Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 4

Bab 4

***

Tepat jam lima Kinan sudah bersiap-siap untuk pulang, ia mematikan komputernya. Ia memandang Erlan keluar dari ruanganya begitu juga dengan dirinya. Mereka saling berpandangan satu sama lain, ia melihat Erlan tanpa senyum.

“Kita pulang,” ucap Erlan.

“Iya pak.”

Kinan menyeimbangi langkah Erlan keluar dari ruangan. Kinan tidak lupa mematikan lampu dan mengunci ruangan mereka. Kinan menatap ada beberapa karyawan masih betah di kubikel. Kinan dan Erlan melangkahkan kakinya menuju lift.

Lift membawa mereka munuju lantai dasar. Semenit kemudian pintu liftpun terbuka dan mereka berjalan menuju pintu lobby. Mereka menatap ada beberapa karyawan juga pulang. Erlan dan Kinan berhenti di depan pintu lobby.

“Kamu pulang pakai apa?” Tanya Erlan kepada Kinan.

“Saya pulang pakai gojek pak.”

“Enggak sama saja, saya bisa antar kamu pulang?”

“Jangan pak. Saya pulang sendiri, gojek saya sudah menunggu di depan. Itu dia gojeknya,” ucap Kinan, menunjuk salah satu pria yang mengenakan jaket bomber berwarna hijau.

“Hati-hati kalau begitu,” Erlan tidak ingin memaksa Kinan ikut bersamanya.

“Iya sama-sama pak. Mari pak, saya duluan.”

Erlan tersenyum, “Iya.”

Kinan melangkah menjauhi Erlan, sedangkan Erlan hanya bisa menatap Kinan dari kejauhan. Setelah itu ia menuju plataran, ia memencet tombol central lock ia masuk ke dalam mobil semenit kemudian meninggalkan area tower.

***

Beberapa jam kemudian di apartemen Kinan,

Kinan membuka hendel pintu, memandang Winda membawa paperbag bergambar ayam di sana. Kinan tersenyum dan memperlebar daun pintu untuk Winda.

“Belum makan malam kan?” Tanya Winda, menatap sahabatnya mengenakan pakaian tidurnya berbahan satin itu.

“Belum lah, nungguin lo,” Kinan terkekeh.

Winda lalu duduk di sofa satu-satunya di dekat jendela, karena kamar partemen Kinan tipe studio. Winda mengedarkan pandangannya kesegala area, kamar Kinan sama saja seperti kamarnya di samping. Mereka menyewa apartemen di unit yang sama.

Kinan membawa piring untuk mereka makan berdua. Jujur mereka memang jarang masak di apartemen kecuali hari libur. Mereka tahu bahwa ia lebih banyak menghabiskan waktu di office dari pada di apartemen. Kinan menatap ayam berbalur tepung itu di piringnya.

“Lo tau nggak?” Tanya Winda.

“Apa?”

“Seketarisnya pak Robert si Rika, katanya sudah beberapa bulan ini jadi simpanan pak Robert.”

Alis Kinan terangkat, “Serius? Kata siapa?”

“Kata anak-anak hotel sih, kebetulan tadi ke samper ke hotel ada venue gitu, eh gossip gituan dong.”

Kinan mencoletkan ayam goreng itu ke saus cabai, “Kayaknya hampir semua ekspat itu punya selir ya,” ucap Kinan kepada Winda.

“Pasti lah ada.”

“Bukannya pak Robert itu udah punya anak dan istri ya,” ucap Kinan lagi.

“Iya, emang udah.”

“Kok mau sih si Rika, dia kan cantik banget,” Kinan tahu Rika seperti apa, karena ia juga sekretaris kumpulnya dengan sekretaris juga.

“Yah, mau gimana, kan ketemu setiap hari fulltime. Pak Robert juga nggak jelek-jelek amat, bule, keren loh dia.”

“Kasihan banget ya, istri si GM itu,” ucap Winda.

“Mungkin istrinya udah tau kali, masa nggak kepikiran suaminya di Indo, nggak nyeleweng. Mungkin pura-pura nggak tau aja,” ucap Kinan lagi.

“Iya sih, bener.”

Winda menatap Kinan, “Lo sama pak Erlan, aman kan?”

“Aman lah.”

“Enggak kecentilan kan sama lo?” Tanya Winda lagi.

Kinan tertawa, “Enggak, lah. Aneh aja lo.”

Winda tertawa geli, “Iya sih, secara dia cool banget, kayak enggak ada tertarik gitu sama cewek? Denger-denger sih doi homo.”

“Ah, nggak mungkinlah homo,” ucap Kinan, masalahnya pria itu malah sering membuatnya merinding dengan sentuhannya. Ia yakin dan seyakin-yakinnnya bahwa Erlan itu pria normal masih tertarik dengan wanita. buktinya tadi malah pak Erlan, mengajaknya berselingkuh.

Winda menarik nafas, “Buktinya, selama gue kerja tiga tahun di sana, enggak ada tuh pak Erlan pacaran sama cewek.”

“Mungkin pemilih kali,” timpal Kinan masih menyangkal ucapan sahabatnya.

“Lo itu baru kerja sama pak Erlan, Kin, yah mana tau lah gossip gituan.”

Kinan tersenyum, “Masa, sih.”

“Serius, beneran!”

Winda menatap Kinan, “Coba, lo godain pak Erlan. Mau nggak dia sama lo!”

“HAH! Gue? Enggak, enggak, enak aja jadi kelinci percobaan.”

Winda menarik nafas, “Percaya sama gue, kalau pak Erlan punya kelainan seksual, sukanya sama cowok juga.”

“Ah, masa sih?” Kinan masih tidak percaya dengan ucapan Winda.

“Itu udah jadi gosipan anak-anak office kali, Kin. Makanya lo nggak digosipin jadi simpanan pak Erlan, karena anak-anak office taunya pak Erlan tuh, suka sama cowok bukan cewek. Jadi lo aman.”

Kinan mulai berpikir, selama ia bekerja dengan Erlan, pria itu terlihat normal, bahkan pria itu hampir saja menyentuhnya dan membuatnya merinding.

“Emang ada bukti kalau doi ada cowok?”

“Ada lah, tuh cowoknya yang sering ke kantor itu, siapa namanya?”

“Brian?” Tanya Kinan.

“Ah, iya, pak Brian yang punya hotel Royal itu.”

Kinan menatap Winda, ia sebenarnya ingin menjelaskan bahwa Brian yang sering ke kantornya itu besok akan melakukan pertunangan. Brian dan Erlan hanya sahabatan, tidak lebih. Namun Kinan memilih diam, ia makan dengan tenang.

“Jadi itu cowoknya?”

“Iya, itu dia,” sahut Winda.

“Baru tau gue, kalau pak Erlan pacaran sama pak Brian.”

“Makanya, lo harus cari tau informasi hangat di office. Gosipnya udah lama kali, kalau mereka berdua pacaran,” timpal Winda.

“Sayang banget kan, ganteng-ganteng, tapi sukanya sama cowok.”

“Iya, sayang banget. Kalau suka sama cewek, pak Erlan pasti udah jadi playboy abis.”

“Ah, lo pikirannya.”

Winda lalu tertawa geli, “Bian Bagaimana?” Tanya Winda.

“Baik aja sih, yah biasa flat gitu. Bian lagi lembur malam ini?”

“Kayaknya kalau pacaran sama Bian itu kurang menantang ya, Kin. Secara dia itu alim banget,” Winda terkekeh.

“Yah, namanya juga Bian. Tapi jarang-jarang sih cowok kayak Bian.”

“Tapi nggak seru, Kin, kalau pacaran nggak kissing, dan naked,”

“Ih, Winda. Pikiran lo gitu deh.”

Winda tertawa geli, “Lah, emang. Enggak seru, cuma menang alim doang. Kalau gua mah ogah pacaran model gituan. Bukan tipe gue,” sahut Winda lagi.

“Iya, karena tipe lo, cowok brengsek!”

Winda tertawa ngakak, “Lo beneran sayang sama Bian?”

“Sayang lah, gue juga udah kenal lama dan keluarganya juga. Takutnya kalau mau cari yang baru lagi, enggak ada sebaik Bian, Win.”

“Iya sih bener.”

Kinan dan Windah menyelesaikan makannya, Winda mencuci tangannya di wastafel. Ia mengambil tasnya di meja. Ini lah kegiatan yang ia lakukan sehari-hari dengan Kinan, habis pulang kerja, makan malam bersama, dan bergosip ria.

“Gue balik dulu ya, capek mau mandi,” Winda melangkahkan kakinya menuju pintu.

“Iya, sana pergi.”

Kinan menatap kepergian Winda yang ngacir ke sebelah. Kinan memilih membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Ia menatap ke arah layar ponsel menunjukan pukul 21.10 menit. Ia menunggu Bian, mengangkat panggilannya.

“Iya, sayang,” ucap Bian di balik speaker ponselnya.

“Kamu di mana?” Tanya Kinan.

“Aku lagi di jalan sayang, ini sambil nyetir. Kamu udah makan malam belum? Kalau belum aku pesenin ya,” Tanya Bian.

“Udah kok, tadi aku makan sama Winda.”

“Makan apa?”

“Makan KFC, tadi Winda yang beli. Kamu hati-hati di jalan, jangan ngebut,” ucap Kinan kepada sang kekasih.

“Iya, sayang.”

“Kalau kamu udah sampe rumah kasih tau aku.”

“Iya.”

“Dah, sayang.”

Kinan mematikan sambungan telfonnya, ia tidak tahu apakah ia cinta atau tidak dengan kekasihnya ini. Ia meyakinkan dirinya bahwa Bian itu pria yang baik, jarang sekali pria jaman sekarang memiliki iman yang kuat dan yang mampu membimbingnya menjadi lebih baik. Ia bepikir bahwa mencintai itu bentuk dari kepedulian rasa dan raga. Agar kita bisa appreciated untuk diri sendiri bukan malah menyimpang. Bagaimanapun ia perlu pria yang mampu menjadi iman dan kasih dalam hidupnya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel