#8
Chelsea bergegas menghampiri kamar Kakaknya. Mendapati pintu kamar yang sedikit terbuka, ia mengetuknya singkat.
"Kak Alver," panggilnya namun tidak ditanggapi jawaban.
Dengan ragu ia mendorong pintu dan mendapati Alvero sedang mengompres tangannya dengan tubuh yang masih terbalut seragam sekolah.
"Kak Alver!" Chelsea terkejut melihat lebam di pipi kakaknya.
"Gak ada yang nyuruh kamu masuk." usir Alvero dingin yang samasekali tidak diindahkan.
"Kakak boleh ngomel abis ini, tapi sekarang biarin Chelsea ngobatin luka kakak dulu."
Dengan cekatan ia mengobati luka lebam di tubuh Kakaknya. Menggunakan P3K yang sudah lebih dulu Alvero ambil di sana.
"Astaga, Kak, kenapa sampai luka-luka begini sih?" kesal Chelsea saat beralih ke bagian perut kakaknya yang membiru akibat tonjokan.
"Kakak bisa nggak sih nggak usah babak belur kayak gini terus?!"
"Kakak nggak akan kayak gini kalau kamu dengerin Kakak! Apa maksudnya nyembunyiin masalah 3 hari lalu dengan anak baru itu, hah?! Jawab kakak!"
Chelsea kini terdiam karena melihat emosi Kakaknya yang sudah mencapai puncak. Walaupun sebenarnya ia tidak terima kalau harus disalahkan sepihak, padahal ia menyembunyikan semuanya karena sikap kakaknya ini juga.
"Tapi Kak-"
"Jawab kenapa kamu nggak ngasih tau Kakak dari awal! Setelah banyak banget yang ganggu kamu, setelah Kakak nanya baik-baik sama kamu, kenapa harus Kakak cari tau semuanya sendiri?!"
"Aku nggak bermaksud nyembunyiin ini dari Kakak-"
"Terus apa? Kamu ngebela dia? Kamu seneng digituin?!"
"Aku nggak ngebela Kak Rainer! Aku kayak gini karena sikap Kakak! Kalau Kak Alver nggak selalu main kasar, aku pasti cerita sama Kakak." ucap Chelsea akhirnya membela diri.
"Jadi salah Kakak? Iya?!"
"Semua orang tau kalau Rainer itu dari keluarga Wirangga, Kak. Bukan nggak mungkin bakal ada masalah besar kalau macem-macem sama dia."
"Dia yang macem-macem sama kamu, Sea!" Alvero menggenggam lengan adiknya kencang, menyalurkan emosinya di sana.
Suara bantingan pintu membuat perdebatan Chelsea dan Alvero terhenti.
"Kenapa ribut-ribut? Ada apa dengan keluarga Wirangga?" tanya Mama nya yang tadi membanting pintu.
"Rainer Samuel Wirangga, Putra kesayangan Tuan Wirangga yang terhormat. Dia bertingkah, jangan salahin Vero nanggepin tingkahnya."
"Kalian bercanda? Keluarga Wirangga itu tempat Mama dan Papa bekerja! Kalian mau makan dari mana kalau sampai Tuan Wirangga tau?!" omel sang Mama berhasil menutup mulut keduanya.
"Mama nggak mau tau. Tunggu Papa mu pulang. Kita ke rumah Keluarga Wirangga. Tanggung jawab atas kelakuan kalian."
Ira meninggalkan ruangan, meninggalkan Chelsea juga Alvero yang masih terdiam di tempatnya.
Sedangkan Chelsea menunjukkan ekspresi tak terbaca, Alvero dibuat tidak nyaman dengan diam nya Chelsea saat ini. Pasti adiknya tengah menyalahkan diri atas kejadian ini. Emosi nya tadi spontan menguap ketika Chelsea meminta izin beralih dengan masih memasang senyum mencoba menyembunyikan perasaan sebenarnya.
*
Kini mobil sport berwarna hitam itu memasuki pekarangan luas sebuah rumah mewah, beriringan dengan mobil sedan berwarna senada dengan langit malam.
Sepanjang perjalanan pun Chelsea hanya diam menatap keluar jendela. Matanya menyorotkan penyesalan walaupun ekspresinya tak menampilkan apa-apa.
Mereka melihat orang tua nya keluar dari mobil sang Ayah dan menunggu Alvero memarkirkan mobilnya. Chelsea menghela napas sesaat sebelum keluar dari mobil dan tanpa sadar menggenggam erat tangan Alvero.
Ibunya memencet bel, tak lama seorang maid mempersilahkan mereka masuk. Sepertinya Ayah Chelsea sudah membuat janji atas kedatangannya karena kini kepala keluarga Wirangga sudah menanti di ruang tamu.
Chelsea menahan napasnya saat melihat Rainer dengan tatapan kesalnya tengah duduk di salah satu sofa di sana. Mengabaikan kedatangannya. Lagipula apa yang ia harapkan? Sambutan? Lucu.
Dan tanpa Chelsea sadari, Rainer juga melakukan hal yang sama setelah gadis itu melepas pandangannya. Ia juga menahan napasnya cukup terkejut melihat penampilan berbeda Chelsea. Setelan casual yang belum pernah dibayangkannya menempel pada tubuh gadis itu. Rainer mengakui gadis itu cantik.
Tapi cantik itu relatif kan? sanggah Rainer pada dirinya sendiri.
"Maaf jadi menunggu lama." sebut Ira setelah bersalaman dengan Alfonso Wirangga sang tuan rumah.
"Tenang saja, ini masih tepat waktu. Mari, silahkan duduk."
"Hmm... agar tidak terlalu lama, langsung saja ke intinya. Maksud kedatangan keluarga kami kesini untuk menghindari kesalahpahaman antara anak-anak kita." ujar ayah Chelsea tanpa lagi basa-basi.
"Ya, saya mengerti posisi Alvero sebagai Kakak, jika adik perempuannya diganggu seperti itu."
Alfonso sepertinya sudah mengetahui alasan mengapa anaknya bisa pulang dengan luka-luka seperti ini.
"Ya Om sebagai Ayah harusnya ngajarin anak Om soal tata krama. Buat apa Om kerja setiap saat kalau ngajarin anaknya aja nggak bisa." tembak Alvero langsung, sudah tidak betah melihat adiknya terus-terusan terdiam dipersalahkan.
"Alvero!"
Orang tua nya terkejut dengan ucapan spontan Alvero. Tentunya mereka khawatir Alfonso tersinggung.
"Tidak apa-apa. Saya setuju dengan saran Alvero. Kamu, Rainer. Kamu akan didampingi Alvero selama dua minggu. Kita lihat bagaimana perkembangan kamu." putus Alfonso cepat, seolah memberi keadilan hukuman bagi dua bocah laki-laki yang doyan bertengkar ini.
"Dih najis!"
"Apa-apaan sih?!"
Rainer dan Alvero tentu sama-sama menolak keras ucapan Alfonso.
"Itu sanksi kamu. Bukan hak kamu untuk menolak, Rainer," balas Alfonso tak terbantahkan.
"Vero udah kelas dua belas! Nggak akan buang-buang waktu buat ngurusin bocah ingusan biadab kayak dia!"
"Alvero!" bentak mama nya lagi karena putranya yang nampak tidak berminat mengontrol kata-katanya.
"Chelsea bisa gantiin Kak Alver kok, Om." ujar Chelsea akhirnya membuka mulut. Berhasil mengalihkan seluruh pandangan padanya.
"Iya, betul. Chelsea masih kelas sepuluh dan sepertinya tidak akan terganggu kalau harus mendampingi nak Rainer agar lebih baik lagi." Mama nya ikut menyahut menyetujui Alfonso. Bukan tidak mungkin sebagai usaha menarik hati bos nya itu.
"Jangan Chelsea yang dijadiin tumbal!" tolak Alvero keras. "Belom kenal aja Chelsea udah ditawar, kalau kayak gini ada jaminan aoa Chelsea nggak akan dia perkosa?!"
"Alvero, berpikir sebelum bicara ya!"
"Mama yang harusnya berpikir sebelum ngejerumusin anaknya! Kamu juga jangan macem-macem deh, Sea!" bentak Alvero bahkan dengan sengaja menghentak adiknya.
"Chelsea bisa, Om." sebut gadis itu lagi, tak peduli penolakan sang Kakak.
"Kamu tidak keberatan, Chelsea?" tanya Alfonso kembali. Tentunya sebagai ayah, ia bisa melihat raut keraguan di wajah manis Chelsea.
"Chelsea.." Chelsea berhasil dibuat ragu memikirkan jawabannya.
Tapi gadis itu cepat-cepat menepis keraguan itu. Ia sudah mencebur, sekalian saja menyelam. Chelsea mengangguk dengan tatapan lurus pada Alfonso, menghindari goyahnya lagi jika menatap sang kakak yang pasti tak terima.
"Bagaimana Anton?" Alfonso meminta persetujuan Ayah Chelsea.
"Asalkan Chelsea tidak keberatan."
"Baiklah, kalau begitu mulai besok Chelsea akan mulai mendampingi Rainer. Saya mau, Chelsea mendampingi Rainer selama dia ada di luar rumah. Tidak ada lagi bolos sekolah, tidak ada lagi balapan liar, juga merokok dan nongkrong-nongkrong nggak jelas. Kecuali dengan izin Chelsea. Saya yakin Chelsea bisa memutuskan mana yang boleh dan tidak. Dan tentu semuanya masih dalam pengawasan Chelsea dan saya." jelas Alfonso panjang.
"Gak! Kenapa harus minta izin dia? Pake segala harus diikutin kesana-sini?. Gak!" tolak Rainer mentah-mentah.
"Lo kira Chelsea mau ngikutin lo kemana-mana, hah?! Sadar nggak sih, satu-satunya yang salah di sini tuh lo, bego. Malah adek gw yang nanggung semuanya."
"Rainer nggak mau," sebut Rainer mengabaikan Alvero.
"Terserah kamu Rainer. Tapi kalau Chelsea nggak mendampingi kamu, berarti semua fasilitas akan Ayah sita, kehidupan kamu akan mulai Ayah kontrol, melanjutkan kuliah di Amsterdam, dan dijodohkan dengan anak salah satu rekan kerja ayah."
"Hah?" sebut Rainer tak percaya.
"Ya lagipula bisa saja kamu jatuh cinta pada gadis manis ini, Rainer." ujar Alfonso tanpa nada mengejek ataupun bercanda, namun tetap tak ada kesan serius di sana.
"GAK!" tolak Rainer dan Alvero bersamaan. Lama kelamaan sikap Rainer dan Alvero yang sama-sama menentang ini jadi terlihat lucu. Dan itu lumayan mengobati rasa bersalah Chelsea.
*
"Udah terlanjur gini, Kak. Kakak masih betah marah sama Chelsea?" tanya Chelsea karena sudah 15 menit ia lewati dengan keheningan di dalam mobil.
"Kamu bisa nolak, Sea! Harusnya Kakak yang tanya, kenapa sih kamu betah berurusan sama dia?!" Alvero cukup frustasi menghadapi pemikiran tak terprediksi adiknya ini.
"Enggak gitu, Kak. Lagipula Chelsea cuma ngatur dia boleh ini itu atau enggak. Nggak lebih kan."
"Menurut kamu dengan ucapan bokapnya tadi, dia nggak berharap lebih, hah? Tiba-tiba dijodohin sama dia aja."
Alvero menghela napas dan memijat pelipisnya pelan ketika kemacetan jalan masih menambah deritanya hari ini. "Kadang Kakak tuh bingung bisa kuat ngadepin kamu bertahun-tahun. Kamu berapa tahun sih, Sea?"
"Lima belas.."
"Lima belas udah mau ngurusin bocah berandalan, Sea?"
"Yaudah sih, kalau dia macem-macem Kakak tinggal tonjokin. Selesai." canda Chelsea ditanggapi serius sang Kakak.
"Kakak pegang omongan kamu."
"Ih kakak apaan sih, serius banget! Sini Kakak kalau bisa duel sama Chelsea aja!"
"Udah pasti kalah diem deh," remeh Alvero
"Dih, mana buktinya?"
"Nih..! nih..! Nih...!" Alvero mencubiti pipi adiknya.
"Kak Alver! Iya-iya kalah! Ah kakak! Sakit!"
"Kalah kan langsung."
"Iya-iya, kalah. Chelsea emang kalah terus kalau sama Kakak."
"Dih najis, senjatanya ngambek." cibir Alvero mulai mencubit gemas pipi adiknya lagi.
