Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 3. Masa Itu Belasan Tahun Lalu

“Bu, jangan nangis lagi! Nanti Mario marahin Nyonya Aulola yang sudah marahin ibu,” Ucap Mario yang masih cadel sambil mendongak, menatap wajah Titin yang sembab.

Titin melirik Mario lalu tersenyum sekilas.

“Nggak apa-apa, Koko. Mungkin memang ibu yang salah,” jawab Titin yang kembali melanjutkan melipat pakaian dan memasukan ke dalam tas tanpa ekspresi.

“Koko bereskan barang yang mau koko ingin bawa. Kita main ke rumah Nenek ya.”

Mario menatapnya bingung, besok Koko ga sekolah Bu..?

“Tapi, Bu? Kenapa kita harus pergi ke rumah nenek? Koko nggak mau pergi.

Gimana kalau ayah pulang? Nanti ayah bingung nyariin kita, Bu!” jawab Mario.

" Nenek dikampung sakit, ibu harus menjenguk nenek, nanti Ayah nyusul kok ke kampung." Jawab Titin tanpa mengalihkan pandanganya dari melipat pakaian Mario.

" Ini gaji kamu, cepat kamu pergi sebelum aku menendang kamu dengan anak haram ini..!" Ujar seorang wanita cantik berkulit putih sambil melemparkan amplop coklat ke atas ranjang dimana Titin duduk.

“Cepat pergi sekarang juga!” Suara teriakan seorang wanita seketika mengejutkan Mira dan anak-anaknya.

Titin segera menghapus air mata yang membasahi pipi. Buru-buru ia mengambil tas dan memasukkan semua pakaiannya yang memang hanya beberapa lembar dan pakaian Mario. Juga pakaian mario saat bayi. Yang Titin yakin akan berguna untuk anak kedua yang masih dalam kandungannya.

“Apa ada lagi yang mau Koko bawa..? ”

“Bu, Koko boleh bawa sepatu ayah?”

Titin tersenyum, lalu mengusap rambut Mario.

“Bawa apa yang Koko ingin bawa,yang ada dikamar ini." Jawab Titin.

Melihat sepatu milik suaminya membuat hati Titin semakin terluka.

Titin dan Mario anaknya sudah berjalan keluar rumah.

Sebelum pergi sejenak mereka menatap rumah bercat putih tiga lantai yang penuh kenangan manis itu.

‘Mas, maafkan aku yang tidak bisa bertahan.,’ batin Titin,air mata lagi-lagi tanpa permisi mengalir deras di pipi.

Mereka pun berpaling pergi, melangkah pergi, membelakangi rumah penuh cinta itu diiringi tatapan sinis wanita cantik yang melihat kepergian Titin untuk memastikan Titin dan Mario benar-benar pergi.

‘Ke mana aku harus pergi?’ batin Titin sambil mengusap perutnya yang tinggal menunggu hari untuk melahirkan.

**

Titin memutuskan untuk mencari kontrakan di daerah Jatibening Bekasi setelah menghubungi kawannya yang dulu membawanya ke Jakarta.

" Titin...? Kamu tuh harusnya bertahan,kenapa kamu malah pergi...?" Tegur Lena sahabatnya yang menjemputnya di stasiun kereta Bekasi.

Titin hanya diam.

" Suami kamu tahu..?" Tanya Lena.

" Ga Len, tuan sedang ke Jepang ada urusan." Jawab Titin.

" Ya sudah, kamu bisa ngontrak disamping kontrakanku kebetulan ada yang kosong." Ujar Lena lalu membantu membawakan tas.

Seminggu kemudian Titin melahirkan disebuah klinik bersalin hanya ditemani Lena.

" Suami kamu harus nya kamu kasih tahu." Ujar Lena sambil menatap bayi perempuan yang baru dilahirkan kan oleh Titin.

" Biar dia yang menghubungi aku Lena, aku tidak mau menganggu nya." Jawab Titin sambil memeluk bayi mungil yang baru saja dilahirkan.

Namun diam - diam Lena menghubungi Johan Dharmawangsa dan menceritakan kejadian yang menimpa Titin dan Mario saat Titin tidur.

Lena tidak tega melihat Titin dan dua anaknya harus menanggung semuanya sendirian.

*""

" Ayaaaaah....? Ada Dede bayi Ayah...!" Teriak Mario saat melihat seorang pria berkulit putih bermata sipit membuka pintu gerbang kecil. Dan berjalan ke arahnya dengan senyum mengembang.

Titin menoleh ke pintu, dilihatnya Mario berlari keluar.

Tatapan Titin terkunci saat melihat pria yang datang dengan senyuman sambil menggendong Mario yang mengalungkan tangannya di leher Johan Dharmawangsa.

" Kamu sehat sayang...?" Sapa Johan lalu mengecup kening Titin.

" Alhamdulillah sehat Mas..!" Jawab Titin yang sebenarnya bingung bagaimana suaminya itu bisa mengetahui keberadaannya.

" Felisha...! Ayah datang...! Shasya, maafin Ayah" Ucap Johan menyapa bayi mungil yang membuka matanya karena ciuman kecil Johan.

Sejak hari itu hampir setiap hari Johan Dharmawangsa mengunjungi nya,

" Sayang, kita pindah ya..? Aku sudah menyiapkan tempat tinggal yang layak untuk kamu dan anak-anak dekat kantor. Supaya aku lebih mudah mengunjungi kamu dan anak-anak" ujar Johan sambil menatap lembut Titin.

Titin hanya mengangguk.

" Besok sopir akan menjemput kamu kesini dan anak anak. Tidak apa-apa ya aku tidak ikut menjemput..?" Ucap Johan.

Titin hanya mengangguk.

****

Bruk

Bruk

Bruk

Titin terperanjat dengan suara keras di pintu kontrakan nya malam itu pukul 11 malam.

Lena yang menemani Titin sambil mengomel membukakan pintu mengira suaminya yang datang mencarinya karena menginap di kontrakan Titin.

" Kebiasaan banget kalau ngetok pintu itu brak bruk." Omelnya.

Namun Lena terkejut saat membuka pintu dilihatnya manusia dia pintu melotot galak.

" Kalau kalian masih mau hidup, jangan temui lagi Tuan Johan..? Atau kamu akan menyesal..!" Lena tergagap dan menoleh pada Titin yang sedang menyusui Christine.

" Ini uang, kamu bisa pakai untuk pergi sejauh mungkin ujar manusia dua pintu itu meletakan amplop coklat tebal ditangan Lena, yang masih berdiri mematung.

" Ingat Titin..! Aku tidak segan mengirim kamu dan anak anak kamu ke neraka.!" Ancamnya.

Susah payah Lena menelan ludah. Dan menatap punggung tiga mahluk di pintu berjalan menjauh dari kontrakan petak mereka.

" Apa itu orangnya Nyonya kamu Tin..?" Tanya Lena setelah menutupkan pintu.

Titi mengangguk.

" Lena, antar aku ke stasiun. Aku akan pulang ke kampung saja.! Jangan katakan apapun pada suamiku.!"

***

Ibu manarik tanganku dan tangan Kak Mario dan berjalan dengan cepat sambil menggendong Shasya.

Bergegas meninggalkan ibu ibu berdaster yang sedang belanja di warung sayur yang menatap kami sinis.

“Lihat Tuh Si Titin...!mentang-mentang cantik dia pikir bisa merebut suami orang seenaknya. kasian amat udah beranak di damprat bini lakinya, dasar pelakor." Salah satu emak itu berbicara cukup keras.

“Untung langsung ketahuan. Kalau tidak bisa kena suami kita juga. Udah ga aman kampung kita. Ngapain sih dia pakai balik kampung?.”

“Benar, dia itu kan miskin. Hanya dengan menjadi simpanan baru bisa merasakan hidup enak, berkedok jadi babu di jakarta padahal nge goda majikan cuih....”

Ibu berjalan dengan langkah semakin pelan, kakinya terasa begitu lemas sampai akhirnya berdiri mematung.

" Kalian masuk ke rumah...!" Ujar ibu.

Kak Mario menuntunku masuk setelah mendorong pintu pagar bambu.

Sementara ibu berbalik dan menghampiri emak emak yang belanja di warung sayur.

Kak Mario menghentikan langkahnya lalu berbalik badan melihat ibu yang berjalan terus menuju warung yang jaraknya tiga rumah dari rumah nenek, rumah yang kami tempati.

"Mau belanja Tin..?" Tanya Bu Sri pemilik warung.

" tahunya sepuluh, cabe rawit dua ribu ,tomat dua ribu, terasi,bawang merah bawang putih nya dua ribu." Aku dan Kak Mario menghampiri ibu diam diam.

Aku melihat ibu mengeluarkan uang dua puluh ribu.

" Jadi pelakor makannya tetap saja tahu,ga ada kemajuan." Ujar satu emak.

Aku lihat ibu menoleh pada wanita itu.

" Apa aku membeli tahu dengan uang kamu?" Tanya ibu sambil menatap wajah perempuan yang juga menatapnya sinis.

" Awas saja kalau kamu menggoda suami ku?" Ujar wanita itu.

" Apa suami kamu pantas di goda..? Bukanya kamu mendapatkan suami kamu juga saat suami kamu masih suami orang...? Urus saja hidup kamu sendiri ..! Tidak usah mengurusi hidupku." Ibu lalu mengambil belanjaannya dan uang kembalian.

“Terima kasih,” Ucap Ibu sambil berlalu pergi.

Langkah ibu diiringi tatapan sinis para emak.

Kebencian itu begitu jelas terlihat.

Hati ibu yang sudah terlanjur hancur berkeping-keping itu seolah sudah tak memiliki rasa.

Hanya air mata yang tak henti menetes yang mampu mengungkapnya betapa hancur hatinya.

Aku dan Kak Mario berlari pulang sebelum ibu melihat kami mengikutinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel