Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bangkrut

Rentenir vs hantu

Part 5

***

Tiga bulan sudah berlalu. Uang yang aku harapkan dari janjinya Abah Reza, tak juga kunjung datang. Pasien dan butikku tetap saja sepi, bahkan menjadi semakin sepi. Dalam tiga bulan itu hanya ada tiga orang pasien yang datang berkunjung. Itu pun pasien akseptor KB yang akan suntik KB ulangan. Sedangkan di butik tak ada satu pun barang yang laku terjual.

Uang gaji bulananku habis untuk membayar bunga utang ke Tina. Jika pada minggu berikutnya aku tak bisa membayar bunga utang itu, maka Tina akan mengambil barang-barang di butik semau dia.

Awalnya dia bilang barang-barang tersebut untuk orang yang memberikan pinjaman uang 13 juta rupiah waktu itu, namun beberapa kali aku memergokinya memakai tas, sepatu dan baju yang dia ambil di butik. Melihat hal itu aku hanya bisa membatin dalam hati, kok Tina bisa setega itu padaku.

Pernah aku berencana meminjam uang di bank pemerintah, karena teman-teman sekantorku pun banyak yang meminjam uang di sana.

Namun, saat aku menanyakan kepada bendahara puskesmas soal pinjaman tersebut, ternyata bank hanya bisa memberikan utang sebesar 25 juta rupiah saja, karena aku merupakan nasabah baru.

Merasa kecewa tentu saja, padahal awalnya aku berpikir, aku akan meminjam langsung sebesar 100 juta, untuk membayar utang ke Parto dan Tina hingga lunas, agar hanya ada satu pintu utang saja, dan bisa dicicil setiap bulan melalui potongan gaji di bendahara.

Kunjungan pasien yang pada awalnya membuatku mampu mencukupi semua kebutuhan bahkan berlebih, sekarang tak ada lagi.

Aku akhirnya menutup butik, karena tak sanggup lagi membayar gaji Asih, karyawan butikku. Kasihan dia jika gajinya harus selalu dibayar telat.

Aku betul-betul jatuh miskin, berangkat bekerja setiap hari hanya untuk membayar bunga utang ke Tina. Bahkan uang bulanan yang diberikan suamiku pun ikut habis untuk membayar bunga utang itu.

Hampir setiap hari Parto dan Eka (orang yang kata Tina memberi pinjaman utang 13 juta rupiah) datang menagih ke puskesmas dan ke rumah. Membuatku merasa tak tenang dan tidak konsentrasi dalam bekerja.

Mereka berani marah-marah di depan pasien, saat aku sedang di puskesmas. Begitu juga ketika aku sedang mengobrol dengan tetangga sekitar. Benar-benar membuat harga diriku seperti diinjak-injak, tak ada harganya lagi. Aku semula adalah seorang bidan yang disegani, gara-gara utang itu mereka jadi meremehkanku. Tak punya rasa sungkan dan sopan santun sama sekali.

Bermacam perasaan campur jadi satu. Malu, sedih, geram, marah, dan entah apa lagi, tapi aku hanya bisa diam, tak kuasa untuk membalas, karena memang berada di posisi yang salah.

Akhirnya teman-teman di puskesmas dan para tetangga mengetahui, kalau aku sedang terlilit utang. Satu per satu mereka mulai menjauh, dan aku menjadi bahan gunjingan mereka.

Keadaan itu berlangsung sampai satu tahun lamanya. Tertekan sekali rasanya. Akhirnya aku mulai malas bekerja dan membolos tak masuk kantor. Aku tak sanggup lagi menghadapi kemarahan Parto dan Eka di depan pasien, teman-teman puskesmas dan tetangga sekitar.

Setiap hari dari pukul 3 pagi aku sudah keluar rumah, pergi entah ke mana, tak tentu arah tujuan. Selepas isya aku baru pulang. Itu semua aku lakukan untuk menghindari kejaran utang Parto dan Eka.

Saat itu aku baru tahu, kalau ternyata dikejar rentenir itu jauh lebih menakutkan daripada melihat hantu. Diri ini sudah tak menghiraukan lagi keberadaan hantu yang ada di rumahku. Aku lebih takut melihat Parto dan Eka dibandingkan bertemu dengan hantu itu.

***

Rupanya, kebiasaanku pergi sebelum pagi menjelang dan pulang malam hari, akhirnya diketahui oleh Parto. Aku tak tahu, dia tahu hal tersebut dari siapa. Mungkin dia mendapat informasi dari tetangga rumahku, karena setiap kali dia datang ke rumah, aku tak pernah ada.

Suatu hari, Parto rupanya ingin menjebakku. Dia sengaja menginap di rumah tetangga depan rumahku, agar saat aku keluar dari rumah pukul 3 pagi, dia bisa langsung mencegatku dan menagih utang.

Namun, ternyata hari itu diri ini tak enak badan, sehingga aku tidur seharian di rumah dan aku sama sekali tak keluar rumah.

[Bu Bidan nggak ke luar hari ini?] tanya tetanggaku via telepon.

[Nggak, Mbak. Saya sedang agak nggak enak badan. Kenapa?]

[Semalaman Mas Parto begadang di sini, nungguin Bu Bidan keluar rumah sampai subuh. Terus dia pulang, karena Bu Bidan nggak muncul juga. Nggak tahunya yang dijagain malah tidur]

Cerita Mbak Siti di telepon sambil terpingkal-pingkal. Dia mengatakan bahwa Parto sejak pukul 10 malam sudah berada di rumahnya, agar bisa memergoki saat aku keluar rumah pukul 3 pagi seperti biasanya.

Parto sudah habis minum air kopi bergelas-gelas dan rokok dua bungkus, berulang kali dia menguap, tapi berusaha untuk tetap tak memejamkan mata, agar jangan sampai aku lolos dari intaiannya.

Cerita yang membuatku ingin tertawa tapi juga merasa sedih. Parto membuatku seperti seorang pencuri, yang setiap gerak geriknya selalu diawasi. Namun, aku juga merasa lucu dengan tingkah laku Parto, dia rela semalam suntuk tak tidur hanya untuk mengintai, sementara aku di dalam rumah tidur dengan nyenyak.

***

Suatu siang, ketika sedang berbelanja di alfamart, aku bertemu dengan teman semasa SMP dulu, Bu Halimah namanya, dia seorang guru.

Bu Halimah kemudian mengajakku singgah ke rumahnya, yang ternyata berlokasi tak jauh dari tempat kami berbelanja.

Setelah lulus dari SMP, kami memang tak lagi saling berkomunikasi, sibuk dengan sekolah dan pekerjaan kami masing-masing. Ditambah lagi aku dan Bu Halimah bukan teman yang akrab ketika di SMP dulu. Hanya sebatas kenal saja.

Kami kemudian saling bercerita tentang keadaan kami masing-masing. Rupanya, Bu Halimah juga tinggal sendiri, suaminya sudah lama meninggal dunia, ketiga anaknya sudah berumah tangga semua dan mereka tinggal di luar kota.

Ternyata, Bu Halimah juga mempunyai masalah sepertiku. Dia juga sedang terlilit utang rentenir. Dia kemudian mengajak aku untuk tinggal di rumahnya, supaya kami bisa sama-sama mempunyai teman.

Namun, permintaan Bu Halimah aku tolak dengan halus. Aku lebih nyaman tinggal di rumah sendiri, daripada tinggal di rumah orang. Meskipun tak jarang aku harus merasa ketakutan sendiri karena didatangi rentenir dan hantu.

***

"Bu, ada yang mau ngasih pinjaman besar, dari Bank RUDI," kata Bu Halimah suatu hari, ketika aku sedang berada di rumahnya.

"Beneran, Bu? Syaratnya apa?" tanyaku antusias, mungkin karena aku sudah merasa bosan dikejar-kejar Parto dan Eka.

"Nanti malam kita kumpul di rumah Bu Bidan Tati, ada banyak orang kok yang mau ikutan," kata Bu Halimah.

Bu Tati adalah bidan senior yang namanya cukup dikenal masyarakat, wajar jika aku langsung tahu di mana rumahnya. Aku memang pernah mendengar cerita, kalau dia juga terlilit utang di Bank Doramon. Tempat aku dulu berhutang pertama kali gara-gara rayuan si Gunawan kepxrxt itu.

***

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel