Takut
Rentenir vs hantu
Part 4
***
Lama diri ini menunggu sambil menajamkan telinga, barangkali saja aku salah dengar. Tapi ternyata telingaku masih normal. Suara langkah kaki itu masih saja terdengar. Aku makin merasa ketakutan. Tak pernah aku merasakan hal seperti ini sebelumnya, merasa takut di dalam rumah sendiri.
Aku bernapas dengan lega, saat suara langkah kaki itu akhirnya tak terdengar lagi. Perlahan aku membuka selimut yang menutupi wajah, bermaksud akan pergi ke kamar mandi karena menahan pipis sejak tadi.
Namun, saat akan bangkit dari tidur, tiba-tiba aku melihat sosok tinggi besar hitam di atasku. Lampu kamar yang semula terang benderang, tiba-tiba menjadi gelap.
Napasku terasa sangat sesak, sosok itu seperti mencekik leher begitu kencangnya. Dengan sekuat tenaga, aku berusaha untuk melepaskan cekikan makhluk yang entah apa namanya itu, dan alhamdulillah berhasil.
Sosok hitam tinggi besar itu menghilang, dan lampu kamar pun kemudian kembali terlihat sehingga keadaan kamar tidurku kembali terang benderang.
Dengan napas yang masih tersengal-sengal, perlahan aku bangun dari tidur lalu duduk di tepi ranjang. Seluruh badan ini basah kuyup oleh keringat. Aku mengatur napas agar lebih tenang.
Aku kemudian turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu, bermaksud akan mengambil air minum, karena tenggorokanku rasanya sangat kering.
Namun, betapa terkejutnya saat diri ini membuka pintu kamar. Ada sesosok makhluk menyeramkan yang entah apa namanya, sedang berada di dapur (dapur di dalam rumah kami adalah dapur terbuka yang langsung menyatu dengan ruang makan, jadi akan terlihat langsung dari dalam kamar jika pintunya terbuka)
Sejenak aku terkesiap, mataku hanya bisa memandang ke arah dapur tanpa bisa berkata-kata, mulut seakan terkunci. Lututku gemetar, lemas seakan tak bertulang. Degup jantung yang semula sudah mulai tenang, kembali berdetak tak karuan.
Dalam hati sebenarnya aku ingin sekali memejamkan mata, tapi entah kenapa mataku tak mau terpejam, bahkan terus saja melihat ke arah dapur tanpa berkedip.
Beberapa saat kemudian pandanganku kabur, saat makhluk menyeramkan itu perlahan membalikan badannya ke arahku.
***
Aku terbangun saat sayup-sayup mendengar suara azan subuh berkumandang dari toa masjid. Perlahan aku membuka mata. Sejenak diri ini merasa heran, kenapa aku bisa tidur di lantai depan pintu kamar.
Pelan-pelan aku bangun lantas duduk, kepala terasa agak pusing. Aku mencoba mengingat kembali apa yang telah terjadi semalam. Rupanya aku pingsan tadi malam.
Aku bergidik saat teringat ada sesosok makhluk menyeramkan yang entah apa namanya berada di dapur. Segera aku bangkit dari duduk dan mengambil air wudu lalu mengerjakan salat subuh.
Saat akan mengeluarkan sepeda motor untuk berangkat ke puskesmas, Parto sudah ada di depan pintu. Betul-betul rentenir satu ini tak kenal waktu saat menagih, aku membatin.
"Sudah ada belum uangnya, Bu?" tanya Parto tanpa basa basi, begitu sepeda motorku sudah ada di luar.
"Maaf, Mas. Belum ada."
"Jadi kapan bisa bayarnya?"
"Bulan depan," kataku mantap, karena merasa yakin akan bisa mendapatkan uang.
Bukankah kemarin aku sudah minta tolong Abah Reza, agar diberikan penglaris dan katanya tak akan sampai sebulan aku sudah bisa mempunyai banyak uang.
"Betul ya, jangan mundur lagi. Uang itu mau saya putar lagi, ada yang mau pinjam," kata Parto sebelum akhirnya pergi dari halaman rumahku.
Aku diam saja, tak mau lagi menanggapi. Kulihat beberapa orang tetangga yang sedang berada di luar rumah mereka, sedang memperhatikan kami. Bukan suatu rahasia lagi, kalau Parto memang seorang lintah darat.
***
Sesampainya di puskesmas, aku langsung menceritakan semua kejadian yang kualami tadi malam pada Tina.
"Hampir mati aku dicekik sama makhluk menyeramkan itu, Tin. Selama menempati rumah kami, nggak pernah sekali pun ada kejadian mengerikan kayak tadi malam. Apa mungkin itu makhluk kiriman Abah Reza ya," kataku.
"Coba saja kamu telepon dia, Kak," usul Tina.
"Nanti saja waktu jam istirahat, jadi nggak ada pasien," kataku.
Di dalam ruangan KIA memang hanya ada kami berdua, aku dan Tina. Kami termasuk bidan senior di puskesmas.
Saat jam istirahat tiba, aku segera menghubungi nomor telepon Abah Reza. Aku kemudian menceritakan apa yang terjadi tadi malam. Dia bilang kalau makhluk menyeramkan itu memang peliharaannya, membuatku sangat terkejut tentu saja.
"Nggak apa-apa, Bu. Sengaja Abah kirim ke sana untuk menjaga rumah Ibu," kata Abah Reza di seberang telepon.
Aku diam saja, pikiranku kacau. Apa aku akan sanggup jika
setiap saat harus melihat makhluk menyeramkan itu. Kok bisa Abah Reza bilang kalau makhluk itu sengaja dia kirim untuk menjaga rumah, padahal tadi malam makhluk itu hampir saja membunuhku.
"Oh … gitu ya, Bah. Ya sudah atuh kalau itu memang kiriman Abah untuk jaga rumah saya," akhirnya hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku, sebelum mengakhiri percakapan dengan Abah Reza.
"Serem amat ya, masa harus hidup bareng sama makhluk kayak gitu dalam satu rumah?" gumamku, lebih tepat ditujukan untuk diri sendiri.
"Kan nggak selamanya, Kak. Kalau utangmu udah selesai, mungkin makhluk menyeramkan akan diambil lagi oleh Abah Reza," kata Tina.
***
Pulang dari puskesmas, aku langsung ke butik, menanyakan pada Asih bagaimana penjualan barang. Jawaban Asih membuatku kecewa, karena tak ada perubahan, butik masih tetap sepi.
Tak lama berselang, Agung dan Melda datang, masih mengenakan seragam sekolah mereka. Kucium dan kupeluk mereka berdua kangen sekali rasanya.
"Mah, minggu depan Agung ujian, doakan ya biar bisa masuk universitas negeri," katanya sambil mencium tanganku.
"Iya, Sayang. Mamah doakan kamu bisa mengikuti ujian dengan mudah dan lancar. Kamu juga bisa masuk universitas negeri yang kamu impikan," kataku sambil memeluknya erat.
Ada bulir air mata yang menetes di kedua pipiku. Perasaan sedih yang sangat menusuk hati. Melihatku menangis, Agung dan Melda pun ikut menangis. Kami bertiga lalu menangis sambil berpelukan, melepaskan semua kesedihan yang tak bisa diungkapkan.
Setelah puas melepas kangen dengan kedua buah hatiku, aku kemudian pulang. Agung harus berangkat les untuk persiapan ujian minggu depan dan Melda harus tidur siang. Anak itu memang selalu tidur siang, sepulangnya dari sekolah.
Tiba di rumah, ada perasaan yang berbeda. Tak seperti sebelumnya, begitu sampai rumah aku langsung berganti pakaian dan istirahat siang. Namun, kali ini seperti ada sesuatu. Seakan ada sepasang mata yang mengawasi setiap gerak gerikku.
Ada rasa was-was di dalam hati. Bergegas aku menuju ke kamar, bermaksud hendak berganti pakaian, tapi ketika akan membuka pintunya, seperti ada sebuah tangan yang menyentuh pundakku dari arah belakang.
Spontan aku terkejut dan berteriak, kemudian memalingkan wajah ke belakang, tapi tak ada siapa pun. Akh … mungkin hanya perasaanku saja, begitu pikirku.
***
Menjelang magrib Mas Iwan pulang. Saat masuk ke kamar tidur kami, dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Entah apa yang dicari dan dilihatnya.
"Kenapa, Pah?" tanyaku yang merasa aneh dengan tingkahnya.
"Seperti ada sesuatu, tapi entah apa," jawab suamiku, sambil masih saja mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar.
"Sesuatu apa maksudnya?" tanyaku mulai merasa khawatir.
Jangan-jangan suamiku merasakan adanya makhluk yang menyeramkan itu, kiriman Abah Reza di rumah kami. Aku membatin.
"Nggak tahu apa itu, tapi suasana dalam kamar ini seperti yang berbeda, nggak seperti biasanya. Tadi waktu masuk rumah juga agak lain rasanya, padahal baru semalam aku nggak pulang," kata suamiku dengan wajah yang menyiratkan rasa bingung.
Aku diam saja, tak berani juga aku bercerita pada Mas Iwan, tentang apa yang aku alami malam sebelumnya.
Sekitar jam sembilan kami beranjak tidur. Aku terbangun dengan sangat kaget karena merasakan sakit di tangan sebelah kiri. Ternyata tangan suamiku yang memegangi tanganku dengan begitu kencangnya.
Kualihkan pandangan ke arah Mas Iwan. Dia terlihat sedang berusaha untuk bernapas, seperti orang yang sesak napas.
Aku segera bangun dan duduk di samping suamiku. Aku berusaha membangunkannya dengan sekuat tenaga, sampai akhirnya dia membuka mata dan terbangun dengan napas yang terengah-engah.
Bergegas aku pergi ke dapur untuk mengambil segelas air minum lalu memberikannya pada suamiku.
"Astaghfirullahaladziim … aku mimpi buruk," katanya, setelah air bening dalam gelas yang kuberikan diminumnya sampai habis tak bersisa.
Dia kemudian membuka lemari baju dan berganti pakaian yang basah oleh keringat. Kulihat jam di dinding, pukul satu tengah malam, sama seperti malam saat aku mengalami hal serupa.
Kami kemudian kembali tidur.
***
Satu minggu telah berlalu. Tetap tak ada perubahan, uang yang dijanjikan oleh Abah Reza, tak juga datang. Pasien dan butikku tetap saja sepi pengunjung.
Selama satu minggu berturut-turut, Mas Iwan mengalami hal yang sama setiap malam. Akhirnya, dia memutuskan untuk tinggal di rumah orang tuanya bersama kedua anak kami. Dia bilang tak mau mati konyol, dan aku memakluminya.
Di puskesmas, Tina sudah menagih uang bunga sepuluh persen yang kupinjam. Kuberikan uang 1,3 juta padanya dengan berat hati, padahal keuntungan yang dijanjikan belum didapat, tapi aku tetap harus membayar.
Hingga satu bulan berlalu, masih belum ada perubahan. Aku hanya sanggup membayar dua kali uang bunga pinjaman dari Tina, karena aku sudah tak punya uang lagi.
Si pemilik uang itu juga sama seperti Parto, dia datang menagih di puskesmas, di butik, di rumah, tak kenal waktu. Benar-benar membuatku pusing dan panik.
Bahkan Tina kemudian berani mengambil barang-barang di butik dengan alasan sebagai potongan bunganya. Tas, sepatu, baju, dia mengambil sesukanya, dan aku tak bisa berbuat apa-apa.
Satu hal yang akhirnya aku tahu, ternyata Tina bukankah teman yang baik. Dia tak peduli aku sedang kesulitan, dia tak mau tahu alasan apa pun. Padahal sebelumnya dia yang mengusulkan untuk meminjam uang sebesar 13 juta rupiah pada rentenir itu.
***
Bersambung