4. Meminta Bantuan Karin
Dadanya berdegup kencang, tangannya pun berkeringat. Belum pernah dia membohongi ayahnya untuk hal sepelik ini.
Risti masuk ke ruangannya dengan malas duduk bersandar di kursi, memikirkan ucapan ayahnya barusan dan bagaimana nanti hari sabtu? Risti memutar otak, menggigit kukunya tanda saat ini dia sedang resah. Dia harus minta tolong siapa untuk menjadi pacar sementaranya. Membayar orang pun tak apa. Asal ia diselamatkan dari perjodohan dengan Munos. Mantannya terdahulu.
"Karin, bisa ke ruangan gue!" panggil Risti dari sambungan telepon
Karin adalah sekretaris Risti, sekaligus teman baik Risti sejak masih SMA. Semua urusan kantor dan pribadi Risti, diketahui dengan baik oleh Karin. Begitu pun juga sebaliknya.
Tok..tok..
"Masuk!"
"Yes bos" jawab Karin, sambil tersenyum manis mendekati kursi Risti.
"Ada apa muka lo asem banget, persisi bapake tadi?" tanya Karin heran dengan wajah temannya yang ditekuk.
"Gue bingung nih, pagi-pagi dipanggil ke ruangannya, kirain mau kangen-kangenan. Eh, malah mau jodohin gue dengan Munos."
"What??are you serious?" Karin terbelalak mendengar ucapan Risti.
"CLBK dong, namanya. Cinta lama belum ke pelaminan." Ledek Karin disertai tawa renyahnya.
"Wah...beruntung banget sih lu Mak...udah, bungkuuusss aja, bungkuusss." tawa Karin.
"Ogaaaahh, kapok pokoknya. Plis Karin bantuin gue dong, minta tolong siapa kek bantuin gue."
"Mmmm...maksud lo, cuma buat sementara, pura-pura gitu." Kening Karin nampak berkerut, coba mencerna ucapan Risti barusan.
"Iyalah, masa untuk selamanya. Yah, kecuali cocok sama selera gue sih. Ya bolehlah lanjut hingga kakek dan nenek." Sahut Risti sambil terkekeh. Sambil membetulkan letak bros yang tersemat pada blazernya.
"Kalau Rio, bagaimana?"
"Ga ah, males cowok tampan tapi matre males gue berurusan dengan dia lagi."
"Oke..sebentar. Mmm...siapa yaa?haaa... bagaimana kalau minta tolong Haris?" ucap Karin antusias. Haris adalah lelaki mapan yang pernah sebentar dekat dengan Risti.
"No way, gue kenal orangtuanya, nanti urusan jadi tambah ribet." Sahut Risti sambil menggelengkan kepalanya keras.
"Aduh sakit kepala gue" gerutu Risti sambil memijat kepalanya.
Diusia Risti yang sudah 29 tahun segalanya telah ia miliki, rumah, mobil, pendidikan dan karir yang cemerlang, sering bepergian keluar negeri, mempunyai banyak teman dan disayang banget sama ayahnya karena Risti anak tunggal. Wajahnya yang cantik,tinggi dan berkulit sawo matang membuat banyak yang tergila-gila padanya, namun tak ada yang berani mendekati karena status sosialnya.
"Pokoknya lu harus bantuin gue rin, besok sudah harus dapat orangnya"
"Lha..dimana nyari sukarelawan pacar pura-pura sekilat itu ibu bos." Karin kebingungan.
"Ga tau deh, pokoknya cari yang biasa-biasa aja, ga terlalu hits, ga usah cakep-cakep amat, gawat kalau gue sampe naksir beneran." kekeh Risti
"Serius, lo. Mau nyari yang model begitu?"
"Iya sengaja, biar ga tambah ribet cari yang adem ayem dan ga banyak bicara."
"Hadeehh...lu yang mau dikawinin, kenapa gue yang ikutan pusing?" gerutu Karin lalu keluar dari ruangan Risti.
****
"Lala..Lulu.."panggil seseorang lelaki muda kepada adik kembarnya.
"Ya Mas.."mereka menjawab bersamaan saat tengah asik main di teras depan rumahnya.
"Mas bambang berangkat dulu ya, telor ceplok dan sayur sopnya sudah mas taruh di meja, jangan lupa seragam sekolah hari ini ada di atas kasur, jangan nakal, kalau butuh sesuatu bilang sama bude Yati ya." Bambang mengingatkan adik kembarnya.
"Siap bos." jawab mereka serentak.
Bambang, nama lelaki muda ini begitu singkat. Persis seperti adik kembarnya yang bernama, Lala dan Lulu. tanpa ada embel-embel nama belakang.
Bambang berusia 23 tahun lulusan STM, Sejak orangtuanya meninggal Bambang mengurus kedua adik kembarnya yang berusia 8 tahun yang sedang duduk di kelas dua sekolah dasar, Bambang bekerja di salah satu percetakan di Jakarta timur. Bambang terkenal pemalu, sehingga ia tak banyak bicara dengan teman-teman wanita di tempat kerjanya, namun ia adalah salah satu orang kepercayaan owner percetakan karena begitu lihai dalam hal mendesain.
Lala dan Lulu bersiap berangkat ke sekolah setelah mandi dan makan siang , sepekan ini sekolah mereka masuk siang. Sekolah mereka pun tak jauh dari rumah kurang lebih 600 meter saja, namun mereka harus menyebrang jalan raya untuk dapat sampai di sekolah mereka. Lala dan Lulu anak yang mandiri sehingga Bambang tak terlalu khawatir dengan keadaan mereka.
"Ayo, La!mumpung lampu merah." ajak Lulu kepada Lala, sambil menarik tangan kembarannya. Kini mereka sudah saling berpegangan tangan.
Siap-siap menyebrang. Baru dua langkah, tiba-tiba.
Ttiiiiiiinn.......bruuuukk...
"Aaaaaaaarrhh" pekik Lala sebelum akhirnya terhempas di aspal jalan.
Lulu terdiam, kaget. Kemudian berteriak minta tolong sambil menangis kencang.
"Tolooong...Lalaa.....Lalaa...tolong." pengendara motor tersebut turun dari motornya dan membopong Lala kepinggir jalan. Lulu menyusul langkah orang tersebut sambil menangis ketakutan.
Orang-orang sudah berkumpul di depan mengamati luka di kepala Lala yang cukup serius. Lalu ada yang memberikan minum kepada Lulu juga Lala, namun sepertinya Lala pingsan.
Karena kejadian tidak jauh dari rumah mereka, bude Yati tetangga mereka ikut melihat kegaduhan di depan jalan raya. Betapa terkejutnya bude Yati karena korban tabrakan itu adalah Lala dan Lulu. Yatim piatu tetangganya, bude Yati berteriak.
"Tolong Pak, Bu ini tetangga saya anak yatim piatu, cepat bawa ke rumah sakit." pinta bude Yati dengan memelas dan gemetar.
Si pengendara motor menyetop taksi dan pergi meninggalkan motornya yang telah dipinggirkannya di bawah pohon dekat lampu merah. Dia melepas helemnya dan mencabut kunci motor.
****
"Hallo, Rin! apa? lo nabrak anak SD?"
Risti kaget, mendengar ucapan Kari di seberang telepon sana. Seketika lututnya lemas, dia hari ini ada meeting penting dan bahannya ada pada Karin semua. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah semoga masalah ini tidak lari ke kepolisian, bisa semakin runyam urusan. Risti bermonolog.
"Ya ampun Karin, tapi lo ga papa kan? trus anak SD nya bagaimana?"
"Ga papa gue mah, ini anak SD nya pingsan dan luka kepalanya cukup serius , sekarang gue lagi di Rumah Sakit XXX. Sorry kayaknya gue ga bisa ikut meeting hari ini." ucap Karin lemah, tersirat sedikit ketakutan disana.
"Oke, lo tenang aja ntar gue kesana, meeting hari ini kita tunda, ntar urusan gue gimana bilangnya ke pihak investor."Risti mencoba menenangkan kepanikan temannya. Sekaligus menenangkan hatinya yang mendadak berdebar.
Bambang yang mendengar kabar Lala ditabrak, langsung melajukan motornya dengan kencang menuju rumah sakit XXX.
Bude Yati memeluk Lulu dengan wajah khawatir, sambil menunggu kedatangan Bambang.
Sedangkan Karin masih tertunduk lemas, menyesali kecerobohannya hendak menerobos lampu merah. Ia tidak memperhatikan ada dua anak sekolah yang akan melintas.
Bambang yang telah sampai di parkiran rumah sakit,turun dengan berlari menuju UGD untuk melihat keadaan Lala yang masih pingsan.
"Bambang..." panggil Bude
"Bude, bagaimana ceritanya sampe Lala ketabrak gini?" Bambang gemetar panik akan hal buruk terjadi pada adiknya.
"Wanita itu yang melakukannya." bude menunjuk Karin,
Karin tersadar sorot mata penuh amarah sedang menatapnya, Karin bangun dari duduknya dan menghampiri Bambang.
"Maafkan saya mas, saya ceroboh. tapi saya janji akan tanggung semua biaya pengobatan adiknya mas." ucap Karin sedikit gugup.
"Kalau adik saya kenapa-napa kamu yang harus tanggung jawab sampai selesai." dengan nada kesal bercampur amarah.
Karin menatap sekilas lelaki muda dihadapannya, wajah lelaki biasa berkulit coklat dengan kacamata membingkai kedua bola matanya. Daaann sepertinya masih sangat muda.
"Mba...ada apa liatin saya?" sadar akan diperhatikan oleh Karin.
"Oohh..eehh ga papa mas," Karin menunduk kembali.
"Iya hallo Ris, gue di UGD." Karin menerima telepon dari Risti.
Risti langsung berjalan menuju UGD. Semua yang melihatnya terpana. Cewek cantik, tinggi, berkaca mata hitam, rambut panjang tergerai dengan mengenakan stelan blazer pink dan celana bahan berwarna coklat susu.
Karin memperhatikan kedatangan teman sekaligus bosnya ini seperti sedang melihat artis yang sedang jadi tontonan, "Dasaaarr tukang tebar pesona." gumam Karin sambil tersenyum sinis.
"Rin, lo ga papa? trus anaknya SD nya gimana?" tanya Risti khawatir.
"Gue ga papa Ris, cuma anak yang gue tabrak belum sadar." jawab Karin lemas.
Bambang cuek tanpa memperhatikan kedatangan Risti. Ia masih sibuk menenangkan Lulu yang masih syok, beruntung Lulu hanya mengalami luka lecet di tangan dan kakinya.
"Bude, saya minta tolong, Lulu dibawa pulang saja biar istirahat,saya yang akan disini menjaga Lala"
"Lulu pulang sama bude ya, hati-hati,"Bambang memeluk erat Lulu dan memberikan 2 lembar uang lima puluh ribuan untuk ongkos bude Yati.
Risti melirik lelaki muda disana.
"Itu siapanya?"tanya Risti berbisik.
"Itu kakaknya."
Bambang melihat sekilas ke arah Risti dan Karin, lalu menunduk kembali tanpa mempedulikan mereka.
"What??gue di cuekin, " mata Risti ga percaya menatap lelaki muda itu tidak terpana oleh dirinya.
"Ayolah bu bos, masa di rumah sakit lu mau tebar pesona juga sih."gerutu Karin.
"Serius Rin, baru kali ini ada cowo yang liat gue, cuek gitu."
"Kepedean lu ah, udah tua juga." umpat Karin kesal.
"Keluarga anak Lala." panggil dokter yang keluar dari UGD.
"Ya, saya kakaknya dok."
Risti dan Karin ikut menghampiri Bambang.
"Alhamdulillah pendarahan di kepalanya sudah berhenti, hanya saja..." dokter menarik nafas dalam sebelum melanjutkan penjelasannya.
"Kenapa dok adik saya?" Bambang tambah gemetar begitu juga Karin dan Risti.
"Anak Lala masih belum sadar, harus ditempatkan di ruang intensif." lanjut dokter.
"Baik dok, lakukan yang terbaik untuk adik saya, saya tidak ingin sampai, terjadi sesuatu hal buruk pada adik saya." Suara Bambang terdengar begitu memohon, bahkan tanpa diketahui oleh orang-orang sekitarnya. Bambang kini sedang berusaha kuat, menahan air matanya yang sebentar lagi akan terjun bebas membasahi kedua pipinya.
"Maaf mas, silahkan urus administrasi dulu." kata seorang perawat.
"Maaf sus, dimana ruangannya?"potong Risti cepat.
"Riiiss..." panggil Karin.
"Udah lu tenang aja biar gue yang urus"
Bambang memperhatikan dua wanita di depannya, dengan tatapan penuh tanda tanya.