2. Dicopet
Wanita berparas cantik nan anggun itu, masih duduk manis di kursi kebanggaannya. Blazer ungu terong yang ia pakai hari ini sudah ia tanggalkan. Menyisakan kemeja putih berlengan pendek serta celana rok sepan di bawah lutut. Kakinya menyilang, punggungnya ia letakkan santai bersandar pada kursi kebanggaannya. Mata bulat dengan bulu mata lentik itu, tengah memandang wajah ibu kota di malam hari. Lampu berkelap-kelip, membiaskan cahaya pada malam hari yang kian beranjak larut. Gedung-gedung menjulang tinggi, tampak begitu kokoh terkena sorot cahaya lampu malam dan sinar rembulan.
Risti melirik jam tangannya, sudah pukul sembilan malam. Dia baru saja selesai meeting didampingi sekretaris sekaligus sahabatnya, Karin. Entah kenapa malam ini, kedua kakinya begitu enggan ia langkahkan untuk pulang ke apartemen. Karyawan yang lain telah lama pulang, karena memang jam kerja karyawan Risti adalah mulai pukul delapan pagi sampai dengan pukul enam sore. Kalaupun lembur, paling malam, hanya sampai jam delapan.
Di kantor hanya tersisa Risti, Karin dan dua orang office boy yang sedang bersih-bersih lantai lima belas, tepat ruangan Risti berada.
"Wooy...ngelamun!" Karin masuk ke dalam ruangan Risti, mengagetkan sahabatnya.
"Kaget gue!" Risti terperanjak mengusap dadanya.
"Pulang yuk!"
"Males nih! lu balik duluan deh." Risti mencebikkan bibirnya, dia bangun dari dudukya kemudian berjalan ke arah sofa, dimana Karin sedang duduk manis disana.
"Tumben, lagi ada masalah?" Tanya Karin sedikit penasaran. Meletakkan ponsel yang ia pegang, di atas meja.
"Iya, gue ada masalah."
"Masalah apa, cerita dong ke gue. Kali aja gue bisa kasih solusi." Karin tersenyum manis pada Risti.
"Kayaknya cerita ke lo bukan solusi deh, soalnya lo juga sama kayak gue, jomblo lumutan!"
"Sok tahu lo! Orang gue sikat tiap hari, ga bakal lumutanlah, emangnya lo?"
"Lha sama gue juga. Biar kata umur hampir expired, tetap masih virgin sis."
Keduanya terlibat obrolan seru, tertawa terpingkal-pingkal hingga melupakan waktu yang sudah naik ke angka sepuluh malam. Risti dan Karin begitu dekat, hingga jika keduanya sedang jalan bersama. Mereka sering disebut seperti adik kakak. Sama-sama cantik, berprestasi dan berasal dari keluarga baik-baik. Hanya satu kekurangan mereka, yaitu sama-sama jomblo akut. Terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak ingat akan umur yang semakin beranjak matang.
"Gue balik duluan ya. Udah malam banget ini. Lu enak naik mobil sedan, lha gue bawa motor, serem kalau terlalu malam."
"Lu nginep di apertemen gue aja yuk!" Ajak Risti pada sahabatnya.
"Gak, ah. Kasian emak gue. Sendirian di rumah. Ya udah gue cabut dulu ya!"
"Ya udah hati-hati!"
Karin keluar dari ruangan sahabatnya. Kakinya melangkah menuju meja kerjanya dan membuka laci meja. Karin mengambil tas yang ia simpan disana.
Kini Risti benar-benar sendiri. Sebenarnya sudah mulai jenuh dengan aktifitas seperti ini terus. Ia juga ingin merasai nikmatnya mengurus rumah tangga. Namun, saat ini statusnya tidak punya pacar dan tidak sedang dekat dengan siapapun. Ada sih, seorang lelaki yang terus saja mengemis maaf dan meminta balikan padanya, namun ia enggan. Lelaki bermulut kasar dan terlalu posesif tidak cocok dengan dirinya yang punya mobilitas tinggi terhadap perusahaan. Diliriknya kembali ponsel yang berbunyi pesan di atas mejanya. Kakinya melangkah mendekati meja, lalu mengambil ponsel tersebut. Dengan membentuk pola pada layar, ia mulai membaca pesan yang masuk satu persatu.
Ayah
Besok ayah balik dari Thailand, segera temui ayah. ada yang harus ayah bicarakan padamu.
Risti memutar bola mata malasnya. Pasti ayahnya ingin kembali menjodohkannya dengan Munos. Anak dari relasi ayahnya, seorang bos properti dan hotel di Jakarta. Padahal berulang kali Risti menjelaskan bahwa dia dan Munos tidak memiliki hubungan apa-apa lagi.
Risti mengetik balasan 'Oke' lalu ia kirimkan pada ayahnya. Jemari lentiknya memasukkan kembali ponsel tersebut ke dalam tasnya. Lalu dengan lunglai tidak bersemangat, tangannya mengambil blazer ungu yang ia sampirkan di kepala kursinya. Berjalan keluar dari ruangannya menuju parkiran basement.
Dengan kecepatan sedang ia mengemudikan mobil mewahnya. Jalanan ibu kota sudah lebih longgar, meskipun masih terlihat penuh. Namun, kendaraan bisa melaju dengan cukup lancar. Banyak sekali pedagang di malam hari, di sepanjang jalan yang dilalui olehnya. Risti memperhatikan tukang gerobak ketroprak malam. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa lapar.
Sudah terlewat cukup jauh namun ia memutar arah balik mobilnya. Menuju penjual ketoprak malam yang lumayan penuh ditunggui dengan pembeli. Risti menepikan mobilnya dengan perlahan. Saat dirasa sudah pas, ia mematikan mesin mobilnya, lalu berjalan keluar dari mobil. Tak lupa ia menguci mobilnya dengan kunci alaram otomatis.
"Ketoprak satu ya, Kang. Pedas!" Ucapnya pada penjual ketoprak yang tengah sibuk meratakan kacang tumbuk dengan cabe rawit dan gula jawa.
Penjual itu menoleh pada Risti lalu mengangguk. "Siap, Neng. Tungguin ya. Masih antri!" Risti mundur beberapa langkah. Menempati kursi plastik yang kosong. Masih ada tiga orang antrian lagi, sebelum pesenan Risti dibuat. Menunggu selama lima belas menit, sebenarnya membuatnya begitu jenuh. Namun apalah daya, dia sangat menginginkan ketoprak malam tersebut.
Setelah membayar sejumlah uang kepada penjual, Risti memegang erat kembali dompet panjang miliknya. Tangan kananya menenteng bungkusan ketoprak malam.
Buuggh...
"Aauu..." pekik Risti sakit bercampur kaget. Dompet yang pegang telah dirampas seseorang bermotor.
"Eh, copeeet!" Teriak Risti sangat kencang, membuat orang-orang yang tidak jauh dari sana menghampiri Risti. Empat orang laki-laki mengejar copet tersebut bersama dirinya.
"Semua berteriak copet,copet!" Risti tidak yakin bisa mendapatkan dompetnya kembali, namun ia harus berusaha terlebih dahulu.
Seorang pria dengan motor bebek jadul, menghampiri beberapa bapak-bapak yang tegah berlari mengejar pencopet yang semakin menjauh. Lalu dengan secepat kilat motor bebek tersebut mengejar pelaku pencopetan.
Risti sudah tak mampu ikut mengejar lagi, ia sudah sangat kelelahan. Nafasnya pun tersengal. Bajunya juga basah penuh keringat. Ia terduduk di depan teras ruko yan sudah tutup. Pasrah akan kehilangan semuakartu identitas diri, baik KTP, SIM, STNK, kartu asuransi kesehatan dan beberapa ATM serta kartu kredit yang berada di dalam dompet tersebut. Ia tidak menghiraukan uang yang diambil dalam dompetnya, karena memang ia tidak pernah membawa uang lebih dari lima ratus ribu setiap harinya. Ia hanya khawatir pada semua kartu sakti yang ada disana. Betapa rumitnya nanti ia mengurus semua administrasi kehilangan dan mengurus kartu yang baru.
Tiga orang bapak menghampiri Risti dengan wajah pasrah dan nafas yang juga sama tersengal seperti dirinya.
"Maaf, Neng. Kami tidak bisa mengejar copetnya!" Ucap seorang bapak sambil ikut membungkukkan badannya.
"Tapi anak muda tadi ikut ngejar sih. Mudah-mudahan aja dapat ya!"
"Terimakasih banyak, Pak. Maaf, bapak-bapak jadi kecepekan mengejar copet. Terimakasih sekali lagi." Ucap Risti tulus sambil berusaha melengkungkan garis tipis di bibirnya.
Deru suara motor menghampiri tempat Risti dan bapak-bapak tadi melepas lelah. Seorang lelaki dengan memakai helem hitam yang sudah hampir lepas face beningnya, menghampiri mereka. Ia turun dari motor, terlihat pemandangan celana panjang bahannya robek di bagian lutut. Sepertinya ia terjatuh dari motor. Pada bagian pahanya juga terlihat kotor oleh
pasir aspal.
"Bu, ini dompetnya bukan?" Lelaki itu menyerahkan dompet panjang bahan kulit ular itu kepada Risti.
"Ya Allah, Mas. Bener ini! Terimakasih banyak, Mas!" Risti menerima dengan cepat. Lalu membuka isinya. Masih ada dua lembar uang merah disana, padahal sebelumnya ada lima lembar.
"Utuh semua, Bu?" Tanyanya lagi, tanpa membuka helem dan juga maskernya.
"Kartunya hilang satu Mas, uangnya hilang tiga lembar. Tapi ga papa."
"Alhamdulillah." Ucap orang-orang yang berada di dekat Risti.
"Mas ga papa, celananya sampe sobek gitu!" Risti memperhatikan penampilan lelaki itu dari ujung sendal jepit sampai ujung helemnya.
"Ga papa, Bu. Saya pamit kalau gitu!"
"Eh...tunggu, Mas!" Risti meghentikan langkah anak muda tersebut dengan teriakanya.
"Ada apa, Bu?" Tanya lelaki muda itu terheran.
"Saya belum punya anak Mas, menikah aja belum!"
"Oh, maaf. Teh. Saya kira tadi ibu-ibu. Maaf Teh!"
Rasti menghela nafas panjang. "Ga papa, Mas. Ini ambil! Sebagai ucapan terimakasih saya!" Risti menyerahkan dua lembar uang merah tadi kepada anak muda yang telah menolongnya. Beberapa kali Risti menyipitkan matanya, untuk melihat jelas wajah lelaki tersebut. Namun tidak bisa. Karena cahaya lampu jalan begitu redup.
"Saya ikhlas, Teh. Makasih!" Sahutnya sambil tersenyum, lalu membalikkan tubuhnya berjalan ke arah motornya. Risti setengah berlari menyusul lelaki tersebut.
"Ini, Mas. Ga boleh nolak rezeki!" Risti memasukkan dua lembar uang merah tersebut dengan cepat ke dalam kantong jaket milik lelaki tersebut. Tanpa bisa dicegah, langkah kaki Risti sudah berlari menjauh, mendekati mobilnya. Lelaki itu mengeluarkan uang tersebut dari dalam kantong, menatapnya lalu tersenyum tipis. Mengucap alhamdulillah dalam hati. Uang itu ia masukkan kembali ke dalam kantong celana panjangnya. Sorot netra lelaki muda itu masih memandang mobil wanita cantik tadi yang berlalu tepat di depannya.
****