BAB 8
HAPPY READING
***
Brian menghentikan mobilnya di parkiran Animale Restoran. Dista membuka sabuk pengaman begitu juga Brian. Dista menyeimbangi langkah Brian menuju lobby utama. Rertoran ini terletak di gedung MD place lantai sebelas.
Dista mengikuti Brian menuju lantai sebelas, ia memperhatian Brian yang masih tampak tenang. Brian dan Dista melewati koridor yang masih lengang ada beberapa tamu yang baru masuk.
Brian masuk ke dalam lobby, ia tidak tahu kenapa pilihannya jatuh ke restoran ini. Restoran ini merupakan restoran paling mewah yang ada di Jakarta. Harusnya ia mengajjak Dista ke sini waktu malam, sambil menikmati hidangan Amerika avant-grade dengan sentuhan Mediterania.
Dista merasa takjub dengan pilihan restoran Brian. Seumur hidupnya baru kali ini ia menginjakan kakinya ke restoran seprti ini. Dista memandang Brian pria itu duduk di salah table dekat jendela. Server datang membawa menu untuk mereka.
Brian memandang Dista, “Kamu mau pesan apa Dis?” Tanya Brian.
“Saya ikut menu bapak saja.”
Brian mengangguk, ia memesan wagyu beef cheek, salmon, pork ribs, salad dan dua lemon tea. Setelah itu server meninggalkan table. Dista masih memperhatikan interior restoran ini sangat bagus menurutnya, semi indoor dan outdoor. Restoran ini dengan konsep Amerika modern dengan atmosphere yang relaksasi and friendly. Tema ocean sangat terlihat diberbagai sudut ruangan ini.
“Kamu suka restorannya?” Karena Brian memperhatikan Dista dari tadi.
Dista mengangguk, “Iya. Ini merupakan pertama kalinya ke restoran seperti ini.”
“Bukannya di Bali juga banyak seperti ini?”
Dista tersenyum, “Kalau di Bali visual oceannya sangat nyata. Menikmati restoran di sepanjang tepi pantai. Kalau di sini oceannya digedung pencakar langit.”
Brian tertawa, “Oiya, kost kamu bagaimana?”
“Cukup baik pak.”
“Ada kekurangan di kost kamu.”
“Ada pak.”
“Apa?” Tanya Brian penasaran.
“Kurang dapur aja sih pak,” ucap Dista terkekeh.
“Emang nggak ada dapur? Tanya Brian.
“Ada pak, letaknya di lantai lima. Jadi saya harus ke sana dulu baru bisa masak.”
“Lumayan jauh juga, sementara kamu di lantai dua?”
“Iya pak. Tapi kost itu sudah bagus kok pak, bahkan lebih bagus dari kamar saya di Denpasar,” ucap Dista.
Brian memandang server membawa makanan mereka, ia melihat makanan sudah tersaji di sana. Brian tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada server. Brian menyesap air mineralnya. Ia memandang Dista meneguk air mineral.
“Mau pindah ke apartemen nggak?” Tanya Brian.
“Enggak usah pak, kostnya itu udah bagus kok.”
“Apartemen lebih bagus lagi.”
“Jangan pak.”
“Deket kok dari kantor, jaraknya nggak terlalu jauh. Kamu bisa jalan kaki dari apartemen ke office. Saya pikir apartemen lebih privasi,” ucap Brian.
“Apartemen siapa pak?”
“Apartemen pribadi saya.”
Alis Dista terangkat mendengar kata apartemen pribadi pria itu, “Jadi saya tinggal sama bapak?”
“Kalau kamu mau.”
“Jangan pak.”
Brian tertawa, ia mulai makan, ia memandang Dista, wanita itu gelagapan, matanya melotot karena dirinya menawarkan wanita itu tinggal di apartemennya, “Saya ada apartemen tipe studio, kamu bisa gunakan. Fasilitasnya lengkap ada tempat kichen, kamu bisa masak.”
“Jangan pak.”
“Besok kita lihat ya, siapa tau kamu cocok,” ucap Brian, ia kembali memakan dagingnya.
Sementara Dista menatap Brian, ia tidak tahu apa arti kebaikan pria itu kepadanya sehingga ingin memfasilitasi semua untuk dirinya.
“Habisin makanan kamu, setelah ini kita akan ke hotel Mercure bertemu mr. Jhoni,” ucap Brian.
“Baik pak.”
Setelah makan siang, mereka bertemu dengan mr. Jhoni restoran hotel Mercure. Dari sini Dista paham yang harus ia lakukan menjadi sekretaris dari pagi hingga petang mereka selalu bersama membahas masalah pekerjaan.
***
Tepat menjelang petang Dista menemani Brian ke SKYE, ia baru tahu bahwa SKYE adalah salah satu restoran terletak di lantai 56 di BCA tower di JL. M.H. Thamrin ajakan Brian ini seolah menunjukan inilah Jakarta. Dista menatap pemandangan luar biasa dari ketinggian seperti ini. Ia memandang langit yang mulai gelap.
Dista tidak pernah membayangkan menjadi sekretaris ternyata seperti ini. Pantas saja banyak sisi gelap yang terjadi pada profesi ini. Awalnya mungkin tugasnya mengetik, pengarsipan, korespodensi mengatur meeting. Namun kenyataanya seluruh waktunya di dedikasikan dengan boss nya ini.
“Kamu bisa minum bir?” Tanya Brian membuka topik pembicaraan.
Dista mengangguk, “Iya bisa. Saya dari Bali, minuman seperti ini dijual bebas di tempat saya. Walaupun begitu jarang ada orang yang membuat onar.”
“Kamu biasa minum bir apa?” Ucap Brian memandang menu di table.
“Mungkin bir bintang, menurut saya bir itu mewakili standar bir di Indonesia. Rasanya pas, nggak pahit, lebih ringan. Heineken juga oke, rasanya sama saja seperti bir bintang, hanya harganya lebih mahal. Saya pribadi lebih suka Angker rasanya lebih strong, saya suka yang rasa lemon,” ucap Dista menjelaskan.
“Saya nggak percaya bahwa kamu bisa minum bir. Kalau Vodca, brandy, bisa juga kan?”
Dista tertawa, “Iya bisa, kalau kebanyakan saya bisa mabuk juga”
Brian menyungging senyum ia memanggil server, Brian memesan bir Angker dua botol dan ia juga memesan fettucine short ribs ragu dua untuk diirnya dan Dista. Tidak butuh waktu lama bir Angker mereka datang.
Brian menuangkan bir Angker ke dalam gelas untuk dirinya dan Dista. Brian menyesap bir dan ia memandang Dista.
“Apa kamu sering ke tempat seperti ini?” Tanya Dista, ia mengambil gelas berisi bir, tugasnya di sini hanya mengisi obrolan ringan kepada bos nya itu.
“Jarang sih,” ucap Brian, ia meletakan gelasnya di meja.
“Saya pikir kamu setiap pulang kantor menyempatkan ritual seperti ini dengan sekretaris kamu,” ucap Dista.
Brian tersenyum, “Sebelum kamu menjadi sekretaris saya, tidak ada melakukan seperti ini,” ucap Brian.
“Kenapa?”
Brian menarik nafas, “Hanya saja beberapa akhirnya ini sering bergelut dengan pemikiran saya sendiri. Saya perlu teman bicara, saya perlu diskusi, saya perlu orang yang mengerti saya. Banyak yang harus saya pikirkan, pekerjaan saya yang banyak, tunangan saya yang tidak saya cintai, saya kurang akur dengan orang tua saya yang selalu banyak menuntut.”