Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7. LAGI-LAGI BERKELAHI

BUK!

Pukulan keras diterima Gema tepat di wajahnya. Saking kerasnya tinju itu, sampai membuat ia tersungkur ke lantai.

Dia menatap lurus ayahnya yang sedang dipenuhi emosi yang tak terkendali setelah mendengar kalimatnya.

"Anak kurang aja kamu, Gema! Selama ini Ayah tidak pernah mengajarimu berkata tidak sopan kepada orang tua!"

Angga Wijaya menatap nanar putra satu-satunya itu. Jari telunjuknya tegak lurus ke arah wajah Gema. Suaranya menggelegar seisi ruangan itu.

Pikirannya sudah dirasuki emosi. Tanpa buang waktu, dia kembali menarik kerah baju sang putra. Gema tidak melawan, sebaliknya. Dia tersenyum, menunjukkan kesan tidak takut.

"BERHENTI, MAS!" teriak Anita, yang berjarak beberapa meter dari keributan. Ia berlari dari dapur, setelah mendengar suara teriakan suaminya.

Angga menahan tangannya, padahal beberapa sentimeter lagi mampu membuat wajah tampan sang putra bengkak.

Anita langsung berlari. "Hentikan keributan ini, Mas! Kamu jangan terpancing emosi. Kasian Gema, kalau kamu pukul dia setiap hari."

Kemarin tambaran bertubi-tubi, sampai bekasnya masih terasa nyeri dan sekarang pukulan, yang meninggalkan bekas lebih parah, sampai tepi bibirnya mengeluarkan darah. Namun, Gema seolah tidak merasa jera, meskipun sudah berulang kali mendapatkan kekerasan fisik.

Rasa sakit di tubuh bisa diobati secepat mungkin. Namun, sakit akibat dikhianati, tentu akan lama sembuhnya.

"Lepasin dia, Mas! Kasian dia kalau terus dipukul. Mas, harus lebih sabar lagi menghadapinya."

Suruan Anita mampu membuat Angga Wijaya mendapatkan kembali kesadarannya. Dia melepaskan kerah baju Gema.

Alih-alih meminta maaf atas segala kalimat yang telah ia lontarkan beberapa saat lalu. Gema malah menunjukkan sikap arogansi.

"Kenapa berhenti, Yah? Kenapa Ayah tidak memukulku lagi? Lakukan lagi, Yah! Aku ingin Ayah terus memukulku, sampai aku menyusul Bunda!"

Kalimatnya itu, langsung membuat Angga Wijaya mengepalkan kedua tangannya.

"DIRGANTARA!" teriaknya. Namun, di detik yang sama, Anita langsung menahan.

"Cukup, Mas! Istighfar, Mas! Jangan kepancing emosi. Istighfar, Mas!"

Anita mendekap tubuh suaminya, supaya ia tidak melakukan hal gila lagi. Sungguh, wanita mana yang tega, melihat pria yang disayanginya terlibat perkelahian, apa lagi, dengan anak sendiri?

"Istighfar, Mas! Tenangin diri, Mas!"

Gema yang sudah muak melihat drama itu, tanpa pikir panjang, langsung menarik tangan Anita secara paksa.

"Mengapa kau bersikap baik kepadaku, ah? Seolah-olah, kau melindungi dari kemarahan ayahku?!" sungut Gema, dengan menjatuhkan tatapan nanar pada wanita yang dahulu sangat ia cintai.

"Jawab aku, Anita! Sebenarnya kamu masih mencintai aku kan?!" Nada suaranya semakin tinggi dan genggaman tangannya pun semakin kuat. Membuat Anita merasa tidak nyaman.

"Gema cukup!"

Angga Wijaya tentu tidak tinggal diam. Dia menarik tangan Anita yang satunya, agar terlepas dari kemarahan sang putra. Tubuh Anita terhuyung ke belakang Angga Wijaya.

Posisi Angga Wijaya sekarang saling berhadapan dengan Gema. Sama-sama melontarkan tatapan maut, penuh kemarahan.

BRUK!

Tidak pikiran panjang, satu lagi pukulan keras mendarat di wajah Gema. Sebelumnya di pipi kanan, kini giliran pipi kiri.

Gema tersungkur di lantai. Anita menjerit histeris dan menutupi mulutnya dengan kedua tangan.

Apa yang harus ia perbuat, guna menghentikan perkelahian anak dan ayah itu? Hatinya sungguh tersiksa melihat Gema yang terus-menerus mendapat pukulan dari ayahnya. Namun, dia juga tidak bisa menyalahkan Angga Wijaya sepenuhnya. Sebab yang membuat perkelahian ini berbuntut panjang, ialah Gema yang terus bersikap keras kepala.

Angga Wijaya mundur beberapa langkah. Napasnya memburu, seperti orang yang habis lari maraton.

Matanya terpejam untuk beberapa detik, berusaha kerasa untuk mengendalikan pikirannya kembali.

"Pergi kamu dari rumah ini! Jangan tunjukin muka kamu di rumah ini lagi! Sebelum kamu bisa mengubah sifat keras kepala kamu itu!" usianya tegas dan tanpa keraguan.

Gema beranjak bangun sambil tersenyum puas. "Tanpa Anda minta pun, diriku sudah akan pergi dari rumah terkutuk ini!" sungutnya dengan suara yang tidak kalah tinggi dari sang Ayah.

Kedua bahunya sedikit terangkat. Dia mengenakan kembali kacamata hitam itu. Memasang mimik wajah sangat, seolah bekas pukulan tadi, sama sekali tidak membekas.

"Aku tidak akan kembali ke rumah ini!" tutupnya tegas, sebelum akhirnya melenggang pergi.

Anita meremas ujung bajunya. Ada sesuatu yang ingin meledak di dalam dadanya. Begitu juga dengan matanya. Namun, semua itu tidak mampu ia keluarkan.

Sampai akhirnya ia duduk lemas. Kedua kakinya tidak lagi mampu menopang berat tubuhnya.

"Dek!" Angga Wijaya buru-buru menghampiri sang istri, sesaat setelah ia berhasil menjernihkan pikirannya.

Dia langsung memeluknya erat. Mengelus lembut kepalanya dan berkata, "semuanya akan baik-baik saja, Dek. Maafkan Mas karena sudah kasar tadi."

"Maafkan karena Mas tidak bisa mendidik Gema dengan benar, sehingga dia bersikap kasar kepada kamu, seperti tadi."

Anita tidak tahu, siapa yang salah. Mungkin Gema tidaklah salah. Hal wajar jikalau ia marah. Hatinya hancur, sudah pasti.

Anita menatap kosong objek di depannya. Belaian hangat dari sang suami, nyatanya tidak sepenuhnya membuat ia merasa tenang.

Ada sedikit ketenangan, tapi entah akan bertahan berapa lama? Lantaran, Gema masih enggan menerima kenyataan, bahwa wanita yang ia cintai dulu, kini telah menjadi ibu baginya, meskipun hanya di atas kertas.

***

Sementara itu, Gema sudah berada di dalam mobil Juna. Kebetulan, saat Gema keluar rumah, Juna sudah datang.

"Lu mau pergi kemana, Bro? Kita udah jalan setengah jam, tapi belum tahu tujuannya," kata Juna bertanya sambil fokus menyetir.

"Terserah lu aja, mau pergi kemana. Pokoknya pergi ke tempat yang jauh. Gue malas balik ke rumah terkutuk itu!" Nada suaranya dipenuhi dengan emosi, begitu juga dengan kalimatnya.

Juna menghela napas panjang, "lu pasti ribut lagi sama bokap lu?"

Tebakannya tidak mendapat jawaban. Namun, gema sedikit mengangguk guna membenarkan tebakan tersebut.

Selain itu juga, Juna bisa melihat ada bekas memar di kedua pipi sahabatnya itu.

"Ya udah kalau gitu. Kita ke Puncak aja kalau gitu. Mau engga? Kali aja lu bisa happy di sana."

"Gue udah bilang. Terserah lu mau pergi kemana. Gue ikut aja, yang penting jangan balik ke rumah sialan itu lagi. Gue muak lihat muka mereka, yang dengan teganya mengkhianati kepercayaan gue."

Suaranya bergetar. Terdengar seperti orang yang menahan emosi dan kesedihan. Juna dapat merasakan kekecewaan itu. Namun, ia juga tidak dapat berkomentar banyak karena takut dianggap terlalu jauh, ikut urusan rumah tangga orang.

Mobil pun melaju cepat menuju Puncak.

Entah apa yang akan terjadi di sana?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel