Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Menemani dokter Andi

Rahasia dokter Andi

Part 7

***

Hari Minggu pagi, sekitar pukul 9 dokter Andi datang ke rumah. Dia berpakaian rapi, seperti akan datang atau baru saja menghadiri suatu acara resmi. Aku sedang duduk santai di teras depan rumah dengan ibu. Tentu saja aku merasa kaget, karena dokter Andi tak memberitahu sebelumnya.

"Selamat pagi, Mbak Lulu, Bu," sapa dokter Andi ramah, setelah dia berada di depan kami.

"Selamat pagi, Dok," jawabku dengan canggung. Karena tak biasanya ada teman lelaki yang datang berkunjung ke rumah. Ibu mengangguk sambil tersenyum.

"Apa saya mengganggu?" tanya dokter Andi.

Aku dan ibu saling berpandangan. "Nggak, Dok. Sama sekali nggak mengganggu. Mari silakan masuk, Dok," kataku sembari beranjak dari duduk dan mempersilakan dokter Andi masuk ke ruang tamu.

"Di sini saja, Mbak. Saya nggak lama kok," kata dokter Andi. Dia lalu duduk di kursi yang ada di sebelah ibu, setelah dipersilakan beliau.

"Kalau Mbak Lulu nggak keberatan, saya mau ajak Mbak Lulu ke undangan pernikahan teman saya," kata dokter Andi kemudian, membuat aku mengerutkan kening.

Apa aku nggak salah dengar? Bukankah selama ini aku dan dokter Andi jarang sekali bicara, meskipun kami satu tempat kerja. Kalaupun kami saling bicara, itu hanya sebatas antara seorang pimpinan dan staf. Nggak lebih dari itu. Kenapa tiba-tiba sekarang dokter Andi mau mengajak pergi ke undangan pernikahan temannya? Aku membatin seraya merasa heran.

"Lulu, kamu kok malah bengong gitu? Itu ditanya sama dokter Andi. Mau nggak kamu diajak ke undangan pernikahan temannya," kata ibu, sambil menepuk tanganku, membuatku kaget.

"Oh … eh … ke undangan nikahan, Dok?" tanyaku bodoh.

Ibu terlihat mengerutkan dahi, sembari memandangku. Mungkin beliau heran melihat aku yang salah tingkah. Sedangkan dokter Andi hanya tersenyum, mendengar pertanyaanku yang terkesan bodoh.

"Iya, Mbak. Kalau Mbak Lulu nggak sedang sibuk, saya ingin mengajak Mbak Lulu nemani saya untuk menghadiri acara pernikahan teman," ulang dokter Andi.

"Kapan, Dok? Maksud saya jam berapa?" tanyaku. Entah kenapa aku menanyakan hal itu. Padahal dalam hati aku sama sekali tak berniat untuk pergi ke mana pun. Aku ingin menghabiskan waktu libur dengan beristirahat total di rumah.

"Nanti jam 10, Mbak. Makanya saya datang ke sini sekarang, agar Mbak Lulu bisa bersiap-siap dulu."

"Ya sudah, sekarang kamu siap-siap saja dulu, Lu. Kasihan kan, kalau dokter Andi kelamaan nunggu," titah ibu tiba-tiba, seakan memaksa, membuatku tak bisa menolak.

Aku hanya bisa mengangguk. "Iya, Bu," kataku pasrah.

"Pak Dokter, saya tinggal ke belakang dulu ya. Silakan dilanjutkan ngobrolnya dengan Lulu," pamit ibu. Beliau kemudian beranjak dari duduk dan masuk ke dalam rumah.

"Saya buatkan minuman dulu ya, Dok," kataku, setelah ibu pergi ke belakang meninggalkan kami.

"Nggak usah, Mbak. Lebih baik kalau sekarang Mbak Lulu siap-siap aja, saya tunggu di sini."

"Baik, Dok. Saya ganti baju dulu ya."

Aku segera masuk ke rumah dan pergi mandi, meskipun sebelum salat subuh tadi sebetulnya aku sudah mandi. Kemudian aku berganti pakaian dan sedikit berdandan, memoles pipi dengan bedak padat dan mengoleskan sedikit lipstik. Setelah merasa siap, aku pergi keluar bersama ibu, menemui dokter Andi yang masih menunggu di teras depan rumah.

"Kami berangkat dulu, Bu. Saya izin untuk membawa Mbak Lulu," pqmit dokter Andi dengan sopan.

Ibu tersenyum menanggapi. "Silakan, Dok. Hati-hati di jalan. Nanti pulangnya tolong jangan sampai kesorean," pesan ibu.

Kami pun segera naik ke mobil dan perlahan mobil dokter Andi meninggalkan halaman rumah.

***

Sepanjang perjalanan, kami saling diam, sama seperti ketika kami pulang bersama hari Jumat kemarin. Dan aku tak punya keberanian untuk memulai percakapan.

"Tempat acaranya masih jauh ya, Dok?" tanyaku, memecah keheningan di antara kami.

"Nggak, Mbak. Sebentar lagi kok, setelah belokan di depan sana," jawab dokter Andi, sembari jari telunjuknya menunjuk ke arah jalan depan.

Ternyata tempat acara pesta pernikahan teman dokter Andi itu, berlangsung di sebuah gedung pertemuan. Ketika kami sampai, tampak sudah banyak tamu undangan yang datang. Mobil dan sepeda motor sudah banyak yang diparkir di halaman gedung pertemuan tersebut.

Dokter Andi segera memarkirkan mobilnya dan kami bergegas menuju ke dalam gedung.

"Wah … dokter Andi datang juga rupanya," kata seorang laki-laki yang sedang berdiri bersama dengan 3 orang lainnya, dua perempuan dan seorang laki-laki. Belakangan aku tahu, kalau mereka adalah pasangan suami istri. Dokter Rudi suami dokter Putri, dan dokter Haris suami dokter Ririn.

"Kapan mau nyusul kami, Ndi?" tanya dokter Putri, sambil melihat ke arahku.

Kulihat dokter Andi hanya tersenyum menanggapi. Dia kemudian memperkenalkan aku kepada keempat orang temannya itu.

"Kenalkan, ini Lulu. Dia …."

Belum sempat dokter Andi melanjutkan kalimatnya, dokter Ririn sudah memotong.

"Dia calon istri kamu kan maksudnya?" tanya dokter Ririn. Aku dan dokter Andi saling berpandangan, tak tahu harus menjawab apa.

"Udah, jangan pada bingung gitu. Jadi kapan nih, kalian mau kirim kartu undangan? Ntar keburu kiamat loh," tanya dokter Ririn lagi sembari terkekeh. Diikuti oleh ketiga teman dokter Andi yang lain. Aku hanya tersenyum menanggapi.

"Iya, Ndi. Tinggal kamu sendiri loh yang belum nikah di angkatan kita. Memangnya mau nunggu apa lagi. Calon istrinya sudah ada di sebelah," kata dokter Putri mengingatkan.

"Tenang saja, nanti juga kalian semua akan aku kasih tahu kapan waktunya, ya nggak, Lu?" tanya dokter Andi padaku, seraya melingkarkan tangannya di pundakku secara tiba-tiba.

Tentu saja aku sangat terkejut dibuatnya. Karena tak menyangka sama sekali. Aku hanya bisa tersenyum bingung.

Dokter Andi dan keempat orang temannya lalu mengobrol dengan seru. Mereka tak segan melibatkan aku di dalam obrolan mereka. Pasti karena keempat teman dokter Andi mengira, kalau aku memang benar calon istri dokter Andi.

"Aku tinggal dulu ya, kami mau icip-icip makanan," pamit dokter Andi kepada teman-temannya. Dia lantas mengajakku ke salah satu pondokan yang ada di dalam gedung.

Saat akan mengambil piring, tiba-tiba aku melihat perempuan yang waktu itu berdiri di bawah pohon beringin di rumah Bu Narti, kader Posyandu Mawar. Dia sedang berdiri di antara tamu undangan. Matanya tajam menatapku. Wajahnya terlihat sangat menakutkan, sampai merinding aku dibuatnya.

Sejenak aku tertegun. Siapa sebenarnya perempuan itu? Kenapa dia memandangku dengan tatapan seolah tak suka padaku? Aku membatin.

"Mbak Lulu, ayo diambil makanannya," kata dokter Andi, sambil menepuk tanganku pelan. Membuatku agak terkejut.

"Oh … eh … iya, Dok," kataku.

Selesai mengambil makanan, aku menoleh ke arah dimana perempuan misterius tadi berdiri. Tapi dia sudah tak ada lagi di sana.

***

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel