Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

9. CERITA DARI BU EEM

"Alhamdulillah. Ya Allah. Saya seneng banget, denger kabar kalau kalian sudah menikah. Anita benar-benar mencintai, Mas Gema. Dia senang banget kalau cerita tentang Mas Gema, ke saya."

Setiap pengakuan Bu Eem membuat Gema tersenyum. Ada kesan bahagia di dalam hatinya, seolah kisah tersebut adalah obat sakit hatinya.

Gema seolah-olah lupa akan masalah yang sedang dihadapinya. Juna yang sedari tadi memperhatikan perubahan sikap Gema pun, sedikitnya bisa bernapas lega.

"Iya, Bu. Saya juga senang karena bisa ketemu sama Bu Eem di sini. Padahal dulu Anita sering banget cerita soal Bu Eem, yang jualan di kantin sekolah. Katanya, masakan Bu Eem tuh enak-enak."

Mendengar pujian yang dilontarkan Gema, membuat wanita empat puluh lima tahun itu, melebarkan senyumannya.

"Anita terlalu berlebihan. Padahal masakan saya biasa saja, Mas. Enggak enak-enak banget. Tidak seperti koki-koki handal di restoran," ucap Bu Eem merendah.

Gema mengulas senyuman kecil mendengar kalimat tersebut, "ah, ibu bisa saja. Menurut saya masakan ibu enak banget. Saya saja sampai ingin nambah. Apa lagi ikan bakar buatan ibu. Rasanya enak banget. Pantes Anita memuji masakan Bu Eem. Ternyata memang seenak itu."

Kali ini, Gema tidak bohong dengan ucapannya. Jujur saja, ia sebelumnya tidak mood makan, tetapi setelah mencoba masakan yang dibuat Bu Eem, rasanya selera makan ia meningkat.

Seolah masakan Bu Eem, memiliki hal magis yang mampu membuat seseorang tertarik.

"Mas jangan terlalu memuji. Dari muda, saya memang senang memasak. Jadi, coba buka usaha makan ini. Anak Ibu yang kasih modal," terang Bu Eem kembali.

Obrolan santai ini pun terus berlanjut. Kebetulan memang lagi sepi pengunjung. Jadi, Bu Eem bisa santai dan berbincang banyak hal dengan Gema.

"Ouh, iya. Gimana kabar Anita? Kenapa dia tidak ikut dengan Mas Gema dan Mas Juna?"

Kembali Bu Eem membahas soal Anita. Juna sedikit ketar ketir, lantaran nama Anita harus menjadi topik pembicaraan ini.

"Anita ada di rumah. Saya dengan Juna lagi ada urusan Bisnis sekitar sini. Jadi, Anita tidak ikut." Gema menjawabnya dengan santai, seolah yang berperan sebagai suami dalam kisah ini, benar-benar dirinya.

Juna pun tersenyum lebar, seolah membenarkan hal tersebut. Meskipun ia tahu, yang Gema ucapkan adalah kebohongan.

"Ouh, seperti itu. Iya, saya mengerti sekarang. Sampaikan salam saya kepada Anita. Katakan pada Anita untuk main ke sini lagi."

"Iya, Bu. Insyaallah saya sampaikan kepada Anitanya nanti." Gema tersenyum lembut. Benar-benar bersikap ramah kepada Bu Eem. Menyembunyikan segala masalah yang terjadi antara dirinya dan Anita sekarang.

"Anita itu, anak yang baik dan pekerja keras," lanjutnya bercerita kembali.

Gema dan Juna menyimak diam.

"Anita kerja keras buat bantu orang tuanya. Apa lagi, Bapaknya sering sakit-sakitan. Dia udah ditinggal ibunya sejak masih SD. Setiap mendengar kisahnya, sering membuat saya menangis, Mas. Anita, wanita yang kuat."

"Pernah tuh, Anita mohon-mohon ke saya, mau pinjam uang, buat beli obat bapaknya yang lagi sakit. Mas tahu sendirilah, kerja jadi Guru honorer gajinya seberapa? Anita bilang ke saya."

'Bu, saya titip KTP ke ibu ya. Saya butuh uang banget, satu juta aja. Buat beli obat bapak.'

"Saya dengerinnya sedih banget, Mas. Uanga gaji dari ngajar dia, dipake buat bayar utang orang tuanya. Jadi, pas beli obat, malah enggak ada uang sama sekali."

Lagi-lagi Gema dan Juna saling berpandangan. Gema belum tahu soal ini. Selama ini, Anita tidak pernah bercerita soal kesulitannya.

"Terus, gimana lagi kisahnya, Bu? Apa Ibu pinjamin uang ke Anita?"

Bu Eem lantas mengangguk dan melanjutkan ceritanya, "iya, Mas. Saya kasian lihat Anita yang kebingungan. Sebenarnya saya juga bingung karena uang itu, modal jualan, tapi saya kasian ke Anita soalnya dia mohon-mohon buat pake uang. Dia udah cari pinjaman ke yang lain, katanya enggak ada yang mau kasih pinjam ..."

"Kapan kejadian itu, Bu?" cela Gema, di tengah-tengah cerita.

"Heum, kayaknya dua tahun lalu deh. Sebelum Anita pacaran sama Mas Gema."

Gema mengangguk. Pantas Anita tidak mencarinya untuk pinjam uang karena kejadiannya sebelum ia berpacaran.

"Alhamdulillah, Mas. Setelah itu Anita balikin uang saya. Dia kerja keras setiap hari. Sering bantu saya di kantin."

Gema tertegun cukup lama. Sesekali ia tersenyum tipis, walau terkesan dipaksakan. Pikirannya seketika mengulik kembali kisah masa lalunya bersama Anita.

Hatinya seperti ada dorongan kuat, untuk mengetahui kisah masa lalu Anita lebih jauh.

***

Satu jam berselang. Juna dan Gema pun sus berada di mobil lagi. Keduanya berpamitan, setelah warung Bu Eem mulai ramai dikunjungi pembeli.

"Gem, gimana cerita Bu Eem tadi. Lu percaya?" tanya Juna sambil pasang sabuk pengaman. Selanjutnya menyalakan mesin mobil.

"Entahlah. Antar percaya atau tidak." Gema kembali ke mode diamnya. Padahal beberapa menit lalu, ia masih tersenyum lebar saat berpamitan dengan Bu Eem.

"Lu mau cari tahu lebih jauh enggak, alasan Anita nikah sama bokap lu? Kayaknya, ada hal besar yang disembunyikan Anita dari lu." Juna berpendapat.

Mendadak, Gema memiliki pemikiran yang sama. Namun, dia pura-pura untuk tidak menggubrisnya.

"Ya udah kalau lu enggak mau jawab. Skip aja kalau gitu," kata Juna sedikit kesal. Sebab kembali is harus menghadapi sikap dingin Gema Dirgantara, yang dinginnya mengalahkan balok es.

"Selanjutnya kita mau kemana?" tanyanya kembali untuk membuka pembicaraan baru.

"Terserah lu aja. Gue ikut aja." Gema mengeluarkan ponselnya.

Juna melirik sahabatnya itu. Sedikit penasaran, apa yang sedang sahabatnya lakukan.

"Gimana kalau ke rumah lama Anita," usulnya.

Gema langsung menoleh detik itu juga, seolah-olah, sahabatnya itu bisa membaca isi pikirannya.

"Kenapa liatin gue kayak gitu, ah?" sungutnya bernada kesal.

"Enggak jadi," jawab Gema yang balik kesal.

Juna menepikan mobilnya kembali. Setelah mobil berhenti, dia mengubah posisi duduknya menjadi menghadap Gema.

"Gue bisa anterin lu ke rumah lamanya si Anita. Asalkan lu janji. Lu harus terima apa pun yang terjadi nanti. Kalau memang seperti yang gue pikirkan, lu harus bisa memaafkan Anita karena yang lu tuduhkan ke Anita semuanya salah. Gimana?" tawar Juna sangat serius.

Gema menghela napas panjang, berulang kali. Mencoba untuk mengambil alih pikirannya yang memang masih dikendalikan oleh emosi.

"Ya. Gue bakalan coba maafin dia," jawabnya singkat dan menyandarkan kepalanya sambil memejamkan mata.

"Ok!"

Juna menyalakan mesin mobilnya lagi. Kemudian putar arah, untuk kembali ke Jakarta. Dibandingkan dengan Gema, dirinya lebih antusias untuk mengulik kisah ini lebih jauh.

Apa yang akan terjadi selanjutnya? Kisah apa yang tersembunyi di balik pernikahan Anita dan Angga Wijaya?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel