BAB 9
“Awalnya saya, saya jalani semampu saya. Lama kelamaan, saya lelah sendiri. Saya butuh waktu sendiri menenangkan pikiran saya, makanya saya meminta sama kamu untuk menemanis saya ngobrol ringan seperti ini,” ucap Brian, ia meneguk bir nya.
Dista memicingkan matanya, “Kamu sudahh tunangan, tapi kamu cinta sama dia?”
Bibir Brian terangkat, ia menatap Dista, “Saya sudah bertunangan sekitar enam bulan yang lalu, flat saja hubungan saya dan dia. Bahkan hingga sekarang saya tidak pernah mencium tunangan saya.”
“Why? Just kiss.”
“Alasan utamanya. Ya, saya memang tidak tertarik, Dista. Kalau nggak tertarik buat apa dicium, nggak ada rasanyakan.”
“Ada lah rasanya, kalau di coba. Bagaimana juga dengan pria-pria yang tidur dengan penjaja seks komersial. Mereka bisa mencium dan melakukan hubungan intim tanpa rasa,” ucap Dista ia meneguk bir.
“I know, itu konteks yang berbeda. Analoginya kamu membeli baju, yaudah kamu pakai hari itu juga. Itu pilihan kamu. Berbeda dengan barang yang kamu nggak suka, terpaksa kamu ambil. Alhasil hanya di simpan di dalam lemari dan kamu nggak peduli walau seberapa mahal barang itu.”
Dista mengangguk paham, “Kenapa tunangan, kalau nggak tertarik?”
“Orang tua saya, menjodohkan saya kepadanya.”
“Kalau di jodohkan kamu harusnya bisa menolak.”
“Enggak ada pilihan Dista.”
“Kamu bisa berontak, cari sesuai dengan pilihan kamu.”
Brian menyungging senyum, “Ini saya mulai berontak.”
“Are you serious?”
“Yes,” Brian lalu tertawa.
“Contohnya, kayak apa? Apa kamu sudah memiliki wanita lain?” Dista kembali meneguk bir nya.
Brian memandang Dista cukup serius, ia melihat bibir penuh Dista. Bagaimana rasanya mencium wanita itu hingga kehabisan nafas, “Saya belum memiliki wanita manapun apalagi dekat, kecuali dengan sekretaris saya.”
Alis Dista terangkat, “Sekretaris?”
“Iya, kamu.”
“Maksudnya.”
Bibir Brian terangkat, namun tanpa senyum, “Kamu punya pacar?” Tanya Brian.
“Enggak ada.”
Sever membawa hidangan mereka, Brian tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada server. Distal menatap fettucine short ribs yang sang at menggugah selera.
“Terakhir kamu kapan pacaran?” Tanya Brian, ia mengambil garpu dan memakannya.
“Terakhir sekitar tahun lalu.”
“Sama bule?” Tanya Brian penasaran.
Dista tersenyum dan mengangguk, “Kok, kamu tau?”
“Kelihatan kok, mana yang terbiasa pacaran sama bule dan nggak,” ucap Brian.
“Kenapa putus?” Tanya Brian lagi.
“Ya putus gitu aja sih, sekarang sudah pulang ke Prancis. Sekitar satu tahun yang lalu. Semenjak itu saya nggak pacaran lagi,” Dista memasukan pasta itu ke dalam mulutnya dan ia makan dengan tenang.
“Cukup lama ya kamu jomblo?”
“Iya lumayan,” ucap Dista.
Brian memandang Dista lagi, “Bagaimana kamu bisa memilih pacaran dengan bule?” Tanya Brian penasaran.
Dista tertawa, ia melirik Brian, “Karena saya tidak pernah beruntung kalau pacaran dengan pria lokal. Biasa bule itu lebih open minded, tidak suka mengungkit masa lalu, dan lebih ekspresif menyampaikan perasaannya.”
“I see, bagaimana sifat mereka?” Tanya Brian, ia ingin tahu percintaan Dista seperti apa.
“Saya pernah beberapa kali pacaran dengan bule hampir semua dari Prancis. Rata-rata mereka keturuan Yahudi. Konsep pacaran mereka seperti pacaran pada umumnya. Temanan, PDKT lalu pacaran. Rata-rata mereka menyenangkan, walau akhirnya kandas,” Dista terkekeh.
“Sebenarnya batas teman dan pacar itu beda tipis bagi orang Prancis. Mereka itu bukan orang yang suka meresmikan sebuah hubungan. Pergi menghabiskan berdua, kalau sudah nyaman yaudah posting ke media social, lalu berlanjut hubungan keluarga.”
“Mereka suka wanita yang natural tanpa sapuan makeup tebal seperti contouring, alis cetar atau bulu mata palsu, no untuk mereka. Saya pernah dandan lima menit, mantan saya dulu sudah protes. Berbeda sekali dengan orang Indonesia kecantikan sebagai kriteria utama. Bagi mereka, wanita cantik tidak akan menarik jika pikiran dan pengetahuannya terlalu dangkal.”
“Tidak perlu resmi menikah, nggak masalah bagi mereka. Menikah tidak mengaransi stabilitas rumah tangga karena banyak yang bercerai dan juga tidak menjanjikan kesetiaan.”
“Perawan dan tidak mereka tidak masalah. Masalah seksualitas adalah sesuatu yang lebih dirasakan daripada dipertanyakan. Mereka tidak marah jika kita tidak ingin tidur dengannya. Tapi sayangnya mereka kebanyakan mencari tahu apakah mereka cocok di ranjang atau tidak. Mereka perlu diyakini melalui kepiawaian di ranjang.”
“Satu hal lagi, katanya stereotif yang menempel di orang Prancis itu romantis. Tapi saya belum menemukannya.”
Brian meneguk bir nya memandang Dista, “Kamu pasti sangat piawai di ranjang.”
Dista tertawa, “Sok tau.”
“Itu kamu cerita, kalau bule perlu diyakini melalui kepiawaian di ranjang. Hampir semua mantan kamu bule. Berarti kamu sudah terbiasa.”
Dista kembali tertawa, ia menyesap bir nya, “Enggak juga sih. Tapi setidaknya saya bukan jenis wanita kaku kalau di ranjang.”
“Really?”
“Yes.”
“Bagaimana kalau kita mencobanya.”
“No.”
“Why?”
“Kamu bukan pacar saya.”
“Yaudah kalau gitu kita pacaran.”
***