10. PELAN-PELAN TERUNGKAP
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam. Mobil pun mulai memasuki perkampungan. Rumah Anita memang masih pelosok dan padat penduduk.
Mobil pun berhenti di tanah kosong, lebih tepatnya lapangan bola untuk anak-anak di sana.
"Lu aja yang cari tahu, gue malas keluar mobil," kata Gema, sesaat setelah mesin mobil dimatikan.
Juna menatap lurus sahabatnya itu, "apa-apa si lu, Bro? Lu mau mati di mobil, kayak yang di berita-berita gitu?"
Omelan itu seolah masuk kuping kanan, lalu keluar kuping kiri. Gema malas menanggapi dan ogah berdebat.
Mendapati ucapannya hanya sebagai angin lalu, Juna pun menghela napas panjang. "Tadi, katanya pengen cari tahu, kenapa si Anita nikah sama bokap lu? Sekarang, udah capek-capek ke sini, lu malah malas-malasan kayak gini," protesnya yang tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.
Kali ini giliran Gema yang membuang napas berat, "ya! Gue keluar! Puas lu!" katanya sedikit membentak.
"Nah, gitu. Baru sohib gue."
Juna pun keluar dari mobilnya lebih dulu. Gema masih duduk di posisinya. Sepasang mata itu, menatap lurus rumah sederhana di ujung sana.
Berulang kali, Gema menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan-lahan. Mencoba menetralisir pikirannya yang kacau karena harus mendatangi, rumah yang memiliki banyak kenangan baginya itu.
"Woi, cepetan keluar! Ngapain lagi si, di dalam?!"
Gema mengumpat kesal dalam hatinya karena memiliki teman kparat seperti Juna. Ya, meskipun begitu. Hanya Juna lah yang paling setia, dari semua temannya.
Setelah berulang kali diteriaki, akhirnya Gema keluar mobil juga. Sambil memasang wajah malas dan tidak memiliki semangat.
"Hadeuh ... Kenapa si, muka ditekuk terus ah? Senyum dikit kenapa si? Biar kelihatan ada semangatnya gitu?" keluh Juna merasa dongkol karena terus-terusan disuguhkan ekpresi kurang mengenakkan.
Gema memalingkan wajahnya ke arah berbeda. Mengabaikan segala keluh kesah sang sahabat.
"Lu, emang keras kepala dah. Ngeselin banget," cerocosnya lagi.
"Lu, kenapa si, dari tadi ngomel terus? Berisik tau." Sekarang giliran Gema yang balik mengomel.
Juna mengangkat sebelah tangannya yang sudah mengepal kuat. Dia hendak memukul Gema, supaya temannya itu cepat sadar. Namun, diurungkan niatnya itu.
"Udah! Lupakan saja. Tuh, lu lihat tulisan di rumahnya si Anita! Rumahnya dijual. Aneh banget ya enggak si? Masa iya, dia jual rumahnya, sedangkan dia nikah sama bokap lu yang tajir itu?"
Gema melepaskan kacamata hitamnya itu, seandainya Juna tidak berkata demikian, ia tidak kan memperhatikan tulisan yang terpasang di tembok rumah itu.
Ditulis dengan huruf besar di atas kertas putih.
'RUMAH INI DIJUAL. HUBUNGI 0838××××'
Gema melebarkan matanya, ketika membaca tulisan tersebut. Nomor yang tertera pada tulisan itu, bukanlah nomor Anita. Ia hafal betul, nomor kontak dari wanita yang sampai detik ini masih mengisi relung hatinya.
"Lu tahu soal ini?" tanya Juna penasaran.
Gema menggeleng cepat, "gue aja baru tahu, kalau dia jual rumahnya."
"Lu yakin, dia enggak ngomong soal jual rumah? Bukannya dia masih punya orang tua?"
"Iya. Dia tinggal sama bokapnya." Gema mengerutkan keningnya, masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.
Kalau Anita menikah dengan Angga Wijaya, lantas kenapa rumahnya harus dijual? Lalu, di mana keberadaan bapaknya?
Ada beberapa pertanyaan besar sedang mengusik pikiran Gema sekarang.
"Lu, coba cari tahu. Tanya-tanya gitu ke orang sekitar," perintah Gema cukup jelas.
"Gue?" Juna menunjuk dirinya sendiri.
"Iya. Lu aja yang cari tahu soal rumah itu. Kalau gue yang nanya ke warga, yang ada mereka malah curiga. Ada beberapa yang kenal gue soalnya," papar Gema kemudian.
"Heum, iya gue ngerti maksud lu."
Tanpa banyak bicara, Juna pun berjalan pergi meninggalkan Gema di sana. Sebenarnya, rasa penasarannya tidak jauh berbeda dengan Gema.
Setelah berjalan beberapa meter, Juna pun melihat ke kiri dan kanannya. Mencari orang, yang mungkin berada di sekitar sana.
Beberapa detik kemudian, ada bapak-bapak yang sedang berjalan sambil membawa cangkul. Sepertinya kedua pria itu mau pergi ke kebun. Pikir Juna demikian.
"Permisi, Pak. Boleh saya bertanya," kata Juna yang menghampiri keduanya dan mulai membuka pembicaraan.
"Iya, Mas. Mau tanya apa?" tanya balik salah satu dari keduanya.
"Bapak, tahu orang yang tinggal di rumah itu?" Juna mengarahkan jari telunjuknya ke arah rumah Anita yang kosong itu.
"Ouh, itu. Rumahnya Pak Sueb," sahut pria itu langsung tahu arah pembicaraan ini.
Juna mengangguk cepat, "iya, Pak. Rumahnya Pak Sueb. Kenapa ya, kok rumahnya ada tulisan 'Rumah Ini Dijual' memangnya rumah itu beneran dijual? Bukannya Pak Sueb masih ada ya?"
Juna perlahan-lahan menggali informasi prihal tentang Anita dan Ayahnya itu.
"Apa Mas belum tahu kabarnya?"
"Kabar apa ya, Pak?" Juna balik bertanya dengan raut wajah keheranan.
"Pak Sueb, sudah meninggal, Mas. Sekitar enam hari yang lalu," ujar pria itu menerangkan.
"Innalilahi," ucap Juna spontan sambil mengelus dadanya.
"Iya, Mas. Katanya, anaknya Pak Sueb, si Anita udah nikah," sahut pria yang satunya menambahkan.
"Menikah? Jadi, Anita sudah menikah?" Juna tahu prihal itu. Namun, dia pura-pura tidak mengetahui soal pernikahan tersebut.
"Iya, Mas. Dengar-dengar, Anita sudah menikah, tapi enggak tahu sama siapa."
"Jadi rumah itu dijual karena tidak ada yang menempati lagi?" Juna terus memberikan pertanyaan demi pertanyaan, demi mengungkap tabir rahasia ini.
"Enggak, Mas. Sebelum Pak Sueb meninggal. Jadi, ada beberapa orang datang ke sini, buat ngambil surat tanah rumah itu. Katanya si, Pak Sueb berhutang banyak ke mereka. Alhasil, mereka menyita surat tanah itu. Heum, kamu juga enggak tahu jelasnya, Mas. Soalnya beberapa hari lalu, ada yang datang ke rumah itu, buat nempel pengumuman itu."
Pria itu menerangkan semuanya secara gamblang. Juna menoleh ke belakang, melihat tulisan yang menempel di dinding itu.
"Ok, Pak. Terima kasih informasinya. Nanti saya coba cari Anita," kata Juna, mengakhiri perbincangan di sana.
Dirasa urusannya telah selesai, Juna pun pamit pergi. Kedua pria itu juga, harus melanjutkan kembali aktivitasnya.
Juna buru-buru menghampiri Gema yang menunggu di depan mobil.
"Bro! Lu harus tahu berita besar ini," katanya cepat.
"Berita besar apa?"
"Jadi, rumah itu bukan si Anita yang jual, tapi ada orang yang menjualnya."
"Maksud, lu?" Gema menaikkan sebelah alisnya, rasa tidak percaya dengan ucapan sang sahabat.
"Lu, jangan kaget ya. Jadi, sebenarnya bapaknya si Anita tuh dah meninggal. Kata bapak-bapak tadi, katanya udah enam hari."
"Innalilahi wainnalilahi rojiun," ucap Gema spontan. "Lu beneran?"
"Iya. Gue si enggak tahu, penyebab kematiannya, yang jelas Bapak-bapak itu bilang, kalau Pak Sueb udah meninggal, enam hari yang lalu."
"Terus, soal rumah itu?"
"Surat tanah rumah itu, diambil sama depkolektok kayaknya deh. Terus dijual sama mereka," terang Juna, yang mengambil persepsi dari penjelasan bapak-bapak tadi.
"Depkolektok? Jadi, maksud lu. Anita berhutang sama depkolektok, terus surat tanah itu diambil, habis itu sama mereka dijual, begitu?" cecar Gema dengan raut wajah serius sampai tidak berkedip.
Dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, setelah mendengar penjelasan yang keluar dari mulut Juna.
"Hooh. Gue juga enggak tahu lah, alasan pastinya. Cumanya ya, Bapak-bapak yang gue temuin tadi, bilangnya gitu," tambah Juna, sekaligus mengakhiri penjelasannya.
Tanpa pikir panjang, Gema mengayunkan kakinya cepat. Meninggalkan temannya tanpa sepatah kata.
"Woi, Gema! Lu mau kemana? Tungguin gue!"
Takut, sahabatnya mengambil tindakan berbahaya, Juna pun langsung bergerak mengikuti langkah Gema.
Sesampainya di depan rumah Anita, Gema langsung menarik kertas pengumuman yang tertempel di dinding itu. Menariknya dengan kasar. Dia ingin merobeknya. Namun, diurungkannya karena suatu hal.
"Lu mau ngapain?"
"Gue bakalan cari tahu, semuanya sekarang!" gumam Gema serius tanpa berkedip.