4. Sosok Dalam Enam Kehidupan
Chapter 4
Sosok Dalam 4 Kehidupan.
Rosie menarik selimutnya. Merasa pipinya mendadak jadi kempot karena kehabisan energi hidup. Ia sama sekali tidak bisa makan malam karena Cyan. Setelah kembali ke kamar, Rosie langsung memuntahkan makanan yang masuk ke perutnya karena tegang.
Kalau begini, Rosie harus tidur setidaknya 18 jam.
Besok Cyan akan kembali ke istana, tidak masalah untuk tidur lebih lama. Karena pria itu yang membawa Rosie ke tempat ini, jadi jangan salahkan dirinya kalau ia akan berlaku sebagai tuan rumah sendiri.
“Benar-benar kacau, ya,” kata Vera saat menutup pintu kaca penghubung kamar dan teras. Wanita itu melilitkan rantai kecil pada gagang pintu.
Ha?
Rosie langsung terduduk melihat apa yang dilakukan Vera. Loh, kenapa kau meraintainya?
Vera berbalik setelah menekan gembok pada rantai itu dan tersenyum lebar pada Rosie. “Saya kan tidak mungkin membiarkan Anda berdiri di teras semalaman agar benar-benar sakit supaya bisa menghindari Yang Mulia.”
“A-aku tidak akan melakukannya kok,” bantah Rosie.
Apa rencananya itu sangat terbaca, ya? Rosie memang berencana tidur saja di balkon itu dan saat besok bangun, ia tidak perlu diundang untuk mengantar Cyan pergi bekerja ke istana dengan alasan sakit sungguhan.
Ah, sialnya.
“Anda tidak boleh tidur di tempat terbuka, loh. Anda bisa mati karena perampok yang mungkin masuk ke sini. Anda tahu perampok ‘kan? Mereka tidak mempan dengan wajah cantik. Mereka bisa menyayat leher Anda dan menguliti Anda. Kemudian memotong anggota tubuh Anda jadi beberapa—”
“Cukup.” Rosie mengacungkan telapak tangannya, meminta Vera untuk berhenti bicara. Itu terdengar sangat mengerikan ketimbang mati di tusuk oleh pedang grand duke.
“Baiklah. Kalau begitu selamat tidur, Nona.”
Rosie mengangguk saat melihat Vera keluar dari kamarnya.
Pada umumnya orang akan merasa asing berada di tempat baru. Tetapi Rosie tidak. Bahkan setelah baru pertama kali datang ke kediaman Orion setelah diancam pedang, Rosie langsung bisa beradaptasi. Ia makan dan tidur dengan nyinyak. Seolah ia memang sudah pernah berada di tempat ini dalam waktu yang lama. Sungguh aneh ‘kan?
Tetapi ya sudahlah. Itu lebih mendingan ketimbang hari itu mati di tangan Cyan.
Rosie berbaring lagi dan menarik selimut, langsung jatuh dalam tidur lelap.
***
Siapa?
Rosie menutup telingan. Ada suara bising yang mengganggu. Suara lirih tangisan, teriakan ketakutan, teriakan kemarahan, kutukan.
Ini di mana?
Tolong, berhenti!
Ha?
Rosie sudah berteriak kencang, tetapi suaranya sama sekali tidak keluar. Suaranya tertutupi oleh banyaknya teriakan mengerikan itu. Kepala Rosie rasanya mau pecah karena tekanan mengerikan dari semua teriakan itu. Bahkan gendang telinganya terasa mau hancur.
Plak!
Apa? Itu suara apa?
“Sepuluh cambukan tidak mempan untukmu, ya!”
Siapa yang dicambuk?
Plak!
“Tidak, ampun. Tolong, maafkan saya, Ayah. Saya akan melakukannya.”
Bahu Rosie terkulai mendengar suara lirih minta ampun itu. Matanya panas karena didera rasa sedih. Apa seseorang bisa bersuara selirih itu?
Plak!
Tidak, jangan!
Rosie beteriak untuk menghentikan suara cambuk yang mengenai daging seseorang yang sudah meringkuk tidak berdaya di lantai. Sudah, hentikan. Orang itu sudah kesakitan.
“Saya janji akan menjadi bunga pergaulan atas demi Ayah dan Ibu. Tolong hentikan, Ayah. Sakit.”
Rosie berlari ke arah bulatan yang menjadi penglihatannya itu. Bagaimanapun caranya, ia harus bisa menolong wanita yang meringkuk berdarah itu. Tetapi, sekuat apa pun ia berlari mendekati orang itu, Rosie tidak bisa sampai.
Tidak, bukan karena tidak bisa sampai. Tetapi karena Rosie memang tidak punya wujud. Ia tidak merasakan semua anggota tubuhnya.
“Kau pikir bisa menjadi bunga pergaulan atas hanya karena kau putri seorang Marquess?”
Rosie berbalik mendengar ucapan penuh kemarahan itu. Di sana, ia melihat orang yang tadi dicambuk oleh orang tuanya sedang terduduk di tanah, dikelilingi oleh beberapa wanita.
Ada wanita yang menarik rambutnya dengan kasar, ada yang menarik pakaiannya hingga robek. Bahkan ada bekas darah segar yang mengalir dari sisi bibirnya. Wanita yang terlihat seperti ketua dari kelompok itu mengelap tangannya berkali-kali dengan sapu tangan.
“Yah, aku harap tamparan bisa merusak wajahmu itu!”
“Sebenarnya siapa yang ingin kau tarik perhatiannya dengan menjadi bunga pergaulan atas? Yang Mulia Pangeran? Atau Yang Mulia Grand Duke?”
Hebatnya, meski Rosie berteriak menghentikan cacian, orang yang dianiaya itu sama sekali tidak bergerak. Dia terlihat diam menerima ketidakadilannya.
***
“Nona?”
Siapa?
“Nona?”
Rosie terkejut merasakan sentuhan di lengannya. Ia langsung menghambur bangun dan menemukan Vera menatapnya dengan pandangan cemas. Rosie langsung melihat sekeliling dan pada tirai-tirai yang sudah dibuka.
Ah, ternyata sudah pagi.
“Akh.” Rosie meringis karena merasa nyeri dan perih di punggungnya.
“Ada apa, Nona?” tanya Vera.
Rosie memperlihatkan punggungnya pada Vera. “Rasanya sakit. Apa ada sesuatu di punggungku?”
“Ya ampun!” Vera terpekik sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan. “Apa yang terjadi dengan punggung Anda?”
“Apa? Ada apa?”
“Saya akan panggilkan dokter,” kata Vera sambil bergegas keluar kamar.
Melihat hal itu Rosie juga langsung turun dari tempat tidur dan berlari ke arah cermin. Betapa syoknya ia melihat gaun tidur putihnya penuh darah di bagian punggung dan terasa perih.
Ini ... apa?
Rosie terduduk di lantai. Apa mimpi semalam itu tidak hanya sekadar mimpi biasa? Orang yang meringkuk dicambuk pada mimpi Rosie, apakah hal semacam itu bisa ditransfer? Apa sekarang Rosie sedang menanggung luka dari orang di mimpinya itu?
Tidak, ini tidak masuk akal.
Apa sebenarnya Rosie masih bermimpi?
Brak!
Tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan keras. Rosie menoleh dan melihat Cyan berdiri di pintu, menatap padanya dengan pandangan terkejut. Kenapa pria itu ke sini?
“Yang Mulia?” tanpa sadar Rosie memanggil orang itu. Apa karena sengatan rasa perih makanya ia membutuhkan seseorang untuk menenangkannya?
Rosie memang tumbuh sebagai yatim piatu. Tetapi ia tidak pernah merasakan sakit seperti ini. Biasanya ibu panti akan bilang baik-baik saja saat ia terluka karena bermain.
“Apa yang terjadi padamu?” tanya Cyan saat melangkah lebar menghampiri Rosie. “Apa yang kau lakukan semalam?”
Rosie menggeleng dengan sendirinya. “Rasanya sakit. Tapi saya tidak melakukan apa pun.”
Ah, apa orang di mimpi Rosie itu mengalami sakit yang seperti ini? Pantas saja dia meminta ampun untuk dihentikan. Rasanya sakit sekali.
“Vera sedang memanggil dokter.” Cyan mengangkat tubuh Rosie yang terduduk di lantai. Berjalan menuju tempat tidur.
Rosie meremas pakaian Cyan. “Saya tidak melakukan apa pun. Kenapa saya terluka?”
Cyan tidak menjawab. Pria itu hanya membawa Rosie kembali ke tempat tidur dan meletakkannya kembali.
“Terima kasih,” kata Rosie saat Cyan sudah menurunkannya di tempat tidur. “Pakaian Anda jadi kotor.”
“Diamlah,” balas Cyan. “Kau bisa mati kalau terlalu banyak bicara.”
“Baiklah.”
“Yang Mulia.” Vera masuk ke kamar dengan salah seorang pelayan lagi.
“Mana dokternya?” tanya Cyan saat berbalik.
“Tuan Skot sedang menjemputnya.” Vera kemudian melihat pada Rosie. “Nona, bertahanlah sebentar, ya.”
Air mata Rosie tiba-tiba jatuh, merasakan kesedihan. Ia saja kesakitan seperti ini. Ia hanya merasakan sakitnya tanpa merasakan sengatan cambuk, orang-orang sudah secemas ini padanya. Bagaimana dengan orang di mimpi Rosie itu?
Dia dicambuk berkali-kali. Dia terluka parah pun masih dicambuk. Sengatan cambuknya, rasa sakit karena kulitnya terkoyak. Orang itu. Apakah ada yang mengkhawatirkannya? Apakah ada yang mengobatinya?
Rosie menangis sambil meremas dada pakaiannya untuk menahan sesak di dada. “Vera, ini sakit sekali.”
.
.
Original story by Viellaris Morgen
Rabu (13 Maret 2024)