Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Pesan dari Dukun

Rentenir vs hantu

Part 3

***

Keesokan harinya, sepulang dari puskesmas aku langsung ke butik. Lalu menyuruh Asih, karyawan butik, untuk mengambil linggis di bengkel Mas Iwan. Aku juga menyuruhnya untuk sekalian memanggil Sardi, karyawan bengkel suamiku agar datang ke butik.

Meskipun sempat bengong, Asih segera berlalu dari hadapanku menuju ke bengkel. Dia pasti merasa heran dengan apa yang aku perintahkan padanya.

Tak berselang lama, Asih sudah kembali dengan Sardi yang membawa linggis di tangannya.

"Ini linggisnya, Bu," kata Sardi.

"Tolong kamu buatkan lubang di sini, yang kecil saja," kataku padanya sambil menunjuk salah satu sudut ruangan.

Sardi dan Asih saling berpandangan, pasti mereka merasa bingung.

"Jadi keramik ini dibongkar, Bu?" tanya Sardi memastikan kalau dia tak salah dengar, sembari mengerutkan dahi..

Aku mengangguk. "Iya," jawabku singkat.

Aku kemudian duduk sambil melihat ke arah luar, sementara Sardi dan Asih sibuk membongkar keramik di sudut ruangan.

"Sudah selesai, Bu," kata Sardi, beberapa lama kemudian.

Aku bangkit dari duduk dan melihat lubang yang dibuat Sardi.

"Terima kasih, ya," kataku.

Sardi kemudian kembali ke bengkel. Aku segera mengambil kertas yang diberikan oleh Baba kemarin dari dalam tas.

Cepat-cepat aku menguburkan kertas itu di lubang yang telah dibuat Sardi. Asih melihat apa yang aku lakukan dengan tatapan heran, tapi aku tak peduli.

Setelah selesai, aku meminta Asih untuk membersihkan kembali bekas galian itu.

Aku tersenyum puas, membayangkan esok hari butikku akan ramai lagi oleh pembeli, dan utangku pada Parto bisa segera terlunasi.

"Mah, ngapain senyum-senyum sendiri dari tadi?" tanya Melda, yang tiba-tiba sudah duduk di depanku.

Aku tersentak kaget, ternyata aku melamun, sampai tak melihat kedatangan Melda.

"Mana Papah? Kita pulang sekarang yuk?" ajakku.

"Masih di bengkel sama Mas Agung," jawab Melda.

Beberapa menit kemudian, suamiku datang ke butik bersama Agung. Dia memintaku agar pulang terlebih dulu bersama anak-anak, karena masih ada pekerjaan di bengkel yang akan dia selesaikan.

Kami kemudian pulang bertiga. Sambil menyetir, tak henti aku tersenyum, membayangkan sebentar lagi akan punya banyak uang seperti sebelumnya.

Sesampainya di rumah, sudah ada dua orang pasien yang sedang menunggu. Segera aku melayani mereka.

[Wah … ternyata langsung bekerja jimat dari Baba]

***

Malamnya Parto mengirimkan SMS, yang bunyinya membicarakan soal utang beserta bunganya yang harus aku bayar dua minggu lagi. Dengan yakin aku menjawab, akan segera melunasinya, dia tak perlu khawatir.

Satu minggu berlalu. Butik dan pasienku tetap sepi, tak ada perubahan. Aku mulai panik, bingung, dan gelisah.

"Tin, nggak manjur tuh jimat dari Baba, tetap nggak ada perubahan. Butik sama pasienku masih aja sepi," kataku pada Tina, suatu hari.

"Ya sabar dong, Kak. Baru juga sekali datang ke sana. Yuk nanti pulang kerja kita ke sana lagi," ajak Tina bersemangat.

Entah karena bingung atau karena pikiranku yang sudah tak waras, aku mengikuti saja apa yang dikatakan Tina.

Sepulang dari puskesmas, aku dan Tina langsung pergi ke rumah Baba. Kali ini aku tak lagi berganti pakaian, karena waktu pertama datang ke sana pun, aku melihat ada beberapa orang yang masih memakai seragam dinas duduk mengantri.

Ketika tiba giliran kami, aku mengutarakan kegelisahanku pada Baba. Kenapa kunjungan pasien dan butik masih sepi, sedangkan aku harus segera membayar utang pada Parto. Baba bilang tak akan terjadi apa-apa, tenang saja, begitu katanya. Dan aku merasa sedikit lega.

Ketika aku sampai di rumah, ternyata ada Parto. Dia sedang mengobrol dengan Mas Iwan. Betapa takutnya aku saat itu.

Setelah berganti pakaian, aku kemudian duduk di samping suamiku. Tak berani memandang wajahnya, aku yakin dia sedang menyimpan amarah.

"Mah, ini Mas Parto mau nagih utang 60 juta berserta bunganya 21 juta katanya. Itu utang apa?" tanya Mas Iwan seraya menatapku tajam.

Aku melongo. Kok bunganya banyak amat, sepertiga dari utang pokoknya.

"Bunganya kok 21 juta, Mas?" tanyaku pada Parto dengan heran.

Parto kemudian menjelaskan, bahwa sesuai dengan kesepakatan, yaitu setiap 1 juta rupiah dibayar dengan 1 kwintal gabah. Sedangkan harga gabah 350 ribu per-kwintalnya.

Aku betul-betul terkejut, ternyata lepas dari kandang buaya, si Gunawan dan Bank Doramon kepxrat itu, aku masuk ke kandang singa. Aku tak terima tentu saja, begitu juga dengan Parto. Kami lalu bertengkar hebat di depan suamiku.

Akhirnya Mas Iwan yang menengahi. Dia meminta Parto untuk pulang, dan bilang akan mencarikan jalan keluarnya.

Sepulangnya Parto dari rumah kami, suamiku marah besar. Hal yang tak pernah dia lakukan selama kami menikah. Aku tak tinggal diam, aku menjawab setiap ucapannya. Pertengkaran pun tak bisa dihindari. Kami beradu mulut. Agung dan Melda aku lihat hanya terdiam, menyaksikan kedua orang tua mereka sedang mengumbar amarah.

Sejak hari itu, pertengkaran selalu terjadi. Agung dan Melda menjadi tak betah tinggal di rumah, mereka kemudian akhirnya lebih memilih tinggal di rumah kakek neneknya, orang tua Mas Iwan.

***

Parto terus saja menagih uangnya, tak kenal waktu. Pagi, siang, malam, sesuka dia. Bahkan beberapa kali Parto datang ke puskesmas, membuatku merasa sangat malu terhadap teman sekantor.

Mas Iwan lantas berusaha untuk menjual mobil kami. Dia membuat iklan di beberapa surat kabar. Tapi namanya menjual mobil tentu saja tak semudah seperti menjual kacang goreng. Hingga sebulan mobil itu masih belum juga terjual. Jangankan terjual, yang menanyakan pun tak ada.

***

Selama satu bulan itu aku masih saja datang ke tempat praktik Baba. Padahal kalau dipikir menggunakan akal sehat, aku malah menghabiskan banyak uang setiap kali pergi ke sana. Akan tetapi entah kenapa, seperti ada yang menarikku agar selalu datang ke tempat itu.

"Kak, di Banten ada dukun hebat. Kamu tahu kan orang sana memang terkenal dengan ilmu mistisnya," kata Tina suatu hari.

Seperti sebelumnya, aku sama sekali tak tertarik dengan ceritanya. Jangankan untuk pergi ke Banten, untuk ke tempat Baba pun aku sudah tak punya uang lagi.

"Temannya Yudi sudah pergi ke sana, Kak. Sekarang dia jadi pengusaha sukses," lanjut Tina, tak peduli apakah aku menanggapi ceritanya atau tidak. Yudi adalah adik bungsunya.

"Aku sudah nggak punya uang lagi, Tin," kataku.

"Gajimu kan masih utuh, Kak. Nanti aku carikan pinjaman, kamu bisa mengangsur tiap bulan pakai uang gaji."

Aku diam saja. Tina kemudian mengeluarkan HP-nya dari dalam saku baju dan menelepon seseorang, entah siapa.

"Ada yang bisa kasih pinjaman, Kak," katanya setelah dia selesai menelepon.

"Memangnya kamu tahu tempat dukun itu? Terus apa yang akan kita minta? Ke Baba saja nggak ada hasilnya." Aku mendengkus kesal menanggapi ucapan Tina.

"Yang ini beda, Kak. Dia dukun canggih. Namanya Abah Reza. Asal ada uang 10 juta untuk mahar, nanti semua keinginan kita bisa terkabul," kata Tina berapi-api, sangat bersemangat.

"Kamu gila ya, Tin. Jangankan 10 juta, untuk sekadar ongkos ke sana saja aku nggak punya uang," sungutku sebal.

"Tadi kan aku bilang, kalau ada orang yang bisa kasih pinjaman, tapi cuma 13 juta. Tiga juta kan cukup untuk ongkos ke rumah Abah Reza, Kak."

"Terus bayarnya gimana?" tanyaku mulai tertarik dengan rayuan Tina.

"Dia minta sepuluh persen setiap minggu."

"Ya ampun! Itu sih lintah darat beneran namanya, malah lebih parah dari Parto," kataku sembari membeliak karena saking merasa kaget.

"Memang kayak gitu Kak sistem-nya. Mana ada sih zaman sekarang orang mau kasih pinjaman uang secara gratis? Tapi kan cuma sekali, Kak. Setelah kita ketemu sama Abah Reza, semua urusanmu bakalan selesai," bujuk Tina.

Lagi-lagi aku termakan rayuan Tina untuk mendatangi dukun. Padahal sudah sangat jelas, dengan Baba saja tak ada hasilnya. Itu berarti dukun memang pendusta. Tapi entahlah, aku seperti terhipnotis oleh ucapan sahabatku itu. Mungkin karena sudah dalam posisi yang terdesak dan terjepit, jadi diri ini tak bisa berpikir secara jernih lagi. Maka kami pun berangkat ke Banten pada hari Jumat malam.

Aku bilang pada Mas Iwan kalau ada pelatihan di Jakarta selama tiga hari, sambil menunjukan surat tugas dari puskesmas yang telah kubuat bersama Tina sebelumnya, dengan memalsukan tanda tangan kepala puskesmas tentu saja.

Memerlukan waktu sekitar 12 jam dalam perjalanan untuk sampai ke rumah Abah Reza.

Seorang laki-laki berumur sekitar 60 tahun, berperawakan tinggi kurus, menyambut kedatangan kami. Tak membuang waktu lama, aku langsung mengutarakan maksud kedatangan kami.

Aku dan Tina kemudian dibawa masuk ke sebuah ruangan oleh Abah Reza. Kamar yang sempit dan pengap, bau kemenyan langsung menguar, begitu menusuk hidung.

"Sudah bawa maharnya yang 10 juta?" tanya Abah Reza, setelah kami duduk.

"Sudah, Bah," jawabku sambil mengambil uang yang aku pinjam dari Tina dari dalam tas.

"Ini untuk maharnya, nanti akan dapat gantinya berlipat-lipat," kata Abah Reza, setelah menerima uang tersebut.

Dia kemudian membungkus uang itu menggunakan kain putih dan menaruhnya di sebuah kotak kecil.

"Ini telur angsa yang sudah Abah jampi-jampi, untuk ditanam di depan pintu masuk rumah kamu," katanya kemudian sambil memberikan telur angsa padaku.

Sekitar satu jam aku dan Tina berada di dalam kamar 'kerja' Abah Reza. Setelah menjelaskan apa yang harus aku lakukan dan apa yang tak boleh dilakukan, kami pun keluar dari kamar itu.

Setelah berbincang seperlunya dengan istri Abah Reza, aku dan Tina segera pamit pulang. Hari Minggu pagi aku sudah sampai di rumah lagi.

Mas Iwan sudah berangkat ke bengkel. Segera aku mengambil pisau dapur dan menggali lubang di depan pintu masuk rumah. Lalu, bergegas aku menanam telur angsa pemberian Abah Reza di dalam lubang itu.

***

[Mah, aku nggak pulang malam ini, mau nganter Agung lomba bulu tangkis] kata suamiku di telepon.

Agung memang ikut sebuah klub bulu tangkis dan sudah beberapa kali dia memenangkan perlombaan. Tadi pagi pun dia sudah meneleponku, memberitahu jika akan mengikuti perlombaan nanti malam.

***

Malamnya aku tidur di rumah sendirian. Entah kenapa, sejak sore hari tadi perasaanku sangat tidak enak. Tiba-tiba aku merinding, ada rasa takut yang menyelinap dalam hati. Bulu kuduk di tengkuk dan kedua tangan meremang.

Sampai pukul sebelas malam, aku belum juga bisa tidur. Aku lantas mencoba menelepon Mas Iwan, memintanya agar pulang saja setelah Agung selesai mengikuti lomba, tapi ternyata perlombaan itu belum selesai.

Tiba-tiba diri ini mendengar suara langkah orang berjalan mendekati jendela kamarku. Langkahnya terdengar berat dan lambat. Jantungku berdetak tak karuan, keringat dingin mulai bercucuran di kedua pelipis. Jam di dinding telah menunjukkan pukul dua belas tengah malam.

Aku memejamkan mata rapat-rapat, berharap bisa segera tidur agar tak lagi mendengar suara langkah kaki itu. Aku benar-benar ketakutan setengah mati.

***

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel