BAB 3
HAPPY READING
****
Alex memperhatikan wanita di hadapannya, wanita itu memiliki tubuh proporsional sebagai seorang wanita. Dia sangat cocok menjadi seles promotion girl untuk pameran mobil. Rambut panjangnya hitam bergelombang, menggunakan kemeja putih klasik oversize dan celana panjang berwarna coklat muda dan gesper berwarna coklat tua. Secara tampilan dia terlihat kasual dan smart. Di telinganya terselip anting-anting berwarna silver dan tas eksklusif yang ada di atas meja menandakan status sosialnya. Ia memperhatikan wanita itu, ia perkirakan umurnya masih dibawah tiga puluh tahun. Kulitnya putih, rambut dan kukunya terawat sangat baik.
Secara keseluruhan kalau ia menilai kalau wanita itu sangat anggun dan ia memang menyukai wanita seperti itu. Ia memicingkan mata, apa pekerjaan wanita itu? Alex mengobservasi wajah wanita bernama Bianca, dia memiliki mata yang indah, hidung yang mancung, alis yang terukir sempurna dan tidak lupa bibir sensualnya. Ia mengakui kalau wanita itu sangat cantik dan mungkin lebih cocok bersanding dengan dirinya dibanding sang ayah. Oh Tuhan, kenapa ia berpikiran kalau wanita itu lebih cocok dengannya dibanding sang ayah. Sial!
Tapi tetap saja, ia ingin tahu kenapa wanita mendekati sang ayah? Jawabannya tentu karena harta. Tidak mungkin wanita itu menerima sang ayah jika tidak karena harta. Ayahnya bagaikan lading uang untuknya. Tidak ada di jaman sekarang cinta yang tulus, apalagi dengan ayahnya yang pantas menjadi orang tuanya dibanding jadi calon suaminya. Andai ayahnya tidak memiliki harta, apa wanita itu mau dengan ayahnya? Terlihat jelas bahwa wanita itu materialis sekali.
Dia punya apa hingga membuat ayahnya jatuh hati? Hanya modal kecantikan saja? Di luar sana banyak sekali wanita cantik. Dia berasal dari keluarga siapa? Dia memiliki usaha apa? Bergerak di sektor apa? Berapa kekayaanya? Dia dulu sekolah di mana? Apa pekerjaannya sekarang?
Alex tahu, untuk mendapatkan relasi hingga dekat dengan ayahnya itu sangat sulit dan tidak sembarangan, butuh effort yang kuat untuk dekat. Ia akui kalau wanita itu hebat hingga bisa dekat dengan ayahnya. Berarti koneksinya sangat baik di circle orang tuanya.
Jaman sekarang siapa sih yang tidak butuh materi di dunia ini? Materi sangat dibutuhkan sekarang, tapi tidak harus melakukan segala cara agar mendapatkan itu. Apalagi dengan embel-embel mengajak menikah agar mendapatkan materi, karena hukum pernikahan akan menjadi harta bersama. Betapa liciknya wanita itu, ini sama sekali tidak dibenarkan menurutnya.
Alex mendaratkan bokongnya di kursi, ia kini berhadapan dengan wanita bernama Bianca. Ia tahu kalau wanita itu tidak mungkin membuang waktunya hanya untuk ini. Ia menatap hidangan di atas meja, ayahnya dan wanita itu sudah menyelesaikan makannya. Ia melihat server datang menghampirinya dan membawa buku menu berbahan kulit itu dihadapannya.
“Saya pesan sirloin bistecca, calamari dan water sparkling,” ucap Alex.
“Ada lagi pak?”
“Sudah itu saja,” ucap Alex, setelah itu server pergi meninggalkan table.
Alex memang sengaja memesan makanan agar ia bisa berlama-lama untuk mengintrogasi calon istri ayahnya. Ia tersenyum kepada wanita itu, tatapan wanita itu terlihat kosong, sama sekali enggan menatapnya. Alex melihat ekspresi Bianca tanpa berkedip.
Justru membuat Bianca terpaku sejenak, Bianca berusaha mati-matian menenangkan debaran jantungnya yang tidak bisa ajak kompromi. Laki-laki tampan bernama Alex itu terlihat sangat menyebalkan. Ia tidak bisa santai jika seperti ini.
“So, jadi saya manggil calon istri papa apa? Tante Bianca?” Tanya Alex dengan tatapan mengejek, ia tahu kalau Bianca itu masih muda tidak sepantasnya memanggil tante Bianca. Sebutan tante terlihat sangat tua menurutnya.
Bianca menaikan satu alisnya, “Cukup Bianca saja.”
“Tapi kamu calon ibu tiri saya, sudah sepantasnya saya memanggil anda tante. Kalau menikah dengan papa, tentu saya memanggil kamu mama.”
Bianca menahan emosinya, ia hanya mengangguk, “Tidak masalah, terserah kamu saja mana enaknya,” ucap Bianca, ia menarik napas dalam-dalam, ia berusaha tetap tenang agar tidak tersulut emosi.
Alex menatap ayahnya, “Papa kenal Bianca di mana? Teman relasi papa?” Tanya Alex sambil melirik Bianca, wanita itu hanya diam.
Pandangan pertama ketika ia lihat dari Bianca dia terlihat seperti ekspatriat yang berwawasan luas, ia yakin wanita itu bukan asli Indonesia terlihat jelas dari struktur wajahnya seperti blasteran timur tengah dan Indonesia. Ia pernah melihat wajahnya sangat familiar, mengingatkannya pada Nia Ramadhani istri dari Bakrie temannya.
“Kenalnya tidak sengaja, waktu itu main golf. Saat itu papa bertemu dengan Bianca. Kita ngobrol, obrolan kita nyambung dan akhirnya kita menjalin hubungan.”
“I see. Tinggal di mana?”
“Tinggal di Apertemen Senopaty Suites,” ucap Bianca.
Alis Alex terangkat, “Tidak begitu jauh sih dari tempat saya,” ucap Alex.
“Owh ya? Di mana?”
“Alex tinggal di Langham sayang,” sahut Peter.
Bianca lalu terdiam setelah mendengar nama Langham. Sialnya! Ternyata mereka berada di satu kawanan di SCBD District 8. Sejujurnya yang ia tinggali saat hanyalah sewa sementara, bukan tempat pribadinya. Ia awalnya tinggal di Kemang Village, apartemennya yang lama ia sewakan. Lalu uang sewanya ia buat untuk sewa lagi di apartemen Senopaty dengan alasan jika ia tinggal di tempat yang elit maka akan mendapatkan pria incarannya.
Ia tahu bagaimana track record pemburuan pria-pria kaya, maka ia harus menyesuaikan gaya hidup mereka agar setara. Sejujurnya menggaet pria tajir susah-susah gampang, bukan modal cantik saja. Pria kaya ini beragam jenisnya ada yang tipe baik, ramah, galak, tukang pamer, humble, arogan, pemalu, sombong dan lain. Ia harus effort lebih dalam pencarian ini, ia harus bergaul dengan mereka, tidak boleh norak, belajar manner yang baik. Ah ya, ia ingat dengan sahabatnya Clara dia dinikai duda kaya raya dan memiliki anak bernama Robert. Hidup mereka damai dan anak sambungnya juga menyayangi dia. Apa salahnya jika ia ingin bernasib sama dengan Clara sahabatnya. Tidak apa-apa duda tua, yang penting hidupnya bergelimang harta.
“Punya bisnis apa? Dari keluarga siapa?” Tanya Alex penasaran.
Bianca hanya diam, ia menatap pria bernama Alex itu, “Saya punya binis kecantikan dan saya punya beberapa saham di perusahaan manufaktur. Tapi saya bukan dari keluarga siapa-siapa, itu yang harus kamu tahu tentang saya,” ucap Bianca, oke sepertinya ia memang mengelabui Alex bisnis kecantikan dan perusahaan manufaktur itu memang ngaco, itu sama sekali tidak benar.
“Owh ya? Coba jelaskan brand apa itu? Kalau oke, kita bisa kerja sama kan, biar bisnis anda tambah besar. Apalagi calon ibu tiri saya.”
Alex menatap sever menyajikan hidangan di hadapan dirinya. Lalu ia melihat ekspresi Bianca, wanita itu terlihat gugup. Ia tersenyum penuh arti dan ia sekarang tahu jawabannya. Pembohong! Teriak Alex dalam hati.
“Udah, jangan ngomongin bisnis di sini,” ucap papa, ia menatap Bianca yang hanya diam.
Alex mengambil botol water sparkling dan ia tuangkan ke dalam gelas, ia meneguknya sambil menatap Bianca. Wanita itu bergerak, terlihat ekspresi gugup dan cemas.
“Umurnya calon istri papa berapa? Seumuran aku atau seumuran Dario?” Tanya Alex penasaran.
“Seumuran Dario.”
“29?”
“Iya,” ucap papa.
Alex tersenyum penuh arti, “Selamat datang di keluarga Milan kalau begitu,” ucap Alex mengedipkan mata kepada Bianca.
Bianca memberanikan diri memandang Alex. Ia tahu kalau pria di hadapannya ini adalah sebuah ancaman untuknya. Dia sepertinya dia memang sengaja membuatnya mati kutu seperti ini. Sejujurnya baru kali ini ia melihat senyum mengerikan dari seorang pria. Dia terlihat seperti psikopat berdarah dingin yang siap membunuhnya.
Bianca seakan kehilangan pita suaranya setelah mendengar ucapan pria arogan itu. Ia belum pulih dari rasa terkejutnya, bahkan debaran jantungnya masih tidak bisa ia ajak kerja sama, seperti ada anxiety mendadak.
“Sudah lama papa kenal Bianca?” Tanya Alex bertanya lebih lanjut.
“Sekitar tiga bulan,” Tanya papa.
“Wow, secepat itu, lalu papa ingin menikahinya?”
“Namanya juga jodoh, tidak ada yang tahu kan.”
“Kalau boleh jujur. Bianca lebih cocok jadi pacar Dario dibanding papa.”
“Maaf, hanya becanda,” ucap Alex lagi sambil tertawa.
Sialan! Umpat Bianca dalam hati. Pria di hadapannya ini sepertinya akan membuat kekacauan apa yang telah ia rencanakan sebelumnya. Suasana restoran yang dingin, kini terasa sangat panas. Ia perlu bernapas sejenak. Bianca beranjak dari duduknya dan ia berdiri,
“Saya ke belakang sebentar,” ucap Bianca pamit kepada Peter.
Bianca meninggalkan table, ia melangkah menuju toilet wanita. Ketika tiba di dalam toilet ia memegang dadanya, ia bersandar sambil berusaha menenangkan debaran jantungnya. Ia mengatur napasnya secara perlahan. Jujur ia sama sekali tidak ada riwayat anxiety, yang ia tidak mengerti kenapa bisa sekhawatir ini. Pertemuan pertamannya dengan pria bernama Alexander, ia gagal mengelola emosinya. Pria itu seolah mengejeknya, sial nya lagi! Tempat tinggalnya dan tempat tinggal Alexander masih dalam satu kawasan. Ia tahu kalau apartemen Langham merupakan apartemen mewah, harganya sangat fantastis. Ia akan mendapatkan hunian itu jika ia berhasil menikahi Peter. Itu tujuan awal sebenarnya.
Satu hal yang di dalam pikirannya yaitu Alexander. Ia sebenarnya tidak suka hadirnya pria itu di tengah-tengah hubungannya dengan Peter yang selangkah lagi akan di mulai. Ia tidak mengerti, kenapa pikirannya kacau seperti ini.
Bianca menatap penampilannya di cermin lalu merapikan rambutnya, ia mencuci tangannya. Ia berdiri sejenak, beberapa menit kemudian hatinya sudah sedikit membaik.
Dengan perasaan tenang ia keluar, ia menatap Peter dan Milan di sana. Berhubung ia sudah terjebur dalam rencana ini, mau tidak mau ia harus memulainya. Baginya Alexander bisa apa, jika sang ayah sudah jatuh hati padanya? Pria itu tidak bisa memutus mata rantai yang sudah ia buat dengan kokoh.
“Apa papa ada rencana buat dinner di rumah?” Tanya Alex setelah Bianca duduk di kursinya kembali.
“Nanti papa atur dinner kita, tunggu Dario dan Malvyn pulang ke Jakarta. Minggu depan, sekalian mau kenalin Bianca sama mereka juga.”
“Mereka pasti senang kenal dengan calon ibu sambungnya.”
Alex melanjutkan makannya dengan diam, ia melirik Bianca berbisik di telinga ayahnya. Jujur wanita itu sama sekali tidak pantas menjadi ibu sambungnya, ia mengamati wanita itu dengan penuh penilaian. Meskipun Bianca mengenakan kemeja longgar, namun ia bisa menebak bahwa perempuan itu memiliki lekuk tubuh yang cukup menggoda. Dia memiliki tungkai indah dan dada yang berisi.
“Alex, papa dan Bianca undur diri dulu. Kamu tidak apa-apa kan tinggal sendiri?”
Alis Alex terangkat, dan ia lalu tersenyum penuh arti menatap Bianca, ia menatap wanita itu terang-terangan menantangnya,
“Oke, nggak apa-apa pa. Silahkan, sampai ketemu lagi tante Bianca.”
Alex melihat Bianca dan papa nya menjauhi table, dan kini ia sendiri di meja. Ia merogoh ponselnya dan ia akan mencari tahu informasi sebanyak mungkin wanita bernama Bianca. Wanita itu jelas akan merusak nama keluarganya.
***