Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8. PERTEMUAN TAK TERDUGA

Satu setengah jam kemudian. Mobil yang dikendarai Juna pun, telah memasuki kawasan puncak.

"Mampir ke warung makan dulu yuk! Gue laper, belum makan dari pagi," keluh Juna sambil mengelus perut rampingnya itu.

Juna pun menepikan mobilnya ke sisi kiri jalan.

"Lu aja yang makan, gue lagi ga mood makan," jawab Gema sambil membuang pandangan malas.

"Hadeuh, gini banget ya hidup, ngadepin orang yang lagi galau. Susah banget diajak ngobrolnya," sindirnya kemudian atas sikap yang Gema tunjukkan.

"Terserah lu mau ngomong apa. Gue malas ngapa-ngapain."

Gema mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana, memainkan layar ponselnya. Entah apa yang dilihat? Raut wajahnya tidak menunjukkan kesan bahagia sama sekali.

Juna pun menghela napas berat. Dia yang sudah sangat geram, akhirnya mengambil tindakan.

Juna merebut ponsel itu dari tangan Gema, sontak membuat pemuda itu melebarkan matanya.

"Balikin hp gue!"

"Hp lu, biar gue pegang dulu. Sekarang mending kita makan dulu. Gue khawatir sama kesehatan lu. Pasti dari kemarin lu belum makan kan?"

Gema tidak menggubrisnya, memilih memalingkan wajahnya ke sisi berbeda.

"Gem, lu harus bisa menerima takdir yang Tuhan, udah berikan ke lu. Gue tahu, berat bagi lu buat nerima kenyataan, kalau cewek yang lu sayang, sekarang jadi ibu lu, tapi bukan berarti lu harus merusak diri lu sendiri. Buat apa, Gem? Supaya lu mati, gitu?" bentak Juna, yang batas kesabarannya sudah di ujung tanduk.

Dia sudah tidak tahan, melihat Gema yang terus-terusan galau, sedih dan tidak ada semangat hidupnya.

"Enggak usah lu ceramihin gue. Lu enggak bakalan ngerti gimana perasaan gue sekarang. Gue kerja setiap hari, demi apa?" Suara Gema bergetar dan tidak kalah tingginya dari sang sahabat.

"Gue kerja demi bisa nikahin dia, tapi apa yang gue dapat dari kerja keras itu?! Dia malah nikah sama bokap gue sendiri. Lu bisa bayangin engga, jadi gue? Lu coba posisikan diri di tempat gue? Apa yang lu bakalan lakuin kalau jadi gue?"

Setelah berkata demikian, Gema kembali membuang pandangannya ke sisi berbeda. Menyembunyikan raut wajah sedihnya itu dari sang sahabat.

Juna pun menghela napas berat. "Ya, maafin gue. Sorry gue udah bentak lu."

Gema tak menggubrisnya kali ini.

"Ok, lu boleh marah ke gue, tapi please kali ini aja. Temenin gue makan. Terserah kalau lu enggak mau makan. Ya, setidaknya lu jangan di dalam mobil terus. Gue enggak mau, lu terus-terusan galau."

Kali ini giliran Gema yang menghela napas berat. "Balikin dulu hp gue," pintanya sambil menengadahkan tangan kanannya.

"Temenin makan, baru gue kasih hp lu."

"Iya, bawel," protesnya dengan raut wajah sangat kesal.

Mendengar kalimat itu, membuat Juna tersenyum kecil. "Ni, hp lu." Juna mengembalikan benda pipih itu kepada pemiliknya.

Gema langsung memasukkan benda pintarnya itu ke dalam saku celana.

"Ya udah yuk, keluar!" ajak Gema tanpa ekpresi sama sekali, kemudian membuka pintu mobil.

Juna mengangguk antusias. Dia segera menyusul sahabatnya itu.

Keduanya berjalan tak beriringan. Di depan sana ada warung makan, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat mobil terparkir.

Gema masih menunjukkan raut wajah datar. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Kacamata hitam itu, menutupi tatapan kosongnya.

Keduanya masuk ke warung makan itu. Kemudian duduk saling berhadapan.

"Bu! Mau pesan makan!" teriak Juna sambil mengangkat sebelah tangannya.

Seorang wanita dewasa, yang kira-kira berusia empat puluhan tahun itu, langsung menghampiri Juna dan Gema.

"Iya, Mas. Mau pesan apa?" tanyanya seramah mungkin.

"Ikan bakarnya satu ya, Bu. Pake nasi," ungkap Juna menyampaikan keinginannya.

"Lu mau makan apa, Bro?" lemparnya bertanya pada sang sahabat, yang masih diam tanpa kata.

"Lu aja yang makan. Gue enggak mood makan," jawab Gema ketus.

Wanita itu, tampak terus memperhatikan Gema. Dilihatnya secara keseluruhan sosok pemuda berkacamata hitam itu.

Hal tersebut pun tertangkap oleh mata Juna, yang lantas membuat ia penasaran.

"Kenapa ibu lihatin teman saya terus?" Akhirnya pertanyaan itu lolos tanpa celah dari bibir Juna.

Wanita itu sedikit tersentak kaget. Namun, segera ia bersikap tenang lagi.

"Heum, saya seperti pernah melihat Mas berkacamata hitam ini, tapi di mana gitu," jawabnya dengan ragu-ragu.

Gema yang semula cuek pun, kini memalingkan pandangannya. Membuka kacamata hitam itu, kemudian menatap langsung wanita tersebut.

"Nah, kalau begini saya baru kenal. Mas ini, pacarnya Anita kan?" tanya wanita itu antusias. Seperti habis melihat berlian saja.

Kata terakhir dari pertanyaan itu, sontak membuat Gema dan Juna saling berpandangan.

"Anita yang mana ya, Bu? Ada banyak Anita di negara ini," kata Juna mencoba meluruskan.

"Benar yang teman saya katakan. Ada banyak wanita bernama Anita. Anita yang Ibu maksud yang mana ya?" Gema berusaha menekan segala emosi yang ada pada dirinya, demi sebuah kebenaran.

"Nama panjangnya kalau tidak salah. Anita Apsari. Dia ngajar di SMP Negeri 1 Patrasana," ungkap wanita itu, menjelaskan tentang sosok Anita yang ia kenal.

Tentu Gema dan Juna mengenal Anita yang dimaksud ibu itu. Keduanya saling berpandangan satu sama lain, sebelum akhirnya Gema kembali menatap ibu itu.

"Bagaimana bisa ibu mengenal Anita?" tanyanya sangat penasaran.

Ada hasrat yang sangat tinggi, untuk mengetahui informasi ini lebih jauh. Apa pun yang berkaitan dengan Anita, memang masih menjadi kesenangannya.

"Heum, sebenarnya dulu saya jualan di kantin SMP Negeri 1 Patrasana. Anita sering membantu saya jualan," beber wanita itu lebih jauh.

"Jadi, ibu ini, Bu Eem ya? Anita sering bercerita banyak hal tentang ibu kepada saya."

Ya, sekarang tampak sudah sangat jelas. Gema baru teringat, akan kisah yang sering diceritakan oleh Anita dulu, ketika ia masih menjadi guru di SMP Negeri 1 Patrasana.

"Iya, Mas. Orang-orang manggil saya dengan sebutan Bu Eem." Dia dengan tegas memperkenalkan namanya pada Gema dan Juna.

Entah mengapa, hal tersebut membuat Gema merasa bahagia bukan main. Sorot matanya berubah, yang semula galau dan kosong, kini lebih cerah.

"Sudah dua bulan saya tidak bertemu Anita. Biasanya dia datang ke sini. Dia cerita ke saya, katanya mau nikah. Apa Mas adalah suaminya?" tunjuknya pada Gema, yang memang sedari tadi yang terus diajak ngobrol.

Gema diam beberapa detik, sebelum akhirnya dia mengulas senyuman tipis dan berkata. "Iya, Bu. Saya suaminya," akunya kemudian.

Entah jin apa yang sedang merasuki pikirannya, sampai-sampai ia mengakui hal gila itu?

"Masyaallah. Ya Allah. Terima kasih." Bu Eem menegangkan kedua tangannya spontan, lalu mengusap wajahnya, penuh antusias.

"Saya senang banget, akhirnya bisa bertemu dengan Mas. Kalau boleh tahu, siapa nama Mas? Kalau tidak salah ..."

"Nama saya Gema, Bu. Gema Dirgantara," ungkapnya senang.

"Ah, iya. Mas Gema. Anita sering banget menyebut nama Mas, setiap kali dia cerita. Katanya, dia sangat mencintai Mas Gema. Apa lagi katanya, Mas mau nikahin dia ..."

"Alhamdulillah, dua bulan tidak bertemu Anita. Akhirnya saya bisa bertemu suaminya. Takdir, Allah, memang tidak bisa disangka-sangka."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel