Bab 3
Sifatku dan Lia memang bagaikan langit dan bumi, benar-benar berbeda.
Lia yang asli terkenal sombong, manja, dan sering marah-marah, terutama pada para pembantu. Dia selalu memperlakukan mereka semena-mena, sementara mereka hanya bisa menahan diri dan bersabar.
Namun, ketika aku menjadi Lia, aku bersikap lembut, tenang, pendiam, dan selalu sopan. Semua orang tidak hanya tidak curiga atas perubahan sifatku, malah terus memujiku, mengatakan bahwa aku semakin dewasa.
Tunangan Lia, Yansen Fermer, yang tahu bahwa Lia masih hidup, datang untuk meminta maaf dan mencoba berdamai.
Hatiku tidak bergeming sedikit pun, aku hanya mengangguk menerima permintaan maafnya.
Yansen tampak terkejut karena aku memaafkannya begitu saja, dia sempat mengira aku hanya berpura-pura dan sedang menyusun rencana jahat yang lebih besar.
Dia pun mulai berhati-hati dan berusaha untuk menyenangkanku.
Aku pura-pura tidak tahu apa-apa. Jika dia baik padaku, aku pun akan baik padanya.
Dalam sekejap, kami tampak seperti pasangan muda yang terjerumus dalam cinta dan kebahagiaan.
Aku sengaja mengungkit kematian Nara padanya. Namun, tanggapannya begitu datar, seolah-olah itu hanyalah hal biasa.
Dia bahkan menasihatiku agar tidak membuang waktu memikirkan hal yang tidak penting seperti itu.
Aku memandang Yansen sejenak, sambil tersenyum dingin dalam hati.
Segala yang kualami, termasuk dihina orang-orang, ditindas oleh Lia, disiksa oleh Tamara, semua itu bermuara pada satu hal yaitu keberadaan Yansen.
Sejak awal, aku sudah sadar akan posisiku. Sebagai anak pembantu, tidak pernah terlintas dalam pikiranku untuk punya hubungan dengan orang seperti Yansen.
Namun, Yansen si romantis ini justru suka sengaja mencari perhatian dan berusaha menggodaku.
Hal yang paling disukai Yansen adalah melihatku ketakutan dan panik, melihatku ingin menghindarinya tapi tidak berani pergi begitu saja.
Hubunganku dengan Yansen seperti kisah antara presdir perusahaan ternama dan gadis malang dari kalangan bawah.
Tapi sayangnya, hidup ini bukanlah drama romantis, aku tidak mungkin menjadi pemeran utama.
Kenyataan yang pahit mengingatkan bahwa aku hanyalah orang rendahan di mata mereka, seseorang yang bisa digoda dan dihina sesuka hati.
Yansen selalu memilih waktu yang tepat untuk menggodaku yaitu saat Lia hampir tiba. Dia tahu persis cara memastikan Lia melihatnya. Dia sengaja menggodaku agar Lia cemburu.
Lia pun langsung menganggap bahwa akulah yang sengaja menggoda Yansen.
Karena cemburu, Lia pun menghasut teman-temannya untuk mengucilkanku dan terus mencari-cari kesalahanku.
Sementara itu, Tamara sama sekali tidak menganggapku sebagai putrinya. Di hatinya hanya ada Lia, Nona Besar kesayangannya.
Jadi setiap kali Lia mengadu kepadanya, meskipun tidak jelas dan tanpa bukti, Tamara pun langsung percaya dan menganggapku bersalah.
"Kamu tiap hari berdandan seperti perempuan murahan, apa kamu tidak malu?"
"Dan rambutmu itu, kamu pelihara panjang-panjang untuk menggoda siapa? Memang sifatmu menurun dari ayahmu, tidak tahu diri dan suka membuat masalah!"
Tidak ada yang mendengar penjelasanku, bahkan tidak ada yang peduli.
Lama-lama, aku pun lelah untuk menjelaskan, dan akhirnya aku berhenti peduli.
Sampai nyawaku sendiri pun rasanya sudah tak lagi berharga.