Bab 2
Kali ini, aku menyerah untuk terlahir kembali sebagai diriku sendiri dan memilih menjadi Lia Sudarta.
Aku telah terlahir kembali sebanyak lima kali, namun semuanya selalu berakhir dengan penghinaan dan siksaan yang sama. Aku sadar, selama aku tetap menjadi anak seorang pembantu, meski terlahir seratus kali pun, nasibku tidak akan berubah.
Saat aku kembali dalam wujud Lia, tidak ada seorang pun yang menyadari bahwa aku yang sebenarnya sudah menghilang selama tujuh hari.
Begitu aku melangkah masuk ke rumah Keluarga Sudarta, ibuku langsung menyambutku dengan penuh antusias, bahkan lebih senang daripada Tuan dan Nyonya Sudarta.
"Nona Lia, kamu baik-baik saja? Syukurlah kamu kembali, syukurlah."
Mata ibuku tampak merah, menahan air mata, saat mengatakannya.
Tuan dan Nyonya Sudarta juga tak kuasa menahan haru, senang karena aku, atau lebih tepatnya Lia akhirnya kembali dengan selamat.
Mereka mengelilingiku, memberiku perhatian dan kasih sayang tanpa henti. Ini adalah perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Sejenak, terasa seakan-akan aku berada dalam mimpi.
Kasih sayang dan perhatian seperti ini hanya membuatku merasa terhina. Aku menatap mereka tanpa ekspresi dan bertanya, "Nara di mana?"
Nara Limarta adalah diriku, diriku yang sebenarnya.
Raut wajah ibuku langsung dipenuhi dengan rasa benci saat mendengar namaku, "Kenapa Nona tiba-tiba mengingatnya? Anak itu benar-benar tidak tahu diri, berani-beraninya pergi begitu saja."
"Jika Nona punya urusan dengannya, aku akan segera mencarinya agar dia bisa meminta maaf pada Nona."
Aku hanya tersenyum dingin, dan tidak memedulikannya lagi.
Nyonya Sudarta menarikku ke ruang makan, di mana makan malam sudah disiapkan di meja.
Semua hidangan itu adalah makanan kesukaan Lia. Ikan yang tersaji di meja, bahkan sudah dibersihkan dari duri dengan hati-hati. Perlakuan penuh perhatian seperti ini belum pernah kurasakan sebelumnya.
Ibuku memperhatikanku yang hanya berdiri terpaku di tempat, kemudian bertanya dengan sikap rendah, "Nona, ada apa? Apa makanannya tidak sesuai selera?"
Melihat ibuku yang begitu tegang, aku hanya tertawa dingin dalam hati.
Dia benar-benar seorang pembantu yang sempurna, begitu peduli apakah hidangannya sesuai dengan selera sang Nona, namun tak peduli sedikit pun dengan hidup atau mati anak kandungnya sendiri.
Melihatku diam, ibuku semakin panik. Wajahnya berkerut, dan dia berkata, "Nona, apakah Nara membuat Nona tidak senang? Kalau dia kembali, saya akan memberinya pelajaran. Nona jangan sampai kehilangan selera makan hanya karena orang rendahan sepertinya."
Mendengar kata-katanya, aku tersenyum sinis.
Ternyata, di mata ibuku, bahkan pertanyaan sepintas dari Lia saja sudah cukup untuk menjatuhkan "dosa" padaku.
Aku tidak memedulikannya, sementara Tuan dan Nyonya Sudarta dengan penuh kasih sayang mengambilkan makanan untukku.
Ibuku, sebagai seorang pembantu, hanya bisa berdiri melayani di samping.
Namun setelah dua tiga hari berlalu, tetap tak ada seorang pun yang menanyakan keberadaan Nara yang hilang.
Aku melihat berita di internet.
Di sebuah danau buatan di pinggiran kota, ditemukan sesosok mayat perempuan.
Aku menatap jasad yang sudah membengkak dan berubah bentuk itu tanpa sedikit pun perasaan.
Bahkan, aku bisa tersenyum dan bercanda dengan ibu kandungku, Tamara, "Bibi Tamara, lihat deh, jasad ini kok mirip sekali dengan Nara, bahkan bajunya juga hampir sama."
Tamara melirik ke layar ponselku sejenak, wajahnya langsung berubah, namun dia segera menenangkan diri.
"Iya, memang agak mirip, tapi anak nakal itu mana mungkin melompat ke danau."
Nada bicaranya penuh dengan keyakinan.
Aku hanya tersenyum tipis, membayangkan reaksinya nanti saat dia tahu kebenarannya.
Tak lama setelah itu, Tamara mencari alasan untuk keluar.
Aku melihatnya meneleponku dari taman.
Sayang sekali, Nara sudah mati, jadi bagaimana mungkin dia bisa mengangkat telepon?
Tiga hari kemudian, Tamara menerima telepon dari kantor polisi.
Dia pergi terburu-buru dan tidak pulang semalaman.
Saat makan malam, karena Tamara tidak ada, hidangan malam itu disiapkan oleh pembantu lain.
Nyonya Sudarta merasa tidak puas dengan makanannya dan mengeluh, "Apa sih yang begitu penting sampai harus keluar? Apa itu lebih penting dari makan malam kita?"
Aku hanya mengangguk, setuju dengan apa yang Nyonya Sudarta katakan.
Lagi pula, hanya kematian anak perempuan yang tidak disukainya, hal itu jelas tidak bisa dibandingkan dengan pentingnya makan malam mereka.
Tamara baru kembali ke rumah Keluarga Sudarta keesokan siangnya.
Wajahnya tampak lesu, lalu dia meminta cuti setengah bulan kepada Nyonya Sudarta.
"Untuk apa cuti selama itu? Tidak bisa," dengan tegas Nyonya Sudarta menolak.
Namun, kali ini Tamara, yang biasanya penurut, justru marah dan berteriak, "Nara sudah mati! Anak perempuanku mati! Aku harus mengurus pemakamannya!"
Nyonya Sudarta terdiam sejenak, sepertinya dia tidak menyangka seorang pembantu berani membentaknya. Dia langsung membalas, "Anakmu mati apa urusannya denganku? Bukan aku yang menyuruh dia mati!"
Aku pun ikut menimpali, "Benar, dia sendiri yang melompat ke danau, apa hubungannya dengan kita? Bibi Tamara, cepat urus urusanmu, aku masih ingin makan masakanmu."
Tamara menatapku dengan tatapan kosong, tanpa tahu apa yang sedang dia pikirkan. Kemarahan di wajahnya perlahan berubah menjadi kehampaan.
Para pembantu lainnya segera menariknya pergi.
Nyonya Sudarta merangkulku, berusaha menenangkanku dengan suara lembut, "Lia, jangan takut. Bibi Tamara sedang tidak waras."
Aku tersenyum, mengangguk dengan patuh.
Benar, aku juga tidak mengerti kenapa Tamara begitu emosional.
Anak yang dia benci sudah mati, bukankah seharusnya dia merasa lega?