Bab 4
Namun, Tuhan rupanya masih memiliki belas kasih untukku, memberiku kesempatan untuk hidup sebagai Lia, sebagai seorang Nona Besar.
Aku tidak merencanakan balas dendam apa pun, hanya menikmati hidup sebagai Lia dengan tenang.
Ternyata, menjadi seorang Nona besar itu begitu menyenangkan.
Aku bisa bermain sepuasnya, mengenakan gaun-gaun indah, dan menerima hadiah-hadiah mewah yang memenuhi ruangan tanpa perlu melakukan apa pun.
Hanya dengan membuka mulut, segala yang kuinginkan dapat kumiliki.
Tuan dan Nyonya Sudarta selalu memujiku, wajah mereka penuh dengan kebahagiaan dan kebanggaan.
Setengah bulan kemudian, Tamara kembali.
Dia tampak lelah, dan dalam waktu singkat, dia terlihat jauh lebih tua, seolah-olah bertambah beberapa tahun.
Aku dengan santai memberi Tamara sedikit perhatian, dan dia langsung menunjukkan ekspresi penuh terima kasih, seolah-olah aku telah memberikan karunia besar padanya.
Setiap perhatian kecil yang diberikan oleh Nona besar membuatnya merasa seperti menemukan oase di tengah gurun.
Namun, setelah Tamara kembali dan semakin sering berinteraksi denganku, dia mulai sering menatapku tanpa sadar, seperti sedang melamun.
Suatu hari, tanpa sadar aku menggigit sedotan hingga pipih, lalu Tamara langsung menatapku dengan mata memerah.
Aku mengerutkan kening, "Bibi Tamara, kenapa menatapku seperti itu?"
"Nara ...." suara Tamara terdengar bergetar, dan tanpa sadar tangannya menggenggam erat tanganku..
Wajahku sedikit berubah, dan aku segera menarik tanganku. "Bukankah Nara sudah lama meninggal? Kenapa kamu tiba-tiba menyebutnya? Bibi Tamara, jangan terus terjebak di masa lalu. Lagi pula, bukankah dulu kamu tidak suka Nara?"
Entah kenapa, ucapanku sepertinya menusuk hatinya.
Tamara berteriak dan menangis histeris, "Tidak! Bagaimana mungkin aku membenci Nara? Dia adalah satu-satunya anakku. Dia masih begitu muda, kenapa dia harus mengakhiri hidupnya? Bagaimana dia tega meninggalkanku sendirian di dunia ini."
Tangisan Tamara terasa begitu aneh dan tidak masuk akal.
Aku merasa dia aneh dan tidak mengerti dengan tingkahnya.
Aku sudah mati, jadi untuk siapa dia berpura-pura menjadi ibu yang penuh kasih?
Menjadi Lia selama setahun ini adalah kehidupan paling bahagia yang pernah kurasakan setelah beberapa kali reinkarnasi. Tidak ada seorang pun yang berani menyakitiku, semua orang berusaha memenuhi keinginanku dan menerima semua kekuranganku.
Aku mendapatkan segala yang terbaik di dunia ini.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai mengerti mengapa Lia bisa begitu berani dan arogan. Aku pun mulai menikmati kehidupan mewah sebagai Nona besar ini dengan bebas.
Akhirnya, hari pernikahan Lia dan Yansen tiba, sekaligus menjadi hari terakhirku mencuri hidupnya.
Aku tersenyum cerah, menatap wajah di cermin yang bukan milikku.
Yansen mendekat dan memelukku dengan lembut dari belakang.
"Lia, akhirnya hari ini kamu akan menikah denganku."
Senyumku di wajahku semakin lebar.
Di ruang persiapan pernikahan, Tuan dan Nyonya Sudarta duduk di sofa, menatapku penuh kasih sayang dan kebanggaan.
Tamara juga ada di sana, tapi sebagai pembantu, dia hanya bisa bersembunyi di pojok ruangan, diam-diam memperhatikanku.
Tak lama kemudian, upacara pernikahan resmi dimulai.
Diiringi musik pernikahan yang sakral, Tuan Sudarta menggandeng tanganku, membawaku perlahan menuju Yansen.
Di bawah panggung, para wartawan dari seluruh penjuru kota bersiap dengan kamera mereka, berusaha mengabadikan setiap saat dari pernikahan megah ini.
Di hadapan tamu undangan yang tak terhitung jumlahnya, dan disaksikan oleh puluhan ribu penonton siaran langsung, saat-saat yang dinanti akhirnya tiba.
Yansen menatap mataku dengan lembut dan penuh cinta.
"Lia, apakah kamu bersedia menikah denganku?"
Senyumku merekah, begitu lebar hingga hampir meneteskan air mata. Karena pada saat inilah, aku memilih untuk mengembalikan tubuh ini kepada pemilik aslinya Lia.