percuma saja, pria-pria seperti Alex itu tingkat egoisnya di atas rata-rata.
“Kamu belanja sebanyak ini untuk sendiri?” Taya Alex memperhatkan belanjaan Bianca yang penuh di troli.
“Sebenarnya tidak sebanyak ini, ada sahabat saya datang menginap untuk sementara. Jadi saya belanja lebih banyak dari biasanya.”
“Pria atau wanita?”
“Wanita.”
Kasir memberikan kartu ATM itu kembali ke Alex, sementara Bianca memasukan barang belanjaanya ke dalam troli dibantu oleh Alex. Ia mendorong troli ke arah lobby, sambil melirik Alex yang berada di sampingnya.
“Coffee shop yang mana?” Tanya Bianca, karena di dekat lobby ada beberapa coffee shop seperti Aroma, Starbuck dan Fore.
“Aroma,” ucap Alex.
Alex meneruskan langkahnya menuju Aroma. Setibanya di Aroma Bianca menaruh trolinya di luar, mereka masuk ke dalam menuju kasir. Bianca berpikir kalau ia seharunya tidak menerima ajakan Alex ke sini, karena jelas pria itu akan mengintrogasinya. Ia harus mengolah katanya agar menjadi baik-baik saja.
Alex memesan caffe Americano dan beef sausage croissant. Sedangkan Bianca memesan green tea latte dan classic dark chocolate cake. Alex membayar tagihan, mereka menunggu beberapa menit hingga pesanan mereka di buat. Setelah itu Alex dan Bianca memilih table kosong di dekat jendela. Bianca memperhatikan struktur wajah Alex, wajah pria itu lebih cocok menjadi model ternama karena dia memiliki mata yang tajam, hidung macung, dan rahang yang tegas. Mirip sekali dengan yang ada dimimpinya tadi malam.
“Kamu mau bicara apa tentang saya?” Tanya Bianca membuka topik pembicaraan.
Alex meraih cangkir berisi kopi itu dan ia menyesapnya secara perlahan,
“Apa kamu pekerja seg komersial?” Tanya Alex to the point.
Bianca mengangguk, “Iya, dulu. Sekarang sudah tidak,” ucap Bianca mengakui, percuma saja ia menutupi toh pria itu tau siapa dirinya.
“Why?”
“Kamu jadi ingin tahu kehidupan saya?” Tanya Bianca.
Alex mengangguk, “Iya.”
Bianca menarik napas, ia menatap Alex dengan berani, “Keadaan yang membuat saya seperti itu. Sejak kecil saya sudah ditelantarkan oleh kedua orang tua saya. Saya tidak tahu siapa ayah saya hingga detik ini dan ibu saya entah ke mana sejak elementary school, tidak ada yang peduli saya. Saya hidup bersama nenek saya sepanjang hidup saya.”
“Ketika SMA nenek saya meninggal, saya jadi sebatang kara di Jakarta. Lalu saya tidak punya siapa-siapa di dunia ini. Tidak ada tempat saya mengadu, untungnya ada orang tua sahabat saya yang berbaik hati menampung saya, menyekolahkan saya dan menganggap saya anak sendiri. Lalu ketika kuliah, saya tidak mau direpotkan oleh mereka lagi, saya berusaha mandiri dan terjadilah kehidupan saya yang sekarang.”
“Kamu pasti sudah mencari tahu kehidupan saya?” Tanya Bianca lagi.
Alex mengangguk, “Iya sudah, saya hanya ingin mendengar kejujuran kamu.”
“Lanjutkan cerita kamu hingga berada di titik ini.”
Bianca menyesap minumannya, “Saya bekerja seperti itu tentu mendapatkan uang lebih cepat, membiayai kuliah saya, memiliki hunian, saya membeli mobil, saya menabung, memiliki deposito, save money. Lama kelamaan saya sampai di mana saya akan merubah hidup saya menjadi lebih baik.”
“Melihat sahabat saya yang hidup normal, memiliki suami yang menyayaninya.”
“Saya tahu saya hina. Tapi saya pikir saya bisa memperoleh kesempatan kedua akan berubah menjadi lebih baik. Itu kisah kelam saya, terserah kamu menerimanya atau tidak. Yang jelas saat ini saya sudah merubahnya.”
“Saya sudah cukup menjalani hidup yang sangat pahit, kelam, percuma saja disesali waktu juga tidak bisa diulang. Saya sudah berdamai dengan takdir dan berusaha bahagia. Jika kamu tanya kenapa saya bisa kenal papa kamu.”
“Saya sering main golf dengan teman-teman saya. Lalu tanpa sengaja kenal dengan papa kamu di Driving Range Golf Kemayoran. Lalu hubungan kita berlanjut hingga sekarang.”
“Kalau kamu bertanya tentang cinta saya kepada ayah kamu. Saya sebenarnya tidak suka dengan drama percintaan, kisah cinta saya sudah tamat sejak lama. Saya juga tidak memikirkan cinta, yang saya pikirkan bagaimana saya bisa hidup normal. Mungkin saya memiliki dampak fatherless, jadi saya nyaman dengan pria yang lebih tua dari saya.”
“Sayalah yang salah menempatkan garis takdir saya dan saya berjalan di jalan saya sendiri, hingga saya memutuskan menikah dengan ayah kamu.”
Bianca memotong dark chocolate nya dengan sendok dan memakannya secara perlahan. Ia menatap Alex yang hanya diam memandangnya.
“Ayah kamu baik dan saya suka dengan beliau. Tidak ada salahnya kan menjalin hubungan dengannya.”
Alex menyungging senyum, ia melipat tangannya di dada memperhatikan Bianca, “Terima kasih kalau kamu sudah jujur dengan kehidupan kamu yang kelam terhadap saya.”
Alex dan Bianca terdiam beberapa detik,
“Tapi maaf, saya tidak simpatik akan hal itu.”
‘Brengsek!’ Umpat Bianca dalam hati.
“Tujuan kamu apa menikahi ayah saya?” Tanya Alex.
Bianca menarik napas, “Tentu saja mencari penamping hidup. Saya ingin hidup normal, memiliki keluarga dan suami.”
Alex tertawa, lalu pandangannya menjadi serius, “Bullshit! Saya tahu kamu cuma mengincar harta ayah saya kan!”
Bianca terdiam, ia mengontrol emosinya agar tetap tenang, “Itu tidak benar. Terserah kamu percaya atau tidak.”
Alex tertawa, lalu sedetik kemudian tatapannya menjadi serius menatap Bianca, “Saya tidak percaya.”
“Kalau kamu tidak percaya saya! Apa yang kamu inginkan.”
“Tinggalkan ayah saya, pergilah menjauh darinya.”
Bianca berusaha tidak akan membuat kekacuan coffe shop ini, ia tidak akan menggunakan emosi dalam bertindak. Sial! Pria itu ternyata tau rencananya.
“Kamu harusnya yang pergi menjauh dari hubungan saya dan Peter.”
“Kamu terlihat seperti pria kolot dan bodoh! Yang ikut campur hubungan saya dan ayah kamu!”
****