Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Dendam

Bab 3 Dendam

Pagi yang cerah, Aisyah berjalan menuju kedai kopi tempatnya kerja. Hari ini Aisyah naik ojek online jadi tidak terlambat, dia masuk kedai yang selama tiga tahun ini menghidupinya. Senyum terukir indah dibibir nan ranum. Sampailah dia di dapur kedai kopi, tempat berkumpulnya karyawan.

"Pagi semua," sapa Aisyah pada rekan kerjanya.

"Iih kau itu, Ai, bikin spot jantung. Tidak kuliah kau ini, pagi buta sudah datang ke kedai. Tak salah tempat, heh!" ucap Bidin teman kerja yang agak bawel orangnya.

"Lagi gak mood, mau skripsi susah cari ide," balas Aisyah sedikit malas bila bahas kuliahnya.

"Semangat, Ai!" ucap Bidin dengan suara lantang.

"Iya, siap ndan," jawab Aisyah sambil sikap hormat selayaknya pada pimpinan.

Hehehe

Akhirnya, mereka tertawa bersama, hingga bos datang menghampiri, "lho Ais, kok tumben kau tidak terlambat?" kata nya.

"Iya Pak, lagi hilang mood jadi tidak masuk kuliah hari ini," jelas Aisyah.

"Kau! Tidak boleh malas, Ai! Harus semangat!" ucap Robert.

Sebenarnya Robert menaruh hati pada Aisyah, dia gadis yang mandiri, cantik, lembut dalam bertutur kata yang pasti dambaan setiap lelaki. Namun sayang dia harus mengalah demi kehancuran keluarga Kardiman.

Berawal dari ide ayah Robert yang menaruh dendam dengan Kardiman paman ayahnya. Membuat Robert melupakan sosok Aisyah di hatinya.

'Jika Carissa ladang benihku untuk kehancuran keluarga Alatas sedangkan kamu, Aisyah untuk kemiskinanku,' batin Robert penuh dendam.

"Pak, hai ... kok melamun. Permisi saya mau lanjut kerja, mohon menepilah!" ucap Aisyah halus sesuai parasnya.

"Eh, silahkan. Maaf, silahkan di lanjut kerjanya," kata Robert terus berlalu pergi ke ruangan pribadinya.

Setelah kepergian bosnya, Aisyah kembali membersihkan kedai agar segera siap menerima pembeli. Tak berapa lama pengunjung setia berdatangan ke kedai itu, ada yang sekedar melepas dahaga, ada yang hanya ingin menjumpai pekerjanya bahkan ada penggemar setia Aisyah.

Penggemarnya seorang lelaki tua, dia selalu duduk di pojok dekat pintu keluar masuk dapur dan selalu memesan kopi tubruk. Kegiatannya hanya mengamati sosok Aisyah, seharian hanya Aisayah yang di perhatikan, hingga waktu istirahat dengan menghabiskan tiga cangkir kopi tubruk.

Setelah habis tiga cangkir, dia memberesi laptopnya dan beranjak pergi, tidak lupa meninggalkan secarik kertas untuk Aisyah. Hal itu selalu dia lakukan selama kurang lebih satu bulan ke belakang.

'Ini yang ke tiga puluh kali kakek itu memberi surat, seakan dia begitu percaya jika aku cucunya yang hilang itu' batin Aisyah, kemudian membuka surat itu dan membacanya.

'Untuk kali ini, saya akan baca surat anda, Pak Tua,' gumamnya.

Aisyah, kakek sangat berharap kamu mengerti akan rasa ini, betapa kakek ingin memelukmu tanpa sungkan dan percaya bahwa ini kakekmu, ayah dari Edward Kardiman. Bukankah itu nama ayahmu, nak?

Kakek sangat percaya bahwa kamulah anak perempuan itu, yang terlahir lewat tanganku sendiri. Dengan tanda kepala harimau menunduk yang kamu miliki di urat nadi tangan kananmu sudah menjelaskan bahwa kamu anak perempuan itu, cucuku.

Datanglah sebelum sesuatu hal yang tidak diinginkan terjadi.

Jaga dirimu

Dari kakekmu

Kardiman

Begitulah isi surat Kardiman, untuk Aisyah yang menurutnya adalah cucunya yang dulu di bantu dalam kelahirannya.

Aisyah merasa sesak nafas membaca surat itu, hatinya merasa seakan ini terakhir kali dia melihat kakek itu. Di simpannya surat itu bersama surat yang lain. Mulai saat ini Aisyah berjanji dalam hati akan menemui sang kakek jika sudah selesai jam kerja.

Hari telah berganti bulan, sudah tiga bulan Aisyah selalu mengunjungi kakek itu. Terakhir satu bulan yang lalu Ais menjumpai kakeknya di kediaman Kardiman dalam keadaan segar bugar, tapi mengapa saat ini hatinya bergetar seperti ada sesuatu yang akan terjadi.

"Dengan Nona Aisyah?" kata seorang bodyguard yang pernah Ais lihat di kediaman kakeknya.

"Iya, benar, bukankah paman pengawal kakek? Bagaimana kabar kakek saya?" tanya Ais.

"Kakek dalam keadaan sekarat, sekarang lagi dalam pengobatan di rumah sakit Mutiara Harapan. Nona di harap segera menemui kakek sebelum seseorang mengetahui identitas Nona," papar pengawal itu.

Aisyah bungkam mendengar informasi itu, dia berdiri melangkah menuju dapur untuk mengambil barang bawaannya dan kembali menemui pengawal itu.

"Baiklah, paman berangkat dulu, saya akan ijin dulu untuk pulang cepat. Salam buat kakek," ujar Aisyah sambil memberikan secarik surat buat kakek.

Setelah urusannya selesai pengawal itu meninggalkan kedai menuju rumah sakit di mana kakek berada.

Tanpa mereka sadari ada seseorang yang mencuri dengar pembicaraan mereka berdua, Robert mendengar semua apa yang mereka bicarakan. Kemudian mengambil ponsel pintarnya untuk menghubungi papa.

[Hallo, Pah!]

[ Informasi apa yang kamu dapat hari ini?]

[Ternyata benar dugaan kita, pah. Aisyah Hendrawan adalah cucu Kardiman. Sekarang Kardiman sedang sekarat di rumah sakit tempat Papah bekerja.]

[Bagus, selidiki terus, hati-hati.]

Sambungan terputus, mendengar informasi anaknya, Wahono tersenyum, "akhirnya takdir berpihak padaku, tunggu kehancuranmu Kardiman!" gumamnya lirih.

Di dalam ruang rawat inap Kardiman melamun kejadian 23 tahun lalu, saat dia bertemu dengan anak dan menantunya yang akan melahirkan. Dengan hati yang bahagia dipeluk anak semata wayangnya penuh rindu, melihat menantu yang tidak mengenalinya hatinya ngilu, tapi apa daya semua kehendak anaknya.

Edward takut jika identitasnya terbongkar maka nyawa istri dan calon anaknya menjadi taruhannya, dia tidak mau kejadian yang menimpa mamanya terulang di hidupnya.

Tok tok tok

"Masuk," ucap Kardiman.

"Tuan, ini dari Nona," kata pengawal sambil menyerahkan surat dari Aisyah.

Kardiman membuka surat itu dan membacanya, isi surat itu permintaan maaf dari Aisyah karena selama ini tidak percaya bahwa dia adalah kakeknya. Mulai hari ini Aisyah iklas menghadapi statusnya yang tidak biasa itu. Namun dia memerlukan kakek untuk mengajarinya tentang semua hal yang belum dia mengerti. Senyum terukir di bibir tua Kardiman.

"Siapkan kamar untuk Nona, agar dia nyaman saat pulang ke rumah," perintah Kardiman pada pengawal pribadinya, Pak Usman.

"Baik, Tuan," setelah menjawab perintah Kardiman, pak Usman keluar dari ruang rawat inap dan pulang ke rumah untuk menyiapkan keperluan sesuai perintah majikannya.

Setelah mendapatkan ijin, Aisyah berjalan menuju taksi online yang sudah menunggunya, setelah satu jam perjalanan taksi itu tiba di rumah sakit Mutiara Harapan di mana Kardiman di rawat.

Aisyah memasuki ruang rawat Kardiman, tampak di matanya kakek yang baru dia jumpai tiga bulan sedang tertidur pulas.

Di pandanginya wajah yang sudah mulai senja penuh rindu, sosok Kardiman hampir mirip ayahnya Edward. 'Ayah, Aisyah rindu. Benarkah sosok di depan Aisyah adalah ayahnya ayah? Benarkah dia kakek Aisyah, ayah?' batin Aisyah.

Wajah yang mulai menua tapi masih tampak sisa ketampanannya terlihat lelah menanggung beban hidup sendiri. Perlahan Aisyah mendekat dan duduk di kursi dekat Kardiman, diraihnya tangan sang kakek kemudian di cium punggung tangan itu sambil berkata,"Aisyah, datang kek."

Merasa ada pergerakan, perlahan mata Kardiman terbuka dan melihat wajah cantik mirip istrinya Laura Lowrens.

"L--laura, kaukah itu, my love?" lirihnya.

"Bukan, kek. Ini Aisyah, cucu kakek," balas Aisyah dengan suara rendah dan mengusap air mata yang tiba-tiba keluar tanpa di suruh.

"Kau mirip sekali dengan almarhumah istriku, Laura Lowrens. Dia nenekmu," kata Kardiman.

Aisyah tersenyum, dia mulai bisa menerima semua keadaan, sekarang dia bercerita tentang banyak hal pada kakeknya yang ingin tahu masa kecilnya bersama ayah dan ibu di kota Banyuwangi. Namun saat bercerita soal kecelakaan itu, mata Aisyah berkaca-kaca air mengalir perlahan melewati pipi putihnya tanpa bisa ditahan.

"Sudahlah, jangan dilanjutkan jika itu membuka lukamu. Kakek sangat bahagia kamu bisa menerima orang tua ini, nak," lirih Kardiman.

"Kakek ...." lirih Aisyah lalu memeluk tubuh yang mulai renda itu penuh kasih.

"Cepatlah sembuh kek, nanti akan aku tunjukan perkebunan dan tambak peninggalan ayah," lanjut Ais manja yang masih dalam pelukan hangat kakeknya.

Kardiman sangat bahagia hingga dia tersenyum, senyum yang telah lama hilang.

"Aisyah, maafkan kakekmu ini yang tidak bisa melindungimu. Statusmu tidak biasa, banyak yang menginginkan nyawamu. Berhati-hatilah!" ucap Kardiman.

"Kakek jangan khawatir, ada Nia yang selalu bersamaku,"

"Tunggu, Nia? Siapa?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel