Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Rasa nyaman

Bab 5 Rasa nyaman

Reta masuk begitu saja ke dalam mobil, tentu dengan sambutan senyum hangat dari sang pemilik. Setelah pintu tertutup, mobil itu segera melaju melewati tempat di mana Reta bekerja.

“Kamu mau aku antar ke mana nih? Kamu tunjukkan saja jalannya,” pinta Radit, dia tidak mungkin mengantar Reta tanpa tahu alamat gadis itu.

“Rumah aku jauh, kamu masih mau antar?”. Tanya Reta penasaran.

“Kenapa tidak, lagi pula apa salahnya?” ujar Radit tidak kalah penasaran. Reta pun hanya tersenyum ke arah Radit.

Hati Radit berbunga-bunga, itu hanya sebatas senyum tapi kenapa dia sudah merasa seperti di atas awan, “Apa gerangan yang terjadi dengan hatiku?” lirih Radit. Dia benar-benar bingung sebingungnya sebab rasa ini belum pernah ada sebelumnya.

“Lihat ke depan, nanti tabrakan lag!” seru Reta, dia mengintrupsi Radit agar berhenti melihatnya, walau jalanan sepi tetap saja harus berhati-hati.

“Eh, sorry-sorry, tapi setelah aku lihat-lihat senyum kamu cantik, entah kenapa jantung aku berdebar melihatnya.”

“Tidak usah gombal, aku tidak akan tergoda sama kamu,” gelegar Reta tidak peduli.

“Aku bisa minta nomor ponsel kamu?”

“Untuk?”

“Kamu mau memberi tahunya tidak, kalau tidak mau ya sudah pake ponsel aku saja.”

Reta mengeluarkan ponselnya dari tas, tetapi sebelum dia memdapatkanya Radit malah lebih dahulu menunjukan ponselnya.

“Ini kamu pake saja, itu juga kuncinya udah aku buka.” Reta menerima ponsel Radit, kemudian dia mengetikan sesuatu di sana, setelah itu dia mengembalikan ponsel Radit.

“Ini adalah alamatku, nanti setelah ini tolong bangunin aku ya. Oh iya terima kasih buat tumpanganya.”

Setelah itu Reta menyandarkan diri di kursi, hingga perlahan-lahan matanya saling menarik. Tak berselang lama gadis itu sudah tertidur pulas. Radit sama sekali fokus dengan jalanan, ponsel miliknya dia letakkan di dekat kemudi, sedikit memasang musik hingga tanpa terasa mereka sudah berada di titik map yang tertera.

“Ret, rumah kamu diman ... yah malah tertidur.”

Radit mendekatkan diri hendak mengguncang tubuh Reta, dia berniat membangungkan gadis yang tertidur itu, namun saat semakin mendekat dengan wajah Reta, Radit seperti terhipnotis matanya tak lekang memandangi Radit yang sedang tertidur. Menurut Radit, Reta lebih cantik saat diam tertidur seperti itu.

“Huam…., apa kita sudah sampai?” Reta tiba-tiba terbangun, Radit yang masih asyik memandang segera mungkin membuang muka.

“A-aku ti-d-ak tahu, tapi alamatnya berhenti di sini,” Radit tiba-tiba saja gugup tanpa sebab.

Reta melihat sekeliling, dia sudah berada di tempat biasa menunggu angkot, rumahnya pun sudah tak jauh dari situ. Segera Reta membuka pintu mobil Radit. “Aku turun di sini aja, kamu pulang saja, oh iya sekali lagi terima kasih untuk tumpanganya,” ucap Reta menutup pintu mobil lalu bergegas pergi.

Radit tak berhenti memandangi Reta, gadis itu mengingatkanya pada seseorang yang sangat familiar menurutnya, hanya saja Reta, seorang gadis pendiam yang sangat irit berbicara.

Reta sudah hilang, dia masuk ke sebuah gang dekat kede nasi padang, gang itu sempit rasanya mobil kecil pun tak akan muat masuk. “Pantasan Reta minta turun di sini,” ujar Radit melajukan mobilnya.

Prank….

Sebuah pot dari stainless tanpa sengaja Radit senggol dan itu menghasilkan suara yang riuh membuat seisi rumah bangun, Marisa saat itu mulai ketakutan, tangannya yang satu menggegam lengan suami.

“Bagaimana jika itu maling? Bagaimana kalau kita di rampok? Pa, Mama takut.” Ujar Marisa semakin dekat dengan suaminya.

“Tenang ma, papa masih di sini, semua pasti aman,” Suami Marisa membawanya hingga ke ruang tengah, menghidupkan lampu yang temaram.

“Radit?!” sontak suami istri itu berteriak bersama, kala melihat putra mereka sedang membersihkan pot bunga itu.

“Jam berapa ini?” todong papa Radit langsung, dia merubah wajahnya menjadi masam.

“Udah ah pa, sudah tengah malam jangan teriak-teriak,” Marisa mendekati Radit lalu menyuruh anak itu supaya langsung masuk kedalam kamarnya.

“Ini anak salah terus saja dibela, kapan mandirinya?” Suami Marisa mengeluarkan kata-kata kesalnya usai Radit naik tangga.

“Besok saja ya, Pa, sudah malam,” ujar Marisa, dia langsung masuk meninggalkan suaminya yang masih berang.

“Anak dan Ibu sama saja, sama-sama membuat pusing.” Papa Radit geleng-geleng kepala menyusul sang istrinya masuk ke kamar.

***

Di ruangan kelas, Radit menguap beberapa kali, matanya sudah saling menarik untuk tertidur. Tadi malam Radit hanya tidur tiga jam, dan tadi pagi hampir saja dia telat ke kampus. Beruntung dia mempunyai ibu seperti Marisa yang mempersiapkan semua, jadi Radit bisa cepat bersiap-siap ke kampus.

“Ini.. kopi untuk kamu. Aku tahu kamu mengantuk, karena aku pernah berada di masa itu. Anggap aja ini ucapan terima kasihku.”

Radit memastikan suara itu, ia melihat Reta sudah berdiri sambil menyodorkan kopi yang ada di tangannya.

“Ingat dosen kita hari ini killer, sekali saja kamu kedapatan menguap, maka tamatlah riwayatmu.” Seru Reta lalu duduk di sebelah Radit.

Sejak kapan? Sejak kapan dia akrab denganku? Kopi ini, apa dia bilang tadi ucapan terima kasih? Astaga jangan sampai ge-er Radit, mungkin benar, dia hanya berterima kasih padamu.

“Pagi Radit.” Sapa Willy, ia mendekat dan duduk di meja Radit.

Radit mendongak menatap malas kepada wanita yang ada di hadapanya, tiga hari kemarin Radit sudah dibohongi. Alih-alih ingin mengerjakan tugas, Radit malah dibawa ke mall berbelanja barang yang tidak jelas hingga membuat kakinya sakit. Belum lagi di rumah dia terkena nasehat panjang dari papanya, itu semakin membuat Radit malas.

“Radit, nanti sore makan yuk, sudah tiga hari kamu menghindariku. Apa kamu marah?”

Ingin rasanya Radit mengatakan, 'Ia aku marah gara-gara kamu kaki aku pegal, dasar perempuan sundal tidak tahu untung, sinting.'

“Sorry, sepertinya sore aku tidak bisa, kamu cari yang lain saja. Kalau tidak kamu ajak si Tukimin tukang kebun, mungkin jika kamu mau membawa dia keliling Mall seperti aku kemarin, dia akan senang.”

“Ya, tidak mungkin aku ajak dia Dit, tidak sebanding dengan aku.”

“Ya sudah, kalau tidak mau, pergi sendiri saja nanti.”

Sementara dilain sisi Reta sudah menahan tawa, baru kali ini seorang Willy ditolak terang-terangan di hadapanya. Siapa lagi kalau pelakunya kalau bukan Radit.

Seketika wajah Willy kesal minta ampun, dia menatap Reta yang hampir tergelak menertawakanya.

“Kamu! Jangan tertawakan aku, miskin.” Ujar Willy marah

Setelah itu Willy berlalu, saat itu Radit sengaja menjulurkan kaki, hingga Willy tanpa sengaja menendang lalu terjatuh terjungkal. Semua isi kelas menertawakan Willy, dia sangat malu. Hingga saat dia bangkit dia menatap Radit dengan tatapan benci. Radit tidak peduli, dia sudah memberi gadis itu pelajaran dan menurutnya itu saja sudah cukup.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel