Bertemu Teman Lama
Rentenir vs hantu
Part 6
***
"Yang mau kasih pinjam itu Bu Tati atau gimana, Bu?" tanyaku tak seantusias tadi.
Bagaimana Bu Tati akan memberikan pinjaman utang kepadaku, sedangkan dia sendiri terlilit utang, begitu pikirku.
"Bukan, Bu. Nanti ada orang yang mau ngasih pinjaman dari Bank RUDI, makanya malam ini kita disuruh kumpul di rumah Bu Tati. Nanti akan dikasih tahu lebih jelasnya di sana," jawab Bu Halimah.
"Ohh … gitu," kataku seraya manggut-manggut.
"Sekarang Bu Wati nggak usah pulang lagi. Kita berangkat bareng dari sini. Nanti kalau acaranya sudah selesai, baru Ibu pulang ke rumah," kata Bu Halimah.
"Tapi saya nggak bawa baju ganti, Bu," kataku.
"Pinjam baju saya saja dulu, Bu. Badan kita kan sama ukurannya."
***
Maka, setelah selesai salat magrib, kami berdua pergi ke rumah Bu Tati dengan berboncengan sepeda motor.
Sekitar setengah jam dalam perjalanan, akhirnya kami sampai di sana. Terlihat sudah banyak sepeda motor yang diparkir di halaman depan rumah Bu Tati.
[Ternyata banyak juga orang yang mempunyai masalah utang seperti aku]
Segera aku memarkir sepeda motor lalu memasuki rumah Bu Tati, sambil mengucapkan salam. Kuhitung sudah ada dua puluh orang yang datang. Mereka sedang duduk mengobrol di ruang tamu, dan tak satu pun dari mereka yang aku kenal.
Aku lantas menyalami mereka satu demi satu. Kami kemudian saling memperkenalkan diri. Dari semua yang hadir, aku tahu mereka berasal dari bermacam profesi. Ada guru, bidan, pedagang, petani, dan PNS di beberapa instansi.
Awalnya sempat merasa heran, ternyata bukan hanya aku yang punya masalah utang. Bahkan utang mereka jauh lebih banyak dari utangku pada Parto dan Eka, dan ada yang mencapai hingga ratusan juta rupiah.
Tak berselang lama, datang seorang laki-laki berperawakan tinggi kurus berumur sekitar 40 tahun, bersama dengan dua orang perempuan.
Laki-laki itu kemudian memperkenalkan diri, dia bernama Hadi. Belakangan aku tahu, kalau ternyata dia hanya seorang pegawai asuransi yang sedang mencari mangsa sebagai modus penipuan.
Hadi menjelaskan dengan panjang lebar tentang pinjaman dari Bank RUDI dengan bunga nol persen. Dia menjamin semua pengajuan pinjaman pasti akan terealisasi, karena dia adalah Direktur Utamanya.
Kami yang hadir seakan terhipnotis, sangat antusias menanggapi semua omong kosongnya. Mungkin karena kami ingin segera terbebas dari masalah utang yang menjerat leher. Aku dan Bu Halimah pun demikian.
"Nah Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sekalian, jika ingin segera mendapatkan pinjaman dengan bunga nol persen seperti yang sudah saya jelaskan tadi, agar segera menyiapkan uang sebesar 5 juta rupiah untuk kelancaran transaksinya," kata Hadi mengakhiri bualannya.
Dia kemudian pamit pulang dengan mengendarai sebuah mobil Honda Civic warna merah. Penampilannya yang rapi dan meyakinkan, disertai dengan membawa kendaraan yang lumayan mahal, membuat kami yang hadir tak sadar jika telah masuk di dalam perangkapnya.
Sepulangnya Hadi dari rumah Bu Tati, kami yang hadir kemudian berunding, merencanakan bagaimana caranya agar bisa memperoleh dana pinjaman tersebut.
Kami kemudian menunjuk Pak Priyo, salah seorang guru yang hadir, agar mengkoordinir kegiatan kami. Hingga pukul sebelas malam, kami baru selesai berdiskusi dan pulang ke rumah masing-masing.
Aku mengendarai sepeda motor dengan agak kencang, karena jalanan sudah sepi. Setelah terlebih dahulu mengantar pulang Bu Halimah. Angin malam terasa menusuk sampai ke tulang, namun tak kuhiraukan.
Saat melewati jembatan, (jalan menuju ke rumahku harus lewat jembatan gantung yang terbuat dari bambu) tiba-tiba perasaanku tidak enak. Antara ragu akan meneruskan perjalanan atau kembali saja ke rumah Bu Halimah. Kulihat jam di tangan kiriku, waktu sudah menunjukan pukul 12 tengah malam.
Akhirnya aku memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Tanggung, sebentar lagi akan sampai rumah. Aku kemudian melewati jembatan gantung itu dengan perlahan, dan benar saja, sampai di tengah-tengah jembatan, tiba-tiba sepeda motorku mati. Segera aku turun dan menuntun sepeda motor tersebut hingga ke seberang jembatan.
Aku mencoba menghidupkan mesin motor, begitu sampai di seberang jembatan. Tapi gagal. Berulang kali aku mencoba, sepeda motorku tetap tak bisa menyala.
Perasaanku sudah tak karuan. Sendirian di jalan tengah malam, takut dan bingung. Karena kelelahan, aku lalu duduk di atas jok sepeda motor dengan jantung berdebar-debar karena saking merasa takut.
Setengah putus asa, aku kembali mencoba menghidupkan mesin sepeda motorku, tapi masih saja tak bisa menyala.
Tiba-tiba, berdiri di hadapanku seorang pemuda yang entah dari arah mana datangnya. Mungkin karena terlalu fokus pada sepeda motorku, sehingga aku tak menyadari kedatangan pemuda tersebut.
"Motornya kenapa, Bu?" tanya pemuda itu.
"Nggak tahu ini, Mas. Tiba-tiba saja macet," jawabku.
"Mungkin habis bensin, Bu. Boleh saya lihat?"
Ya Allah … kenapa tak terpikir olehku tentang hal ini? Aku merutuki diri sendiri. Pemuda itu kemudian membuka jok sepeda motorku dan memeriksa tempat bensinnya.
"Bensinnya habis, Bu," katanya, sambil menutup kembali jok sepeda motorku.
"Yang jual bensin di mana ya, Mas?"
"Sudah jam segini biasanya warung sudah pada tutup, Bu."
Aku menarik napas panjang. Jarak menuju rumahku masih lumayan jauh. Tentu akan menguras tenaga jika aku harus mendorong sepeda motor untuk sampai ke rumah.
"Tunggu sebentar di sini, Bu. Akan saya coba carikan, siapa tahu masih ada kios bensin yang buka," kata pemuda itu tiba-tiba, sambil pergi meninggalkanku.
Aku tertegun melihat kepergiannya. Masih tak habis pikir, pemuda tadi muncul dari arah mana. Kenapa tengah malam dia belum pulang. Di mana rumahnya, karena sepanjang jalan yang aku lewati tadi, tak ada rumah yang terlihat.
"Bu, ini saya dapat bensinnya."
Tiba-tiba pemuda itu sudah muncul kembali di hadapanku dengan membawa sebuah jerigen bensin berukuran sedang, setelah sekitar dua puluh menit dia tadi pergi. Lagi-lagi aku tak melihat dari arah mana dia datangnya.
Pemuda itu kemudian membuka jok sepeda motorku dan menuangkan isi dalam jerigen bensin yang dibawanya. Aku masih bengong melihat semua yang dilakukan pemuda itu.
"Sudah, Bu. Coba sekarang dihidupkan motornya," titahnya.
Aku kemudian menghidupkan mesin motor dan berhasil menyala.
"Terima-kasih ya. Mas kok malam-malam belum pulang?" tanyaku.
"Saya baru pulang main."
"Memang rumahnya di mana?" tanyaku.
"Deket sini kok, Bu. Tuh di situ," katanya sambil menunjuk ke arah kiri jembatan.
Aku merasa aneh, padahal tak ada rumah di arah yang dia tunjuk, atau mungkin aku yang tak melihatnya? Entahlah, aku tak peduli, yang penting sepeda motor sudah menyala lagi, sehingga aku bisa segera pulang ke rumah.
Ketika akan memberinya uang untuk mengganti harga bensin dan sebagai rasa terima kasih, pemuda itu sudah tak ada lagi di dekatku. Aku mengedarkan pandangan, namun dia tak terlihat.
Seketika bulu kudukku meremang, jantungku berdegup tak karuan. Segera aku menghidupkan mesin motor dan mengendarainya dengan kecepatan tinggi menuju ke arah rumah.
***
Bersambung