BAB 4
HAPPY READING
***
Bianca membuka matanya secara perlahan, ia reflek bangun dan bersandar di sisi tempat tidur. Bianca menutup wajahnya dengan tangan. Oh Jesus! Tadi ia bermimpi, mimpi itu masih terasa dalam ingatannya. Diawali ketika ia sedang mandi, lalu ia memakai baju, ia menyisir rambutnya. Ia membuka pintu rumah, ternyata di luar ada seorang pria seumuran dengannya.
Pria itu tersenyum manis, lalu menarik tangannya. Kita berjalan berdua, pria itu cerita panjang lebar tentang aktivitasnya anehnya ia tidak ingat dia cerita tentang apa, tapi dia tertawa-tawa mungkin sesuatu yang lucu. Dan ia ikut tertawa, mereka menyusuri jalan setapak menuju rumputan yang tinggi, sampailah mereka di depan pintu besar berwarna putih, pintu itu ternyata tersambung ke rumah megah. Pria itu melepaskan genggamannya, terus menatapnya, ia memfokuskan penglihatannya dan ia mengerutkan dahi, jantungnya berdegup kencang ternyata wajah pria itu adalah Alexander.
“Aku tunggu di sini ya,” ucapnya dengan senyum manis yang merekah. Anehnya ia pun berjalan masuk ke dalam rumah itu dan berkahir di situ.
Dan lalu ia bangun dari mimpinya yang sangat aneh, tidak jelas dan absurd. Baru kali ini ia mimpi yang masih terasa dalam ingatannya. Ini benar-benar gila menurutnya, bisa-bisanya ia memimpikan Alexander, padahal mereka bertemu baru kemarin. Bahkan wajah pria itu tidak lepas dari ingatannnya.
Bianca menyibak bed cover nya, lalu ia turun dari ranjang. Ia mengambil air mineral di dalam botol dan menuangkannya ke dalam gelas. Ia merasa bahwa ini adalah mimpi yang buruk untuknya. Sepanjang hidupnya ia baru kali ini memimpikan seorang pria yang termat jelas.
Bianca mengambil ponsel di nakas, ia mencabut adaptor charger karena daya sudah terisi penuh. Bianca melihat jam digital menunjukkan pukul 06.20 menit. Ia menatap ke arah jendela yang sudah tampak terang. Bianca masuk ke dalam kamar mandi, ia mengikat rambutnya ke belakang. Lalu ia membasuh wajahnya. Ia masih kepikiran tentang mimpinya tadi, kenapa ia bisa memimpikan Alexander. Untung saja mimpinya hanya sebatas jalan, bercanda, ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika mimpi itu berubah menjadi mimpi liar misalnya tidur bersama pria itu.
Setelah itu ia keluar dari kamar mandi, ia membuka pintu balkon, ia menggelar matras yoga di depan balkon karena tidak ada yang ia kerjakan lagi selain merawat diri. Sudah enam bulan belakangan ini ia memang stop menjadi pekerja seg komersial. Ia memang tanpa keraguan mengakui kalau ia tujuh tahun bekerja di bidang ini.
Sekarang ia benar-benar ingin lepas dari dunia hitam yang menjeratnya. Menjadi PSK seperti dirinya bukanlah hal yang mudah, pertama ia harus memenuhi kemauan orang yang menyewa, meskipun yang dimaui adalah hal yang tidak ia sukai. Lalu sering kali ia mendapatkan lelaki yang tidak sesuai dengan seleranya.
Laki-laki kebanyakan yang menginginkannya hanya mementingkan hasrat nafsu tanpa mementingkan partner-nya. Apalagi dia sama sekali tidak good in bed. Hal yang tidak dapat ia hindari bahwa ada diantara laki-laki memiliki penyakit kelamin yang dapat menular. Hal ini tentu sangat merugikan dirinya. Ia harus chek up setiap bulan untuk memeriksa kondisi tubuhnya. Satu hal lagi, negara ini bukanlah penganut free segs seperti di Amerika, pekerjaanya ini tentu saja sangat mencoreng harga diri sebagai wanita dan semua ia pertaruhkan.
Hal yang paling penting diketahui pekerja segs komersial seperti dirinya, yang menyewakan jasa tubuh kepada orang lain. Jika ia tidak memiliki tubuh indah dan wajah yang cantik lagi, kemungkinan kecil akan disewa. Oleh sebab itu ia merawat tubuhnya mati-matian agar tetap indah, apalagi ia mematok dengan harga tinggi untuk sekali main.
Semenjak terjun di dunia ini, keuangannya memang sangat stabil tidak jarang klien nya membari tip yang sangat besar. Ia bisa membeli rumah mewah, mobil dan apartemen sendiri. Banyak diantara kliennya baik bersatatus duda, single maupun suami orang mengajak ke jenjang lebih intim seperti pacaran atau kadang menikah.
Bagi dirinya jika tamu mengajak pacaran itu adalah sebuah jebakan. Ia tidak akan memperhitungkannya, karena baginya itu sangat merugikan. Karena jika sudah menjadi pacar, tentu saja seg sebuah keharusan bagi mereka. Jika perhitungan harga tentu saja tidak ada di dalam kamus dirinya.
Ia dulu pernah mendapat klien tampan, kaya, profesi sebagai artis muda, wangi, dia dicintai masyarakat dengan image religius. Seluruh Indonesia membanggakannya, namun si artis ini sering tidur dengannya. Pria itu memperlakukannya dengan baik, tidak semena-mena, pria ini ingin menjalin hubungan dengannya bahkan ingin menikahinya. Namun ia menolak keseriusan pria ini, ia hanya menganggapnya rekan bisnis tidak lebih. Ia tidak terlalu suka dengan pria yang tampak religius namun di belakang dia bermain gila suka jajan sana sini.
Bianca ingat ada pengusaha A, pengusaha B meminta dirinya untuk menikah, bahkan ia pernah dipakai berulang kali, ia pernah di sewa hanya untuk bertemu dengan keluarga A dengan bayaran perjam. Tidak jarang tamu meminta dirinya datang di perumahan elite untuk main di rumahnya. Pernah ada pengusaha yang ngakunya duda, tapi ketika ia bertemu di mall justru sedang jalan dengan anak istri. Dia hanya melirik dan senyum-senyum kepada dirinya.
Itu dulu ia sudah melewati masa-masa pahit itu. Satu hal kenapa ia menerima pak Peter, karena dia adalah salah satu dari 10 orang terkaya di Indonesia. Ia tidak peduli dengan umur pria itu berapa, yang jelas ketika menikah nanti ia hidup terjamin dan bergelimang harta. Ia ingin beberapa perusahaan pria itu jatuh ke tangannya. Jalan satu-satunya yang harus ia tempuh dalam meraup kekayaanya, ya tentu dengan menikahi pria itu.
Benar kata orang bahwa dunia ini penuh dengan tipu-tipu. Semua orang di dunia ini simbiosis mutualisme. Pasti ada kepentingan yang menguntungkan bagi diri sendiri. Tidak ada yang benar-benar peduli dengan dirinya sendiri.
Bianca mencoba rilexs, ia memejam kan mata, mengikuti live streaming yang ada di layar TV nya. Setelah itu ia bermeditasi agar pikirannya tetap tenang. Namun saat ia memejamkan mata seketika ia terbayang lagi wajah Alexander.
Bianca mencoba mengusir pikirannya, lagi-lagi ia terbayang dengan wajah pria itu. Kenapa pria itu tiba-tiba memenuhi isi pikirannya. Sepertinya ia gagal bermeditasi, ia melangkah menuju dapur, ia jadi bingung sendiri dan hilang arah. Sial! Kenapa pria itu ada di pikirannya.
Bianca membuka kulkas, ia melihat isi dalam, bahan makananya sudah habis. Ia perlu ke supermarket nanti jam 10 pagi. Ia baru sadar kalau roti tawarnya habis, jadi ia memilih membuat secangkir teh hangat saja. Ia lalu duduk di sofa, sambil menatap pemandangan kota Jakarta.
Bianca mendengar suara ponselnya bergetar, ia menatap ke arah layar ponselnya “Lovi Calling” ia menggeser tombol hijau pada layar.
“Iya, Lov,” ucap Bianca.
“Lo ada di mana Bi?” Tanya Lovita.
“Di apartemen, emangnya kenapa?”
“Gue ke apartemen lo, ya.”
“Boleh. Tumben pagi gini ke apart, emangnya ada apa?”
“Gue kabur dari rumah,” ucap Lovita pada akhirnya.
Alis Bianca terangkat, “Kok bisa? Kenapa?”
“Panjang ceritanya, kemarin bokap gue ngamuk-ngamuk karena nyokap mau cerain bokap, habis deh semua rumah hancur karena bokap nggak terima. Gue tadi malam sama nyokap kabur ke hotel. Terus gue beliin nyokap gue tiket buat balik ke rumah eyang gue di Bali. Gue bilang, jangan pernah ketemu bokap lagi. Nanti deh gue cerita sama lo.”
“Lo di mana sekarang?”
“Gue di jalan, mau ke apartemen lo. Nggak ada tujuan gue, soalnya mendadak banget, mau sewa apartemen ya nggak bisa secepat kilat”
“Iya, iya nggak apa-apa, gue tunggu di lobby ya. Kasih tau kalau lo udah dekat.”
***
Beberapa menit kemudian, akhirnya ia bertemu dengan Lovita. Lovita membawa dua koper besar di tangannya. Ia mengambil alih satu koper Lovita dan mereka melangkah menuju lift. Ia menatap sahabatnya mengenakan celana jins dan kaos berwarna putih. Ia tahu kalau kehidupan pertemananya dirinya, Angel, Lovita Iren dan Clara mereka memiliki latar belakang yang sama broken home. Namun mereka tetap tegar menjalani hidup yang keras ini.
Bianca merangkul bahu Lovi, “Lo yang sabar ya, Lov.”
Lovita tersenyum, “Iya, enggak apa-apa kok gue. Yang gue khawatirin itu nyokap sebenernya. Tapi gue udah lega akhirnya nyokap udah balik ke Bali.”
Pintu lift terbuka, mereka masuk ke dalam apartemen. Lovita mengedarkan pandangannya ke apartemen Bianca, apartemennya bisa dikatakan mewah untuk ukuran single, lebih luas dari apartemennya yang dulu.
“Lo tidur sama gue atau kamar sebelah?” Tanya Bianca memberikan opsi pilihan kepada Lovita.
“Kamar sebelah aja deh. Sampe gue deal sewa apartemen nanti.”
“Kenapa lo nggak tinggal di sini aja.”
“Ya nggak enak lah. Nanti lo nggak ada privasi lagi,” Lovita terkekeh.
“Nggak ada privasi-privasi gue, sama sahabat gue.”
“Ini jam berapa?” Tanya Lovi ia menatap Bianca membuka kamar untuknya.
Bianca melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 07.10 menit, “Jam tujuh lewat.”
“Aduh! Gue harus buru-buru nih ke tempat kerjaan,” ucap Lovita ia membuka kopernya mengambil baju kerjanya.
“Lo kerja?”
“Iya lah kerja. Emang gue makan apa kalau nggak kerja? Lo enak ada gadun tajir, nggak kerja, duit bakalan di transfer.”
“Kalau ada satu kayak pak Peter. Gue mau deh,” ucap Lovi tertawa geli, ia mengganti pakaiannya dengan pakaian kerja.
Bianca duduk di sisi tepat tidur memperhatikan Lovi yang sedang berdandan, “Lo udah mandi?”
“Udah tadi di hotel. Dari subuh gue mandi, kan nganterin nyokap ke bandara.”
“Jadi lo tadi habis dari bandara.”
“Iya.”
Bianca memperhatikan Lovita terlihat sangat buru-buru karena ia tahu kalau Lovita masuk kantor jam delapan, “Lo nggak sarapan dulu?”
“Jangan deh, sarapan di kantor aja. Nanti titip sama OB.”
“Kebetulan sih kulkas gue kosong. Mau belanja juga nanti Grand Lucky.”
“Mau ditemenin nggak?”
“Jangan, lo kan kerja,” Bianca terkekeh.
Beberapa menit kemudian, Lovita sudah rapi siap pergi ke kantor. Ia mengantar sahabatnya itu di depan pintu, “Lo balik jam berapa?” Tanya Lovita.
“Jam lima sore.”
Bianca memberikan kunci akses kepada Lovita, “Ini buat lo, kunci akses biar lo nggak tunggu-tungguan gue lagi.”
Lovita tersenyum, “Thank’s ya Bi. Lo emang best friend banget.”
Bianca tersenyum, “Iya, yaudah lo semangat kerjanya. Jangan pikirin dulu orang tua lo. Yang penting lo aman.”
“Iya,” Bianca melihat Lovita masuk ke dalam lift dan lift membawanya turun ke bawah. Ia tidak bisa berkomentar banyak tentang hidup sahabatnya itu, yang penting Lovi aman.
****
Tepat jam sepuluh, Bianca tiba di Grand Lucky. Ia mengambil troli dan siap melangkah menuju rak. Ia menatap ke arah ponselnya, dan melihat list belanjaanya. Pertama yang ia lakukan adalah melangkah menuju bagian makanan kering, ia memasukan roti tawar, roti gandum ke dalam troli. Ia juga mengambil selai strawberry favorit nya yang sudah habis. Ia melanjutkan langkahnya mengabil beberapa roti ciabatta.
“Morning, Bianca.”
Bianca mengerutkan dahi, ia mendengar suara berat memanggil namanya dari belakang. Otomatis Bianca menoleh, jantungnya seketika maraton memandang seorang pria mengenakan kemeja berwarna putih dan celana abu-abu. Rambutnya disisir rapi, pria itu tersenyum kepadanya. Senyum pria itu nyaris sama seperti yang ia lihat dimimpinya.
Bianca tertegun beberapa detik, fokus melihat Alex berada di hadapannya, aroma parfum nya yang hangat tercium di hidungnya,
“Kamu!”
“Lagi belanja ya?” Ucap Alex.
“Ngapain kamu ke sini!” Desis Bianca, ia merasa kalau Alex mengikutinya.
Alex tersenyum, memperhatikan Bianca, wanita itu mengenakan dress floral berwarna hijau emerald. Dress yang dikenakannya kulitnya terlihat sangat kontras, seperti biasa dia sangat cantik, bahkan menurutnya lebih cantik dari penampilannya kemarin ketika bertemu di restoran.
“Ngikutin kamu.”
Mata Bianca terbelalak kaget, “What! Ngapain ngikutin saya?”
“Kita perlu bicara berdua.”
“Buat apa?” Desis Bianca tidak terima.
Alex mencondongkan wajahnya, “I know who you are,” bisik Alex. Kata-kata itu membuat Bianca merinding.
***