Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 6

BAB 6

HAPPY READING

***

Erlan memperhatikan penampilan Kinan, seperti biasa dia terlihat sangat menarik. Dia mengenakan pakaian formalnya. Di tangannya kirinya memegang tote bag dan tangan kanannya memegang paperbag coffee dan roti.

“Maaf pak, saya datang telat,” ucap Kinan terbata, ia shock bahwa boss nya datang terlebih dahulu dibanding dengan dirinya, itu sangat tidak sopan menurutnya.

“Kamu tidak datang telat, hanya saja saya datang terlalu awal,” ucap Erlan.

“Saya siapkan kopi untuk bapak,” ucap Kinan.

“Ok, saya tunggu,” Erlan lalu menghidupkan macbook nya, sambil menunggu Kinan menyiapkan kopi kopi.

Kinan masuk ke dalam ruangannya, ia menyimpan tasnya di meja, ia bergegas ke menyiapkan kopi dan roti untuk pak Erlan. Ia selama kerja di sini, baru kali ini pak Erlan datang sepagi ini. Kinan menarik nafas, ia melangkah menuju pantry di dekat ruangannya. Ia meraih cangkir dan membuatkan kopi. Ia juga menyiapkan meletakan roti kesukaan pak Erlan.

Setelah itu ia melangkahkan kakinya menuju ruangan pak Erlan. Ia melihat pria itu masih di posisi yang sama. Kinan melangkah mendekat dan melatakan kopi dan roti di samping Erlan. Setelah itu ia duduk di hadapan pak Erlan. Sebelum memulai pekerjaan ia memang menemani pria itu menikmati kopinya.

Erlan menatap Kinan, ia menyesap kopi itu secara perlahan, “Saya semalam pulang kerja, langsung tidur. Alhasil saya bangun jam lima pagi, habis olah raga lalu saya putuskan untuk ke kantor sepagi ini.”

“Kalau kamu bangun tidur jam berapa?” Tanya Erlan meletakan cangkirnya di meja.

“Saya orangnya memang morning person pak. Jadi bangun paling lama biasa jam enam pagi.”

“Owh ya?”

“Iya. Itu sudah saya jalani sekitar dua tahun belakangan ini. Saya menjadi terbiasa bangun pagi. Saya memiliki manfaat yang luar biasa, tanpa merasa lemas dan terburu-buru dalam melakukan aktifitas.”

“Jam berapa biasa kamu tidur?” Tanya Erlan penasaran.

“Saya biasa jam sembilan malam sudah tidur dan paling maksimal jam sepuluh malam. Kalau ada yang mengajak saya traveler malam, saya payah dalam melakukan itu.”

“Jadi kamu tidak pernah ke clubing?”

Kinan menggelengkan kepala, “Dulu, ketika aku umur 20-26 mungkin, sering melakukannya. Namun dua tahun belakangan ini, saya sedang melatih diri untuk menjadi hidup sehat, di mulai dari menjadi morning person dan gaya hidup sehat.”

“Pagi kamu olah raga?”

Kinan lalu tersenyum, “Kadang-kadang.”

“Saya biasa bangun jam lima, biasa saya sempatkan untuk jogging sebentar. Kalau telat bangun misalnya jam enam saya sempatkan untuk sit up, jumping jack, plank, squat side skate, di dalam aparetemen, hanya sebentar, sekitar 10 hingga 15 menit. Setelah olah raga badan saya terasa ringan, pikiran saya fresh, siap melanjutkan aktifitas. Mengemasi tempat tidur, mandi, lalu sarapan sambil membaca media social, setelah itu saya berangkat kerja.”

“Seperti itu setiap hari?” Tanya Erlan.

Kinan mengangguk, “Iya. Saya hanya ingin lebih produktif tanpa bergadang. Mungkin sudah menjadi habit saya sekarang.”

“Walaupun saya tahu kalau secara biologis tubuh itu sangat pintar dalam beradaptasi. Sebenernya bukan hal sulit untuk mengubah pola tidur seseorang. Misalnya tidur jam 5 pagi, bangun jam 12 siang. Ada yang tidur jam 12 malam bangun jam 7 pagi. Karena menjadi morning person bukan berarti kita bangun pagi, tapi jam otak kita yang paling produktif.”

Erlan meraih cangkirnya, ia menyesap kopinya lagi secara perlahan, ia memandang Kinan, ia setuju dengan pendapat wanita itu.

“Kalau bapak bagaimana?” Tanya Kinan.

“Kalau saya, memang morning person sejak jaman kuliah dulu, terbawa hingga sekarang. Tapi memang kadang-kadang bangun siang, jika teman saya ngajak ke klub.”

“Oiya, nanti malam kamu jadi, temani saya ke tempat Brian.”

“Iya, pak jadi. Acaranya jam berapa pak?” Tanya Kinan penasaran.

“Jam tujuh di The Hermitage. Nanti siang kamu temani saya cari gift untuk Brian.”

“Baik pak.”

Erlan menyelesaikan makan rotinya, ia menatap Kinan, “Apa hari ini ada meeting?” Tanya Erlan.

“Enggak ada pak, ini hari jumat.”

“Oiya, tiket untuk keberangkatan ke New York, sudah kamu pesan?” Tanya Erlan penasara.

“Sudah pak, bapak tinggal tanda tangan dan akan saya berikan ke pihak accounting. Laporannya sudah ada di map bapak, tinggal tanda tangan saja.”

Erlan melirik bab bersampul bening di dekat mejanya. Ia membuka map itu dan membaca pemesanan tiket pesawat kepergiannya ke New York. Kinan memesan pesawat Emirates pukul 00.40-14.25 satu kali transit. Ia lalu menandatangani itu agar cepat di proses. Ia juga menandatangani laporan-laporan yang sudah diperiksa oleh Kinan.

Erlan memberikan laporan itu kepada Kinan. Setelah itu Kinan mengambil berkasnya. Ia lalu keluar dari ruangan Erlan.

***

Beberapa jam kemudian,

Kinan memeriksa ponselnya, ia berkali-kali melirik apakah ada notif dari Febian. Ia tidak mengerti kenapa hal-hal seperti ini Febian selalu mendiaminya. Bahkan tidak jarang pria itu tidak menghubunginya hingga satu Minggu, hanya karena dia ingin ke New York urusan pekerjaan. Ia tidak mengerti dengan jalan pikiran Febian, bukan mensupportnya, malah pria itu membuatnya down seperti ini.

Ia tahu bahwa konflik dalam sebuah hubungan merupakan hal biasa. Ia ingin menyelesaikan konflik ini dengan kepala dingin, namun sikap Febian yang suka marah tidak jelas dan sikapnya suka ngambek, inginnya terpancing emosi. Ia tetap bisa mengontrol agar tidak menjadi masalah besar. Semakin hari sikap Febian semakin tidak terkendali menurutnya. Sikap ngambeknya sangat tidak masuk akal.

“Kinan.”

Kinan lalu mendongakan wajahnya, memandang ke arah pintu. Ia menatap Erlan di depan daun pintu. Kinan melirik jam digital pada layar ponsel menunjukan pukul 11.00, memori otaknya lalu berpikir, ia teringat tadi pagi pak Erlan mengatakan bahwa ia akan mencari gift untuk sahabatnya.

Otomatis Kinan beranjak dari duduknya, “Iya, pak.”

“Ayo kita keluar.”

“Baik pak.”

Kinan memasukan ponsel ke dalam tasnya, ia lalu melangkahkan kakinya menuju pintu, mengiikuti langkah Erlan. Tidak lupa ia mengunci pintu ruangannya. Setelah itu ia melewati beberapa koridor karyawan. Karyawan masih banyak yang stay di kubikel.

Kini mereka berada di depan lift, Erlan memandang Kinan, “Menurut kamu, gift apa yang pantas untuk pertunangan?” Tanya Erlan.

Pintu lift terbuka, Erlan dan Kinan masuk ke dalam, “Buket bunga dan jam tangan couple,” ucap Kinan.

Erlan menoleh memandang Kinan, usul Kinan memang selalu tepat menurutnya, “Pilihan kamu sangat tepat.”

“Buket bunga beli di mana?”

“Di mall ada florist pak, kita langsung ke gerainya nanti.”

“Senayan City, ada nggak?”

Kinan mengangguk, “Ada pak.”

“Yaudah kita ke sana, sekalian nanti kita lunch di sana,”

“Baik pak.”

Pintu lift pun terbuka Erlan melangkahkan kakinya menuju basement. Erlan menekan tombol central lock, kini melangkah menuju ke arah mobilnya. Erlan membuka hendel pintu dan Kinan juga masuk ke dalam mobil. Ia mendaratkan pantatnya di kursi, tidak lupa memasang sabuk pengaman. Setelah itu mobil meninggalkan area tower office.

Erlan memanuver mobilnya, ia memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya, dengan bahu yang bersandar di kursi, dengan tatapan awas. Sementara tangan kirinya menghidupkan audio mobil. Erlan melirik Kinan yang berada di sampingnya, wanita itu hanya diam memandang ke arah jendela dengan wajah cemas.

“Apa kamu ada masalah?” Tanya Erlan penasaran.

Kinan menoleh, “Ah, enggak pak.”

“Kamu terlihat gelisah, kenapa?”

“Enggak apa-apa.”

“Kamu bisa cerita sama saya, kalau kamu mau.”

Kinan menarik nafas, ia menyungging senyum, “Hanya masalah pribadi, nanti juga membaik,” gumam Kinan.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel