Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#9

Suara klakson yang dibunyikan berulang berhasil mengganggu kegiatan sarapan Alvero. Chelsea yang baru turun juga dibuat heran oleh si pelaku pengganggu.

"Bukain sana, Sea. Tamu bisa bel malah klakson-klakson gajelas." kesal Alvero yang masih sibuk mengunyah roti nya.

"Kakak bisa bukain malah nyuruh-nyuruh gajelas." cibir Chelsea balik tapi tetap beralih menuju pintu utama.

Mobil sport putih yang tak asing terparkir tepat di depan gerbang. Tak menemukan sang pengemudi dari sana, Chelsea berjalan mendekat.

Kak Rainer?

Chelsea berhenti di sisi mobil dan jendela perlahan terbuka. Menampakkan wajah cowok yang akhir-akhir ini bermasalah dengannya juga sang Kakak.

"Kak Rainer?"

Kalau boleh jujur Rainer sedikit terkesima melihat gadis itu muncul dengan rambutnya yang masih diikat asal. Memang berantakan tapi berhasil menunjukkan kecantikan alami gadis itu. Walaupun tak bisa disangkal kalau setiap hari gadis itu memang selalu nampak cantik.

"Mau masuk?" tanya Chelsea akhirnya karena Rainer tak kunjung membuka suara.

"Eh- udah deh, gak usah lama-lama. Di klaksonin daritadi bukannya bukain. Gece, gw gak mau buang-buang waktu nungguin lo." bentak Rainer menutupi kekagumannya.

"Maaf, Kak. Tapi saya belum siap ke sekolah. Rambut masih berantakan, masih belum pakai rompi, sepatu, saya juga belom sarapan. Atau mungkin lebih baik kalau Kak Rainer ikut sarap-"

Rainer berdecak, malas mendengarkan pidato barusan. Sudah cukup tadi ia mendengar omelan orang tua nya. Tak perlu lagi tambahan dari gadis ini. "Gak usah banyak bacot. Gw tunggu lima menit dan lo udah harus siap. Kalo enggak, lo yang nerima akibat nya."

Chelsea terdiam. Pikiran nya terfokus pada ancaman Rainer.

Akibat nya? Apa akibat yang dimaksud Rainer itu soal pekerjaan orang tua nya?

"Gw yakin lo ngerti. Lima menit dari sekarang." lanjut Rainer berlagak mengecek jam di tangan nya. Sedangkan Chelsea yang tersadar bergegas kembali memasuki rumah.

Chelsea berlari menaiki tangga untuk mengambil rompi, juga segala perlengkapan sekolah yang belum dipersiapkan nya. Dengan cepat sesuai perintah Rainer, Chelsea kembali ke ruang makan untuk pamit.

"Ma, Kak, Chelsea duluan ya. Udah ditunggu Kak Rainer di depan." ucapnya sembari mengancingkan rompi cepat.

"Ya sudah sana." sahut sang Mama singkat dan beralih ke dapur.

"Eh tunggu!" tahan Alvero yang tentu saja tak lantas membiarkan cowok lain, bahkan cowok brandal semacam Rainer untuk berangkat bersama adik nya. "Gak ada kesepakatan kamu berangkat bareng dia ya! Lagian kamu belom sarapan. Rambut juga gajelas. Kamu-" omelan Alvero terpotong karena Chelsea mencium pipinya seperti kegiatan pamit biasa nya dan langsung berlari keluar.

"Nanti aja ngomelnya, Kak. Chelsea pamit." canda Chelsea tak ingin meninggalkan bahan perang sembari berlari keluar untuk menyempatkan diri memakai sepatu nya.

Chelsea melihat jam di tangan nya. Sudah lebih dari empat menit. Ia menghampiri mobil dan membuka pintu penumpang. Dengan napas terengah, Chelsea kembali membuka suara, "Duduk di depan atau belakang, Kak?"

"Depan lah! Lo kira gw supir lo?" balas Rainer lagi-lagi kasar.

Kali ini Chelsea membiarkan beberapa detik nya ia buang sia-sia. Ia sedikit tertegun, seperti nya ia harus mulai membiasakan diri menerima berbagai tanggapan kasar dari cowok ini.

Chelsea memasuki mobil sesuai perintah Rainer. Dan tanpa ia sadari, sepasang mata memperhatikan melaju nya mobil dengan harapan agar Chelsea mampu menghadapi bocah nakal seperti Rainer.

"Kak, saya boleh nanya?" Chelsea membuka obrolan setelah mobil mulai meninggalkan lingkungan rumah nya.

"Apa?"

"Harusnya jawabannya boleh atau enggak, bukannya apa."

"Bacot. Jadi nanya ga?!"

Ia spontan meringis. Salah sekali ia berbasa-basi dengan Rainer. "Iya maaf. Umm... kenapa Kak Rainer jadi jemput saya? Kayak nya hal ini nggak masuk dalam kesepakatan." ujarnya sesuai fakta, menyuarakan rasa penasaran dan sedikit tidak nyaman.

"Gak usah PD! Di kesepakatan Ayah minta lo ada di sekitar gw kalo gw nggak di rumah. Dan ayah barusan ngancem kalau di mobil gw nggak bareng lo, mobil gw bakalan disita. Jelas?"

Chelsea mengangguk paham tapi lanjut bertanya, "Berarti selama sebulan kedepan, saya bakal pergi bareng kakak terus?"

"Ya kalau libur enggak lah, bego."

"Ya- maaf." sebutnya spontan terlalu khawatir Rainer tersinggung saat laki-laki di samping nya ini samasekali tidak peduli.

Chelsea tak melanjutkan percakapan lagi. Ia memilih untuk merapikan rambutnya. Ikatan asal tadi dilepaskannya untuk membuat ikatan yang lebih rapi dan pantas untuk ke sekolah.

Hanya ponytail seadanya karena ia tak membawa perlengkapan lain untuk membantu nya menata rambut. Dan rasanya aneh kalau menanyakan barang semacam itu pada cowok. Apalagi cowok itu Rainer si bad boy sekolah.

Tanpa Chelsea sadari, sejak awal Rainer memperhatikan dirinya merapikan rambut. Kalau boleh jujur Rainer suka gadis dengan rambut panjang, apalagi kalau rambutnya ditata alami seperti ini.

Sayangnya yang kita hadapi kini adalah seorang Rainer, maka dibandingan pujian ia lebih siap memberikan hujatan.

"Udah berapa kali ganti warna rambut lo, badprincess?" tanyanya menekankan panggilan.

"Eh? Enggak pernah. Ini warna asli." jawabnya menunjuk rambut yang memang berwarna kepirangan.

"Asli? Nyokap bokap lo aja item pekat. Kecuali kalau lo dipungut di jalan." cibir Rainer ringan.

Berhasil membuat Chelsea terdiam walaupun tak ada niat lebih kecuali membangun tembok pembatas antara kedua nya.

Benar kan ucapan Rainer, memang Chelsea anak pungut. Ya halusnya ia diadopsi, tapi tetap saja itu poinnya.

Rainer memperlambat laju mobilnya. Akhirnya menghentikan mobil di sisi jalan. "Turun. Gw nggak mau ada yang tau tentang lo."

Untuk beberapa saat, Chelsea sedikit tersentak. Memang segitu memalukannya untuk terlihat bersama gadis seperti nya?

Chelsea memilih mengacuhkan hal itu. Sadar jika yang dihadapi nya ini seorang Rainer. Jika Ayah nya saja tidak mampu mengubah Rainer, bagaimana Chelsea bisa dengan mudah memintanya melakukan yang sebaliknya.

"Yaudah," potong Rainer karena Chelsea tak kunjung undur diri.

Mobil Rainer akhirnya terparkir sempurna di lapangan parkir Tarsa. Ia keluar, diikuti Chelsea. Mengabaikan banyaknya pasang mata yang penasaran juga terkejut.

"Ner! Lah, ini bukannya cewek yang lo tawar kemaren?" tanya seorang cowok yang nampaknya dari sekolah undangan dengan tatapan menilai pada Chelsea.

"Tadi malem abis gw pake," celetuk Rainer kelewat ringan.

Chelsea menahan napasnya. Ia tersentak, tidak terima dengan jawaban Rainer. "Kak-"

"Apa?" selak Rainer cepat dengan maksud agar Chelsea tak ikut campur.

Ia pun hanya bisa diam. Berhadapan dengan Rainer seperti melatihnya agar lebih tahan berdiam diri menghadapi semua yang terjadi.

"Saya mau ke kelas aja, Kak. Makasih tumpangannya." putusnya tanpa memedulikan lagi persetujuan Rainer.

Pemikirannya mulai melayang dan kembali jatuh pada dirinya. Belum ada satu jam mendampingi Rainer, sudah segini rasa sakit yang diterimanya. Apa ia kuat menghadapi sebulan selanjutnya?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel