Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 5

BAB 5

HAPPY READING

***

Morning is the best part of my day! Itu lah kata yang sangat untuk dirinya. Moning person mungkin sangat cocok di sematkan kepadanya. Ia sudah bertahun-tahun bekerja sebagai corporate, sangat cocok dengan istilah ini. Setidaknya hidupnya menjadi teratur. Bangun pagi, olahraga, mandi, sarapan, pergi kerja dan lalu pulang kerja, setelah itu makan malam. Gitu saja setiap hari.

Jujur ketika bangun pagi seperti ini ia merasakan segar. Ia pernah merasakan tidur jam dua subuh, keesokan harinya, ia merasakan pusing luar biasa. Ia bukan seorang wanita yang senang begadang. Mungkin kegiatan ini tergantung masing-masing individu, ada yang morning person dan night person, karena ini adanya kronotipe pada manusia.

Ada beberapa temannya memiliki kebiasaan mensnooze alarm. Mau tidur jam berapapun, ketika bunyi alarm mampu membuatnya terjaga. Ada sebagian yang terbangun sebelum alarm yang disetel bunyi. Jika ditanya apakah ia akan cocok dengan night traveler, ia menyadari bahwa ia kurang nyaman berkeliaran di malam hari, walau pemandangannya sangat indah.

Baginya malam itu benar-benar waktu untuk istirahat. Oleh sebab itu Winda sahabatnya jarang sekali mengajaknya ke club, karena club memang bukan tempatnya. Ia lebih baik tidur di kamar, dari pada mendengarkan dentuman music hingga subuh.

Kinan menatap penampilannya di cermin, hari ini mengenakan blouse cream dengan bawahan skrit tan. Rambut panjangnya ia ikat seperti ekor kuda. Ia melirik jam menujukan pukul 06.30 menit. Ia memeriksa tasnya, ia perhatikan beberapa alat makeup sudah masuk, dompet dan minyak wangi.

Setelah itu ia melangkahkan kakinya ke depan, melangkahkan kakinya menuju kitchen, ia menyiapkan oatmeal gandum, ia seduh dengan air hangat dan tidak lupa dengan toping pisang, madu dan anggur. Ia juga menyiapkan susu segar untuk di minum.

Kinan memilih duduk di sofa, sambil memandang ke arah layar ponsel. Ia membuka social media, melihat berita apa saja yang hangat hari ini. Beberapa menit berlalu, ponselnya berdering.

“Febian Calling.”

Kinan menggeser tombol hijau pada layar, ia letakan ponsel itu di telinga kirinya.

“Iya, Bi,” ucap Kinan, ia memasukan makanan ke dalam mulutnya.

“Kamu sudah bangun?” Tanya Febian.

“Iya, sudah. Ini lagi sarapan. Kamu lagi apa?”

“Aku lagi mau turun dari rumah. Ini mau otw jemput kamu.”

“Kamu hati-hati di jalan.”

“Iya.”

Kinan bersyukur bahwa ia memiliki pacar seperti Bian yang pengertian. Sebenarnya ia cukup percaya bahwa kekasihnya itu tidak pernah lancang kepadanya, yang berani menciumnya dan bahkan menyentuhnya selama mereka berpacaran.

Jarang sekali ada yang seperti itu. Yang menjadi penasarannya adalah apakah ada seorang pria seperti Febian? Pacaran tapi tidak berani menyentuhnya? Paling tidak dia menciumnya sekali saja selama pacaran. Apakah dia benar-benar alim seperti dugaanya? Oke, ia akui bahwa Febian rajin ibadah, bahkan melebihi dirinya.

Kinan menyelesaikan makannya, ia meraih gelas dan meneguk susu segarnya. Setelah meneguk air mineralnya, ia meletakan gelas dan mangkuk di wastafel. Ia akui bahwa Febian itu tampan, memiliki tubuh nyaris sempurna, dan cenderung wangi. Ia sudah sering beberapa kali ibadah dengan Bian, dia laki-laki yang alim, jadi ia merasa terlindugi.

Namun ia masih bertanya-tanya, apakah dia benar-benar sealim itu, sehingga tidak ingin menyentuhnya? Banyak yang alim seperti Bian, pasti ada kalanya hasrat itu untuk menyentuh pasangannya. Bukankah seperti itu? Apa dia gay? Tiba-tiba pikiran itu terlintas di kepalanya. Ah, tidak mungkin, ia tidak pernah berpikiran sejauh itu. Febian juga mengenalkan dia kepada orang tuanya, dan semua terlihat normal.

Kinan sudah selelai mencuci mangkuk dan gelas, ia mematikan AC, ia lalu keluar dari apartemen. Ia melangkah menuju lift lalu masuk ke dalam dan menekan lantai dasar. Pagi ini ia akan meminta ijin kepada Bian, bahwa ia akan ke New York Minggu depan.

Tidak butuh waktu lama akhirnya pintu lift terbuka. Kinan melangkahkan kakinya menuju lobby, ia melihat banyak sekali orang yang hendak pergi kerja. Ia keluar lalu menuju coffee shop, ia masuk ke dalam gerai, membeli coffee dan roti untuk di kantor.

Di dalam coffee shop tidak terlalu ramai, mungkin masih pagi. Ia memberi pesan singkat kepada Febian bahwa ia sudah menunggu di coffee shop, seperti biasa.

Beberapa menit menunggu akhirnya mobil SUV Febian sudah berada di depan coffee shop langgannya. Kinan tersenyum kepada kekasihnya yang sedang membuka power widow. Ia berikan senyum terbaik kepada sang kekasih.

“Morning sayang,” ucap Bian.

“Morning to,” ucap Kinan, ia membuak hendel pintu, dan lalu mendaratkan pantatnya di kursi, Kinan tidak lupa memasang sabuk pengaman.

Mobil Febian pun meninggalkan area tower, kini menuju Sudirman Central Busines District, karena area kantor mereka berada di sana.

Sepanjang perjalana mereka mendengar kan lagu dibalik audio mobil. Kinan melirik Febian sedang memanuver, pria itu memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya.

“Bi,” ucap Kinan.

Bian menoleh memandang Kinan, “Iya, kenapa sayang.”

“Minggu depan aku ke New York.”

Alis Bian terangkat, “Owh ya, sama siapa? Sama keluarga?”

Kinan menghela nafas pelan, “Enggak, aku dinas dari kantor. Ada kerjakan di sana.”

Bian mengerutkan dari, “Sama boss kamu?”

Kinan mengangguk, “Iya.”

“Berdua aja?”

Kinan menarik nafas, “Mungkin ada dari divisi lain. Anak public relationship juga ada,” ucap Kinan memberi alasan, jika ia mengatakan bahwa ia hanya berdua saja dengan Erlan maka akan menjadi perkara besar.

Bian menatap Kinan sekali lagi, “Yakin ada anak PR di sana? Atau kamu hanya berdua dengan boss kamu?” Tanya Bian sekali lagi meyakinkan kepada sang kekasih, masalahnya ia tidak terlalu suka kepada boss Kinan. Pria itu seperti ingin merebut Kinan darinya, apalagi ditambah dengan lembur-lembur tidak beralasan setiap hari hingga mereka tidak bisa pulang bersama dalam satu waktu.

Kinan mengangguk, “Yaudah sih, kalau nggak percaya. Lagian aku beneran kerja, Bi.”

“Bukan tidak percaya, hanya saja aku tidak terlalu suka kalau kamu sering berdua dengan boss kamu.”

“Tapi aku beneran kerja, Bi. Ini memang kerjaan aku sebagai sekretaris, kamu kan tahu kalau aku ini sekretaris. Kerjaan aku memang selalu sama boss. Di mana-mana sekretaris kerjanya bareng boss. Kamu harus ngerti itu.”

“Kita setiap kali bertengkar pasti karena masalah ini,” dengus Kinan, mereka selalu bertengkar dua bulan belakangan prihal dirinya menjadi sekretaris.

“Jika kita bertengkar masalah ini, harusnya kamu paham kan, bagaimana baiknya. Aku nggak setuju sejak awal kamu ambil pekerjaan ini, Kinan.”

“Ini karir aku, Bi. Harusnya kamu paham. Kamu terlalu egois kalau kamu nuntut aku keluar dari pekerjaan aku ini.”

“Tapi jurusan kamu berbeda dengan pekerjaan kamu, Kin. Kamu kuliah di manajemen bisnis, sekarang kamu malah menjadi sebagai sekretaris. Aku lebih senang kamu bekerja di bank BUMN kemarin di banding kamu menjadi sekretaris.”

“Menurut aku nggak ada bedanya, Bi. Justru di bank lingkungannya sangat toxic. Enggak baik mental aku. Kamu kan tahu, aku di posisi ini, bersaing dengan puluhan wanita cantik di luar sana, demi posisi ini. Ini dunia baru aku, aku harus kerja secara professional.”

“Tapi ini demi hubungan kita, Kinan. Bagaimanapun aku nggak setuju kamu jadi skeretaris.”

Kinan hanya diam, ia menatap jendela samping, ia bingung akan menjelaskan seperti apa, akhirnya mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sejak awal Febian memang tidak setuju ia mengambil pekerjaan ini. Namun ia justru senang dengan profesi barunya, karena lingkaran kerjanya hanya pak Erlan. Febian tidak tahu betapa toxic nya orang-orang kantor di luar sana.

Akhirnya mobil Bian kini sudah berhenti di depan tower office Kinan. Kinan memandang Bian yang hanya mendiaminya. Ia yakin hingga beberapa hari Bian seperti ini.

Kinan membuka pintu mobil, ia menatap Febian yang masih di kemudi setir. Kinan menatap sang kekasih,

“Kamu hati-hati di jalan,” ucap Kinan, lalu menutup pintu mobil itu.

Namun Febian tidak menjawab ucapannya. Ia melihat mobil Febian lalu meninggalkannya begitu saja. Ia sudah menduga kejadian ini pasti seperti ini. Aksi ngambek Febian, ia pastikan pria itu akan mendiaminya berhari-hari. Kejadian seperti ini tidak hanya sekali, namun sering jika mereka berdebat seperti ini.

Kinan melangkahkan kakinya menuju lobby. Ia melihat gerai Tous les Jours sudah buka, ia mampir sebentar untuk membeli roti untuk boss nya. Ia membeli k-red bean bread kesukaan Erlan, tampilannya sederhana namun cita rasanya tidak sesederhana penampilannya. Ia membeli beberapa buah, dan lalu membayarnya ke kasir.

Setelah itu ia menuju lift dan bergabung dengan karyawan lainnya yang bekerja di sini. Kini lift berhenti di lantai 20, ia melangkahkan kakinya menuju office nya. Ada beberapa orang karyawan sudah mulai berdatangan.

Kinan melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 08.00, ia membuka pintu office, ia memandang office boy yang baru saja keluar.

“Selamat pagi, bu.”

“Selamat pagi, juga,” ucap Kinan.

“Mari bu, saya keluar dulu.”

“Iya, mari.”

Kinan menatap office boy sudah keluar dari ruangan mereka. Kinan mengerutkan dahi, ia memandang pintu ruangan pak Erlan sudah terbuka. Ia mendengar suara derap langkah di dalam sana. Kinan lalu bergegas menghampiri ruangan pak Erlan. Ia ingin tahu siapa yang berani masuk ke dalam. Masalahnya pak Erlan jam sembilan baru datang.

Kinan menatap ke ruangan itu, ia melihat pak Erlan sudah duduk di meja kerjanya. Ia tidak percaya bahwa pria itu datang sepagi ini.

“Selamat pagi, Kinan,” ucap Erlan, ia memandang sekretarisnya berada di dekat pintu.

“Selamat pagi juga pak.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel