Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 3

BAB 3

HAPPY READING

***

“What?”

“Berselingkuh?” Tanya Kinan lagi, ia tidak menyangka bahwa Erlan mengatakan berselingkuh. Apa yang dipikiran Erlan sehingga di otaknya ada kata selingkuh. Apapun alasannya, selingkuh tidak dibenarkan.

Erlan menyungging senyum, “Lupakan saja,” gumam Erlan lagi.

Erlan menatap server membawa pesanan mereka, kini hidangan tersaji di meja, di sana ada makanan florentine butter chicken yaitu ayam yang disajikan ada empat potong dan ditaro diatas hotplate panas, ayamnya sangat juicy dan moist di dalam. Ada juga bistecca burger yaitu daging nya menggunakan daging premium dengan toping foie grass dan truffle and sunny side up. Terakhir signature baked alasaka, merupakan dessert andalan di sini, modelnya seperti landak dalamnya eskrim coklat yang super lezat. Ia mencicipi makanan di sini, so far semuanya terlihat enak.

Kinan dan Erlan makan dengan tenang. Kinan menatap Erlan menuang martini bianco ke dalam gelas. Erlan memasukan daging ke dalam mulutnya. Pilihan Kinan memang tidak pernah salah. Erlan menatap Kinan memakan burger dengan tenang.

“Kenapa kamu bisa berpikiran tentang selingkuh?” Tanya Kinan penasaran, ia menatap iris mata tajam Erlan dengan berani.

“Apa kita mau membahasnya?” Erlan meraih gelas martininya membalas tatapan Kinan.

“Aku hanya tanya alasannya saja, kenapa dengan selingkuh?”

Erlan meletakan cangkir martininya di meja, ia melihat Kinan, “Mungkin selingkuh itu, awalnya nggak ada niat untuk selingkuh, berkali-kali kamu meyakinkan diri sendiri dan pasangan. Tanpa kamu sadari, kamu sudah menutup dan menyembunyikan sesuatu di belakangnya, tidak menceritakan apa yang terjadi, menghapus chat log, panggilan dari saya. Kamu sudah menjadi pemain baru yang tersembunyi yang menegangkan?”

“Kamu mungkin saat ini menyangkalnya, namun itu sudah terjadi,” Erlan menyungging senyum.

Kinan tahu arah pembicaraan Erlan seperti apa, seketika rasa laparnya hilang dengan komentar Erlan untuk dirinya. Kinan hanya diam, ia tidak ingin berkomentar apa-apa, kata-kata Erlan seolah menohok hatinya. Oh Tuhan, kenapa Erlan sangat cerdas dalam membaca situasi, intuisinya sangat kuat dan tajam.

“Saya hanya menjaga hubungan saya dengan pasangan saya,” ucap Kinan memakan burgernya dengan tenang.

“Oke, itu menurut kamu,” ucap Erlan.

Erlan tidak berkomentar lagi masalah perselingkuhan. Bagi mereka topik perselingkuhan begitu emosional. Mereka memilih makan dengan tenang begitu juga dengan Kinan, menikmati music yang dari restoran.

“Kamu tinggal di mana?” Tanya Erlan menatap Kinan, ini pertanyaan yang sudah tercongkol di kepalanya, sudah dua bulan belakangan ini ia tidak tahu di mana sekretarisnya tinggal.

“Saya tinggal sendiri di apartemen Kalibata.”

Alis Erlan terangkat. Ia tahu betul di mana letak Kalibata City, dan imej nya kurang baik untuk wanita seperti Kinan sebagai sekretarisnya. Banyak stigma perempuan yang tinggal di sana semua sama.

“Sewa atau punya sendiri?” Tanya Erlan.

“Kemarin awalnya mau ngekost, namun harga kost dan harga apartemen hampir sama, akhirnya aku memutuskan untuk sewa apartemen aja yang murah.”

“Orang tua kamu tahu kalau kamu tinggal di sana?”

“Tahu kok. Kenapa?”

Erlan menarik nafas, “Enggak, hanya imej nya jelek aja kalau kamu tinggal di sana.”

“Tapi enak kok tinggal di sana, tempatnya strategis dan cari makan juga enak, naik kereta deket. Saya nggak peduli sih, orang nganggapnya apa, yang pasti saya nggak pernah melakukan di luar dari pekerjaan saya. Saya sudah dewasa dan aku harus hidup sendiri terpisah dari orang tua.”

“Iya benar. Kamu udah lama tinggal di Kalibata?” Tanya Erlan penasaran.

“Baru dua bulanan. Semenjak jadi sekretaris kamu, jadi saya putuskan untuk tinggal sendiri, dan orang tua saya mendukungnya.”

Erlan mengangguk paham, ia melihat Kinan meneguk martini, begitu juga dengan dirinya. Mereka tahu batasannya jika minum seperti ini, jangan ada yang mabuk diantara mereka berdua. Erlan tahu betul dibanding dengan pria seperti dirinya, wanita cenderung lebih mudah mabuk.

“Untuk meeting opening hotel baru di Bandung, udah kamu konfirmasi sama seluruh manager?” Tanya Erlan, membuka topik pembicaraan yang berbeda.

“Sudah, pak. Besok jam sepuluh.”

Erlan menatap ke arah layar ponselnya, ia melihat nama “Brian Calling.” Erlan menggeser tombol hijau pada layar, dan ia letakan di telinga. Brian adalah sahabatnya, mereka memiliki usaha yang sama dibidang perhotelan. Namun mereka tetap bersaing secara sehat, tanpa ada sedikitpun untuk menjatuhkan. Karena dibidang yang sama inilah mereka saling memberi masukan agar berkembang dengan baik.

“Iya, Brian,” ucap Erlan.

“Lo di mana?” Tanya seorang pria dibalik speakernya.

“Gue lagi lunch. Ada apa?”

“Gue mau tunangan,” ucap Brian pada akhirnya.

Alis Erlan terangkat, “Really?”

“Yes.”

“Sama siapa?” Erlan semakin panasaran, ia tidak menyangka bahwa sahabatnya ini ingin bertunangan. Padahal selama ini ia tahu bahwa Brian tidak dekat dengan siapa-siapa.

“Sama Krystal.”

“Siapa Krystal?”

Brian menarik nafas, ia bersandar di kursi kerjanya, “Anaknya pemilik stasiun TV swasta. Gue dijodohkan sama orang tua, dan gue nggak ada pilihan lain, oke.”

“Wow. Udah yakin?”

“Jalanin aja lah.”

“Kapan acaranya?” Tanya Erlan penasaran.

“Besok malam, di The Hermitage, gue udah kirim undangannya di rumah lo.”

“Oke. Selamat ya, Brian.”

“Iya, sama-sama.”

Erlan mematikan sambungan telfonnya, ia meletakan lagi ponselnya di meja, ia menatap Kinan yang memandangnya.

“Besok kamu temani saya ke acara Brian, ya,” ucap Erlan, ia tidak ingin datang hanya seorang diri di sana.

“Acara apa pak?”

“Acara tunangan Brian. Kamu tau kan Brian, sahabat saya, yang punya hotel Royal itu.”

Kinan mengangguk, ia pernah bertemu dengan Brian beberapa Minggu yang lalu, “Iya tau pak. Tunangan dengan siapa pak?” Tanya Kinan penasaran.

“Katanya tunangannya Krystal, anak pemilik stasiun TV. Dia di jodohkan, sama orang tuanya.”

Alis Kinan terangkat, “Hari gini masih di jodohkan, pak?”

Erlan menyungging senyum, “Masih banyak kok, yang seperti itu, apalagi kelasnya seperti Brian dan saya.”

“Apa kemungkinan besar kamu juga akan di jodohkan?” Tanya Kinan penasaran.

Erlan menggelengkan kepala, “Enggak, saya nggak akan pernah mau dijodohkan, apapun itu alasannya. Saya bisa cari jodoh sendiri. Ini saya dan saya bukan Brian.”

“Mana yang lebih baik, dijodohkan orang tua atau hidup sendiri?”

Erlan menyungging senyum, “Saya lebih suka hidup sendiri, lebih bebas. Karena kita sendiri lah yang menentukan apa yang terjadi dengan diri kita. Hidup ini kita yang mengatur. Orang tua saya memang sering menjodohkan saya dengan anak-anak temannya. Saya tahu, beliau punya keinginan tersendiri apapun itu. Yah, pilihan beliau belum tentu sesuai dengan diri kita.”

“Singkatnya begini, saya bukan boneka orang tua. Saya perlu kebijakan agar bisa selektif dalam hal mematuhi. Mana yang bisa saya patuhi dan tidak. Menikah itu bukan perkara mainan yang bisa nggak cocok lalu ditinggal. Pernikahan itu bicara tentang seumur hidup. Apa kamu akan menjalani hidup dengan seorang yang membuatmu jengkel setiap hari?”

“Saya lebih memilih memilih hidup sendiri, walau keluarga menghina karena tidak menikah, yang penting saya bahagia dengan kesendirian saya.”

“Analoginya, lebih baik hidup jomblo, bahagia hingga ajal menjemput, daripada menikah tapi tidak bahagia hingga sang pencipta memanggil kita berpulang ke pangkuannya.”

“Menurut kamu bagaimana?” Tanya Erlan kepada Kinan.

Kinan lalu tertawa, ia tahu bahwa Erlan cerdas, dia menjawab secara lugas, “Iya, saya setuju dengan pendapat kamu.”

“You deserve your own happiness. Saya juga adalah orang yang percaya setiap manusia dewasa, baik itu pria dan wanita, memiliki kebebasan untuk memilih dalam hidupnya selama tidak bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan. Cari kerja sendiri, berdiri dengan kaki sendiri dan jadilah diri sendiri. Buktikan kepada keluarga anda kalau anda bisa bahagia dengan pilihan anda sendiri.

Erlan setuju dengan ucapan Kinan, ia tidak menyangka bahwa mereka sangat nyambung dalam berdiskusi tentang ini, mereka memiliki pola pikir yang sama.

“Saya suka dengan pemikiran kamu.”

“Thank you, saya juga suka dengan steatment kamu.”

Erlan melirik jam melingkar ditangannya menunjukan pukul 14.20 menit, “Kita pulang sekarang.”

“Iya,” mereka akhirnya memutuskan untuk pulang ke office.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel