#6
"Chelsea kenapa lagi, Ver?" tanya Ditto yang baru memasuki basecamp pada Alvero. Tim Alvero baru saja menyelesaikan babak semifinal. Untungnya mereka unggul lima belas poin sehingga tak perlu pasrah meraih juara tiga di kandang sendiri.
"Oh iya, udah sore. Mana HP gw?" Alvero berdecak, baru ingat kalau adiknya itu tidak bisa ditinggal tanpa diberi pesan dulu. Dengan deretan masalah baru yang mereka hadapi akhir-akhir ini, Alvero tidak mau mengambil resiko lagi. Lebih baik Chelsea menunggunya yang harus membantu persiapan pertandingan lanjutan besok.
Beralih dari meja, Alvero berhasil menemukan ponsel nya di loker. Basecamp basket memang menyiapkan loker-loker untuk para anggota meletakkan seragam, handuk kecil, sepatu basket, ataupun peralatan yang menunjang permainan basket mereka.
"Eh iya, tadi lo nanya apa?" tanya Alvero setelah selesai mengirimkan pesan.
"Adek lo kenapa? Diemnya hari ini beda."
"Aduuu, pengen deh diperhatiin seharian sama yayang Ditto." ledek Cornor berhasil menciptakan suasana ringan setelah rentet pertandingan panas barusan.
Alvero diam, memikirkan kemungkinan yang membuat adiknya nampak seperti yang Ditto bilang. Apa karena keisengannya tadi pagi? Saat memaksa Chelsea memberi semangat-
"Eh tapi, tadi sih gw liat dia ngobrol sama anak baru itu. Gak tau sih juga ngobrol atau gimana."
Ucapan Richard mengejutkan Alvero. Anak baru itu lagi yang berurusan dengan Chelsea?
"Anak baru yang tadi pagi kita bahas?"
"Iya. Tapi gw nggak tau. Bisa aja salah liat atau emang mereka lagi kepapasan aja."
Alvero jadi malas melakukan niatnya membantu persiapan. Ia melempar semua barang yang tadi dibawanya ke dalam loker dan dengan cepat mengunci loker tersenyum. "Yaudah, di sini apa lagi yang mau disiapin? Gw mau nyari adek gw."
"Jah, Ver, jangan langsung ngegas sih. Kasian adek lo, kerjaannya dengerin omelan lo mulu." bela Conor
"Bacot."
Alvero mencari adiknya itu dengan kesal yang memenuhi diri, sehingga tanpa sadar ia membanting pintu ruang latihan MD. Alvero mendapati adiknya sendirian sedang memperagakan tariannya untuk acara penutup yang diundur menjadi lusa.
"Eh?" Chelsea cukup terkejut mendengar suara bantingan pintu.
"Bisa nggak sih gak susah dicariin di sekolah? Lama-lama gw bikin homeschooling lo! Udah jam berapa ini hah? Nggak bisa liat jam atau persediaan jam di sekolah emang kurang?"
"Tapi kan... Kakak yang minta aku nungguin kakak pulang. Daripada aku cuma ganggu di basecamp karena nggak bisa bantu apa-apa, kan mending aku disini. Lagian aku juga sendiri." bela Chelsea tak mau lantas dipersalahkan sepihak.
Alvero yang sudah lelah seharian beraktivitas nampaknya diberi alasan baru untuk merasa kesal. Benar memang apa yang disebutkan Chelsea, hanya saja caranya tidak sesuai dengan Alvero.
"Apa, Sea? Coba ulangin kamu ngomong apa."
Gadis itu balik mendengus kesal. Kakaknya kenapa berkali-kali lipat lebih menyebalkan saat ia lelah sih? Niatnya membangun mood Alvero spontan diurungkannya jika seperti ini. "Tau ah, aku capek ngadepin kakak kalau lagi marah-marah. Aku duluan." Chelsea bergegas meninggalkan ruang MD setelah menyambar tasnya.
Ia berjalan cepat tanpa menghiraukan Alvero yang terus memanggil namanya. Chelsea memilih untuk pulang sendiri dibanding harus semobil dengan kakaknya kalau dalam keadaan berdebat seperti ini.
Angin yang berhembus mengacaukan rambutnya membuat Chelsea memilih untuk mengikatnya daripada membuatnya kusut nanti. Tak sadar kelakuannya ini mengekspos bahu kiri atas Chelsea yang mencetak jelas tanda lahirnya. Tanda tak berbentuk jelas yang tak disukai Alvero juga dirinya untuk suatu alasan yang bisa dipahami.
Melewati parkiran sekolah yang lenggang juga keluar dari gerbang sekolah, Chelsea berniat menambah kecepatan langkahnya demi menjauh dari Alvero. Dan tepat ketika ia akan melangkah menyebrangi jalan, tangannya tertarik mundur. Keterkejutannya ditambah dengan mobil yang melaju kencang persis sepersekian meter di hadapannya.
"Lo kalo nyari perhatian tuh kira-kira! Ini nyari mati namanya!" bentak seseorang yang masih menahan lengannya.
"Ma-maaf, Kak." ucapnya terbata masih kental keterkejutan setelah menyadari bahwa Rainer lah yang menolongnya.
"Lo udah nggak waras atau gimana sih? Jelas-jelas mobil kenceng banget, lo masih niat lari? Itu mata buat apaan? Pajangan?" lanjutnya sembari melepaskan pegangannya dari Chelsea.
"Sea!" Panggilan itu membuat kedua insan menengok ke arah suara. Tentu saja Chelsea lebih dulu mengenali suara itu. Alvero, kakaknya.
Untuk saat ini, Chelsea berterima kasih atas kehadiran kakaknya. Ia tidak tau bagaimana menanggapi atau pergi dari hadapan Rainer.
Alvero menghampiri Chelsea sambil menatap sinis ke arah Rainer tanpa mengucapkan apapun.
Alvero menarik tangan adiknya beralih dari situ, namun belum berapa langkah, tangan Chelsea yang dilepaskan secara paksa dari genggamannya membuatnya berbalik. Ia cukup kaget karena yang menarik tangan Chelsea adalah Rainer. Apa maksudnya?!
"Chelsea pulang bareng gw," ucap Rainer percaya diri, membuat dua orang di hadapannya terperangah.
Senyum remeh spontan terbentuk sempurna di wajah Alvero. "Pulang bareng lo bilang?"
"Ya siapa tau bisa sekalian-"
"Nggak usah! Makasih, Kak." potong Chelsea seraya melepaskan genggaman Rainer. Secepatnya mengajak Alvero pergi dari sana sebelum terjadi baku pukul lagi.
"Jangan sampe nyesel berani ikut campur urusan gw." sebut Alvero sebelum benar-benar berbalik menuruti tarikan adiknya.
*
"Lo ada masalah apa sih sama tuh cowok?" Alvero masih semangat bertanya selama Chelsea juga menutup mulut.
Chelsea menghela nafas dan menghempaskan tubuhnya di kasur. "Chelsea udah bilang gak ada masalah apa-apa, Kak. Kakak mau nanya berkali-kali juga nggak guna kalau yang ditanyain itu-itu doang. Orang Chelsea gak tau." dalih Chelsea kesal, berhasil membantunya memasang topeng untuk kebohongannya kali ini.
"Oh gitu kalau kakaknya tanya, jawabnya begitu." ujar Alvero sarkas.
"Iya lah, Kak Alver nya juga begitu. Untung Kak Alver tuh cantik, jadi masih Chelsea akuin sebagai kakak." canda Chelsea sengaja mengalihkan pembicaraan.
Emosinya yang tadi sempat tersulut kembali teredam karena sikap menggemaskan adiknya.
Akhirnya untuk membalas ledekan adiknya, Alvero mengelitik perut Chelsea. Membuat gadis itu memekik meminta ampun.
"Enak aja! Kakak ganteng gini, dibilang cantik."
"Aaaa kakak!! Iya-iya ampun! Kak Alver!!"
Puas mengerjai adiknya, Alvero berhenti setelah mendengar dering ponselnya. "Bentar, gw ambil HP dulu."
Tak menunggu persetujuan karena memang Chelsea tak akan memberi tanggapan, Alvero beralih ke kamarnya. Meninggalkan Chelsea yang masih menyempatkan diri beristirahat dan mengambil napas sebelum melanjutkan tugasnya.
"Begini ya kelakuan anak gadis? Pulang sore bukannya rapikan rumah! Malah enak-enak tiduran?!" bentakan itu mengejutkan Chelsea. Ia langsung mengubah posisinya menjadi duduk.
"Maaf, Ma, Chelsea-"
"Kalau dikasih tau jangan menjawab Chelsea! Kamu itu anak gadis-"
"Udah sih, Ma. Chelsea baru pulang bareng Alvero tadi. Biarin istirahat sebentar. Seharian ini kegiatan kita padet." sela Alvero mencegah lanjutan omelan Mama nya.
"Chelsea yang salah, Kak." sanggah Chelsea karena bukan tidak mungkin Kakak nya ikut terkena imbas.
"Nah itu sadar kalau kamu yang salah. Kamu juga Alvero, nggak terus-terusan membela dia." ucap mama nya sinis.
"Tapi Chelsea adik Alvero, Ma. Chelsea selalu ngikutin apa yang Mama bilang, padahal Mama juga yang sering nyalahin Chelsea tanpa kejelasan. Dan- ah udah lah, nggak ada abisnya ngebela Chelsea depan mama. Alvero nggak ngerti kenapa mama selalu kayak gini sama Chelsea." Alvero beralih meninggalkan dua perempuan yang ia sayangi itu. Tak tau aksinya satu ini ikut juga meninggalkan rasa bersalah yang kental melingkupi Chelsea.
*
Jam telah menunjuk angka tujuh malam, tak begitu diperhatikan Chelsea sebenarnya. Ia lebih fokus membawa keranjang berisi baju kotor ke ruang cuci. Tugas sehari-harinya. "Kak Alver mau kemana?" tanyanya tak sengaja berpapasan dengan sang Kakak.
"Kepo."
"Ish Kakak mah. Serius."
"Mau ketemu calon pacar. Ya enggak lah, mau ngumpul sama anak-anak."
"Kalau Kak Alver bilang mau ketemu calon pacar juga aku ga percaya. Mana ada yang mau sama Kak Alver. Cantik-cantik galak." ledeknya berlanjut tawa melihat Alvero yang malas menanggapi.
"Udah deh minggir, gw mau jalan, Sea. Udah telat." usir Alvero menggeser Chelsea yang menghalangi jalan.
"Tapi pulangnya jangan malem-malem, bawa mobilnya hati-hati, jangan bandel-bandel, jangan lupa makan, jangan pernah cobain rokok atau-" ucapan Chelsea terhenti karena yang membekap mulutnya.
"Iya, Seesea! Udah ah gw mau berangkat." pamit Alvero lalu mengecup dahi adiknya. "Jangan kebanyakan belajar, kasian tuh otak."
Gadis itu mengangguk diiringi senyum merekahnya. Tak sadar jika senyum malam ini bisa saja menjadi yang terakhir untuk kakak beradik Bagaskoro ini.
