Siapa yang Dilihat Bu Fatma?
Rahasia dokter Andi
Part 6
***
Tok … tok … tok ….
"Assalaamu'alaikum."
Tok … tok … tok ….
"Lulu … assalaamu'alaikum."
Terdengar suara orang memanggil namaku sambil mengetuk pintu depan, ketika aku sedang menyiapkan sarapan.
"Wa'alaikum salam. Sebentar," jawabku, sembari bergegas menuju ke pintu depan. Tampak Bu Fatma sedang berdiri seraya tersenyum, saat pintu dibuka.
"Eh … Bu Fatma. Tumben Ibu pagi-pagi banget sudah sampai sini. Ada apa ya, Bu? Mari silakan masuk, Bu," kataku, sembari mempersilakan Bu Fatma masuk dan duduk di ruang tamu.
"Lu, hari ini Ibu mau ke Dinas Kesehatan Kabupaten. Mau ngurus perpanjangan izin RB. Soalnya besok kan hari libur, jadi Ibu pergi sekarang. Mungkin pulangnya sampai sore. Ibu belum sempat izin sama dokter Andi kemarin. Tadi juga beberapa kali Ibu coba telepon, HP beliau nggak aktif. Sebab infonya mendadak, baru tadi malam Ibu diberitahu sama Kasi Kesga (Kepala Seksi Kesehatan Keluarga). Nanti tolong kamu sampaikan ya, karena Ibu harus berangkat pagi. Sedangkan dokter Andi tadi Ibu lihat belum datang ke puskesmas," jelas Bu Fatma, setelah dia masuk dan duduk di ruang tamu.
"Baik, Bu. Nanti akan saya sampaikan pesan Ibu ke dokter Andi. Sebentar saya bikin air minum teh hangat dulu ya, Bu," kataku, sambil beranjak dari duduk. Tapi Bu Fatma buru-buru mencegahnya.
"Eh … nggak usah repot-repot, Lu. Ibu nggak akan lama kok. Lagipula tadi sudah sarapan sama minum air teh hangat di rumah," ujar Bu Fatma seraya beranjak dari duduk.
"Ibu mau lihat-lihat rumah kamu ya, Lu. Boleh kan? Soalnya Ibu belum pernah lihat dalamnya perumahan ini. Waktu ditempati dokter Andi, Ibu nggak enak kalau mau lihat-lihat."
Aku tersenyum. "Oh … iya, Bu. Silakan. Tentu saja boleh. Bukan rumah saya, tapi perumahan dokter," kataku mengingatkan, seraya beranjak dari duduk.
"Ya sama saja. Kan kamu sekarang yang nempati, Lu, kata Bu Fatma sembari tersenyum."
Bu Fatma kemudian berjalan menuju ke dapur. Aku mengikutinya dari belakang.
"Lumayan luas juga tempatnya ya, Lu. Sudah lengkap lagi ruangannya. Semua ruang ada," kata Bu Fatma, sambil melihat-lihat semua ruangan yang ada di dalam perumahan yang aku tempati.
"Iya, Bu. Cukup kalau hanya untuk tempat tinggal keluarga kecil," kataku.
"Ya sudah, kalau gitu Ibu berangkat sekarang ya, Lu. Jangan lupa nanti tolong sampaikan ke dokter Andi pesan Ibu tadi," kata Bu Fatma, setelah sekitar sepuluh menit beliau selesai melihat semua ruangan yang ada di dalam 'rumahku'. Dia segera menuju ke mobilnya yang terparkir di halaman depan.
Aku mengangguk, kemudian mengantar Bu Fatma sampai ke pintu depan.
"Iya, Bu. Nanti saya langsung sampaikan ke dokter Andi kalau beliau sudah datang."
"Enak kalau tinggal berdua di sini ya, Lu. Jadi ada teman untuk ngobrol. Nggak kesepian," kata Bu Fatma, sebelum dia naik ke mobilnya.
Sejenak aku tertegun, lalu mengernyitkan dahi mendengar ucapan Bu Fatma. Tak mengerti apa maksudnya.
[Tinggal berdua di sini? Punya teman ngobrol? Siapa ya, yang dimaksud oleh Bu Fatma? Apa Bu Fatma nggak tahu ya, kalau aku hanya tinggal sendirian di perumahan ini?]
Dengan masih merasa bingung, aku segera sarapan nasi goreng yang tadi aku buat. Karena jam di dinding telah menunjukkan hampir pukul tujuh pagi, waktunya aku berangkat ke puskesmas sebentar lagi.
***
Tok … tok … tok ….
Terdengar pintu ruang KIA diketuk, saat jam istirahat.
"Masuk," kataku.
Aku sedang membereskan beberapa buku register. Tak ada Bu Fatma, aku jadi lumayan sibuk. Dari datang tadi pagi, sama sekali aku belum bisa keluar ruangan. Sebab kunjungan pasien KIA agak ramai. Ada beberapa ibu hamil dan akseptor KB yang harus dilayani.
Biasanya aku dan Bu Fatma melakukan pekerjaan di ruang KIA berdua. Kadang aku yang melayani pasien dan Bu Fatma yang mencatat di buku register. Kadang juga sebaliknya, Bu Fatma yang melayani pasien dan aku yang mencatat.
"Apa Mbak Lulu masih sibuk?" tanya dokter Andi. Ternyata dokter Andi yang barusan mengetuk pintu. Dia kemudian masuk ke dalam ruangan KIA.
"Nggak kok, Dok. Sudah selesai semua. Tinggal membereskan buku register."
Dokter Andi lalu duduk di salah satu kursi yang ada di ruangan KIA.
[Ada apa ya, kok tumben banget dokter Andi masuk ke ruang KIA]
"Maaf, Dok. Ada apa ya?" tanyaku.
"Nggak ada apa-apa kok, Mbak. Cuma mau nanya, hari ini Mbak Lulu mau pulang nggak? Besok hari Sabtu sama Minggu kan libur. Kalau Mbak mau pulang, bareng saya aja. Biar nggak kelamaan nunggu bus-nya. Saya juga mau ke provinsi nanti siang," kata dokter Andi.
Beberapa detik aku bergeming. Aku memang berencana akan pulang siang nanti, sepulang dari kerja. Lumayan bisa liburan selama dua hari di rumah, sebab hari Sabtu besok kebetulan tanggal merah. Tapi aku ragu menerima tawaran dokter Andi, untuk pulang bersamanya.
"Mbak Lulu, ditanya kok malah bengong. Gimana, mau nggak nanti pulang bareng saya? Biar saya ada teman ngobrol di jalan, jadi nggak ngantuk."
Setelah beberapa saat aku berpikir, akhirnya aku mengangguk, menerima tawaran dokter Andi untuk pulang bersamanya.
"Tapi nanti sebelum berangkat saya mau ganti baju dulu ya, Dok. Nggak lama kok, nggak sampai sepuluh menit. Soalnya nggak enak aja, baju ini udah 2 hari dipakai."
"Iya, Mbak. Nggak apa-apa. Saya akan tunggu sampai Mbak Lulu siap berangkat."
Kami kemudian berbincang beberapa lama, sembari menunggu waktu jam kerja berakhir. Dari obrolan itu aku tahu, kalau ternyata rumah orang tua dokter Andi juga di provinsi. Tak begitu jauh jaraknya dengan rumah orang tuaku. Pantas saja dia selalu bilang akan ke provinsi. Rupanya rumahnya ada di sana.
Ketika jam pulang tiba, aku segera menuju ke perumahan untuk berganti pakaian. Sementara dokter Andi duduk menunggu di ruang tamu. Setengah jam kemudian, mobil yang kami kendarai sudah melaju di jalan raya.
Sepanjang perjalanan, kami hanya saling diam. Ternyata benar apa yang aku dengar selama ini dari teman-teman tentang dokter Andi. Kalau dia orangnya memang pendiam, tak banyak bicara. Setelah sekitar satu setengah jam menempuh perjalanan, akhirnya kami sampai di depan rumahku.
"Terima kasih, Dok. Sudah mengantar saya pulang," kataku.
"Sama-sama, Mbak Lulu. Saya juga ada teman sepanjang jalan tadi. Jadi nggak ngantuk."
"Dokter mau singgah dulu di rumah saya?" tanyaku, sebelum aku turun dari mobilnya.
"Nggak, Mbak. Terima kasih. Lain kali saja."
Aku lalu turun dari mobil, dan segera masuk ke rumah, setelah dokter Andi pulang dan bayangan mobilnya tak terlihat lagi dari pandangan.
***
Bersambung