Bab 3 Mengagumi
Bab 3 Mengagumi
Radit sudah kembali ke rumah,dia sedang berada di atas ranjang yang berukuran king size, Radit tidur tengkurap sambil memainkan mobile legand, suaranya sangat berisik, bahkan jika kalah Radit berteriak sekencang mungkin, Hingga membuat Marisa yang berada di bawah geleng-gelang kepala.
Radit merasa bosan, dia meletakan ponselnya di tempat tidur, mau menonton pun bosan, sore-sore begini paling hanya berita selebritis, kalau tidak sinetron di Indosiar, Radit sangat muak menonton itu, apalagi di tempat neneknya di Surabaya tiap hari menonton itu saja, hingga mau tidak mau, Radit bergegas keluar dan berkumpul bersama teman-temannya.
Radit berjalan ke arah vcd, lalu tangannya sibuk memilih-milih kaset yang hendak dia putar, semua rata-rata adalah film action, tapi karena rasanya Radit sudah menonton itu semua, Radit pun mengurungkan niatnya.
Radit kembali ke ranjang, duduk di tepi ranjang, sejenak dia berpikir apa yang harus dilakukan untuk mengusir kejenuhannya, Radit berpikir untuk keluar, dia mempunyai teman di Jakarta. Hanya saja sudah tiga tahun tidak bertemu, membuat Radit berpikir mengurungkan niatnya.
“Kemana ya?” lirihnya, ditengah-tengah kebingungannya Radit melihat kembali Radio yang dia letakan di atas meja, dia berjalan ke arah meja dan meraih benda pipih itu.
Radit memegang Radio itu sambil tersenyum, entah kenapa radio itu membuat Radit jadi teringat dengan gadis yang dia tabrak tadi siang, dia adalah Reta sang gadis dingin yang membuat para lelaki begitu penasaran, Reta memang sangat cantik, namun karena sifatnya sangat cuek, para kamu adam di kampus akhirnya memilih mundur saja, percuma juga di dekati, diajak bicara saja Reta tidak bergeming, apalagi menjadikan Reta sebagai calon gebetan, bisa-bisa mereka akan menjadi es batu seketika saking dinginnya seorang Reta.
Reta merupakan gadis pintar, selain prestasinya yang cukup bagus,dia juga merupakan wanita kebanggaan kampusnya, Reta memang pendiam, hanya saja ketika sudah berdebat tentang pelajaran dia tidak akan mau kalah, sampai-sampai semua orang takjub padanya. Andai Reta tidak bisa sedikit terbuka dan tersenyum kepada semua orang, mungkin pria satu kampus ini akan berlomba-lomba mendekatinya.
Radit jadi tersenyum sendiri mengingat gadis itu, sangat berbeda dari gadis lainnya. Sifat Reta yang begitu dingin malah membuat Radit malah semakin penasaran dengan gadis itu. Entah kenapa rasanya Radit ingin mengenal gadis itu lebih dekat.
Pagi ini Radit sengaja membawa radio itu ke dalam kelasnya, dia mendengarkan melalui headseat lalu menaruh radio itu masuk ke dalam saku celana jeansnya. Radit segera duduk dan mendapati Reta sudah berada disebelah dan sedang melihat ke arahnya.
“Ngapain lihatin aku? Kamu suka?” tanya Radit begitu pedenya.
“Huff.. pede amat,” gerutu Reta membuang muka, padahal gadis itu sedang kehilangan sesuatu dan dia baru menyadarinya.
Reta pagi ini sedang mencari Radio pemberian temannya, sudah sejak lama dia simpan. Tapi entah kemana gadis itu menaruhnya hingga baru sadar sekarang. Karena Radit sangat menggangunya Reta membuang muka.
“Kalo kamu gak suka, kenapa lihatin aku kayak gitu? kamu pasti sama kayak cewek-cewek lain kan? Pasti tertarikkan sama aku?
Demi apa Radit begitu pede pagi ini dan Reta kembali ke sifat cuek dan tidak pedulinya. Dia menyatukan tangannya di atas meja, lalu menidurkan kepalanya di sana.
“Dingin benget sih,” ujar Radit dalam hati. Tangannya mengeluarkan radio itu dari saku celananya dan mencari siaran yang cocok untuknya.
Lagi.. lagi Willy dan kelompoknya datang, mereka itu seperti girls band, manja, lucu, namun tak menarik. Di tangannya ia memegangi kipas yang langsung di arahkan ke depan mukanya.
“Radit, dengarin apaan sih?” Willy duduk di sebelah Radit dan menaruh tasnya, entah sejak kapan Willy pindah, Radit sama sekali tidak tau. Padahal sebelumnya kursi Willy berada di belakangnya.
“Kamu..?” seru Radit kaget
“Kenapa? Kaget ya aku duduk di sini? mulai hari ini aku bakal duduk di sini, di sebelah kamu dan aku mau selalu berada di samping kamu,”
“Cie-cie…” para dayang-dayang Willy bersuara. Dan itu tentu membuat Willy tersenyum bangga.
Radit tidak merespon, dia kembali asik dengan musik yang sedang berputar di telinganya, tak berapa lama dosen mereka datang.
Pelajaran selesai, Radit sudah bersiap untuk pulang, namun di halangi oleh Willy, lebih tepatnya Willy menahan tangan Radit. Radit berbalik lalu menatap Willy yang memeganggi tangannya.
“Ada apa?” tanya Radit dingin
“Temanin aku ke mall yuk, kita belanja atau makan, kalau perlu kita nonton, aku traktir deh..” ajak Willy manja.
“Sorry aku tidak bisa, sibuk! ” tolak Radit, dia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Willy.
“Kalau aku bantu kamu mengerjakan mata kuliah yang ketinggalan bagaimana? Tapi setelah nonton.” Willy mencoba bernegosiasi dengan Radit.
Radit mencoba berpikir, dia menoleh ke arah Reta, saat itu Reta tanpa sengaja melihat ke arah Radit dan mereka berpandangan sesaat.
“Kenapa diam? Kamu mau, kan?” tanya Willy menggoyangkan tangan Radit.
Radit lalu sadar. “Oke fine, aku mau.”
Willy berlonjak kegirangan.
Senayan city, Radit sudah begitu capek mengikuti Willy yang ke sana kemari, bahkan kaki Radit sudah sangat pegal, tapi Willy terus saja menggandeng tangan Radit, lengket kayak perangko.
“Pulang yok,” ajak Radit menarik tangan Willy menuju pintu keluar,
“Sebentar lagi Dit, aku masih mau lihat baju di sana,” Willy menunjuk salah satu toko baju terkenal. Dan berjalan kearah toko itu, Radit pasrah dan ikut dari belakang.
Namun langkah Radit berhenti disalah satu toko buku, bukan karena dia mau membeli buku, Tapi dia melihat Reta ada di sana. Gadis itu sendang berpakian kerja sambil tersenyum menyapa pelanggan.
Radit tercengang melihat Reta ada di sana, senyuman gadis itu seolah menghentikan waktu Radit, sampai-sampai dia tidak mengikuti Willy yang sudah ada di depan.
“Radit!” desis Willy. Dia berjalan mendekati Radit dan mengikuti ke mana arah pandangan Pria itu.
“Reta!” ucap Willy sumringah, dia mengeluarkan ponselnya dari tas, Willy memotret beberapa kali Reta dan Willy berniat mengirimnya ke grup kelas. Tapi, saat Radit mengetahui apa yang akan dilakukan Willy, dia menarik ponsel gadis itu dan menghapusnya.
“Ih…, kenapa di hapus sih?” Gerutu Willy tidak suka, padahal dia sudah ingin membuat seisi kelasnya tahu kalau Reta yang menjadi kebanggaan kampus hanya seorang pelayan toko buku. Willy sangat tidak suka dengan Reta. Sejak pertama kali masuk kuliah. Menurut Willy Reta adalah saingan terberatnya, selain dari segi kecantikan, Willy sangat kalah di bagian prestasi.
Namun usaha Willy sia-sia menjatuhkan Reta, dia sudah lebih dulu dipergoki Radit. Karena kesalnya Willy, dia pun memutuskan pulang sendiri dan meninggalkan Radit.
***
“Dari mana saja? Baru jam segini pulang? Masih ingat rumahkan?” desis papa Radit dengan suara Briton.
“Pa…” lirih Marisa, dia tahu suaminya akan sangat susah mengontrol emosinya, saat seperti ini.
“Jawab papa Radit, kamu dari mana?” ulang Papa, wajahnya sudah sangat marah melihat Radit.
“Pa, sudah dong. Radit baru pulang biar makan dulu.” Ujar Marisa mengalihkan pembicaraan.
“Tidak! Sebelum dia menjawab pertanyaan papa.”
“Itu tidak bukan urusan Papa, Radit sudah besar dan sudah bisa nentuin jalan hidup sendiri.”