Bab 1
Nona besar memiliki seorang kekasih masa kecil yang tumbuh besar bersamanya. Semua orang yang melihat mereka selalu memuji, betapa serasinya mereka, bagai pasangan sempurna yang diciptakan untuk satu sama lain.
Sedangkan aku, yang selalu berada di sisi Nona besar, sering dicap sebagai pihak ketiga yang merusak hubungan mereka. Perempuan murahan yang merusak kebahagiaan orang lain.
Karena sering mendengar hinaan itu, bahkan ibuku mulai percaya bahwa aku menyimpan perasaan yang tidak seharusnya terhadap kekasih masa kecil Nona besar.
Setiap hari, ibuku tidak henti-hentinya memarahiku, memintaku untuk menyerah dan berhenti mendekati kekasih Nona besar.
Dia bahkan memotong pendek rambutku, melarangku berdandan, dan memaksaku mengenakan pakaian lusuh setiap hari.
Setengah bulan yang lalu, Nona besar bertengkar dengan kekasih masa kecilnya. Kemudian, dia merencanakan drama penculikan untuk menguji seberapa besar perasaan pria itu padanya.
Namun, kenyataannya jauh berbeda dari harapannya. Kekasih masa kecilnya malah memilih untuk melapor ke polisi, bukannya berlari menembus bahaya untuk menyelamatkannya seperti yang dia impikan. Merasa diabaikan, dia pun mulai mengamuk, berpikir bahwa sang kekasih tidak peduli padanya, lalu dia pun berpura-pura mati untuk membalas dendam.
Semua orang benar-benar percaya bahwa dia telah meninggal, dan aku pun menjadi sasaran kemarahan mereka. Mereka memukul dan memakiku, bertanya kenapa aku tidak menggantikan Nona besar untuk mati, bahkan menyalahkanku atas kematian Nona besar seolah-olah semua ini adalah salahku.
Aku dipukuli, dimaki, dan rambutku ditarik dengan penuh kebencian oleh Nyonya besar yang sudah frustrasi, sedangkan ibuku hanya berdiri di samping, memandangku dengan tatapan dingin.
Dia berkata dengan suara kejam, "Tanpa Nona besar, kamu sudah lama mati. Kenapa bukan kamu saja yang mati? Kamu bahkan tidak bisa melindungi Nona besar, hidupmu ini apa gunanya?"
Kata-kata dingin dan kejam dari ibuku terasa jauh lebih menyakitkan daripada rasa sakit ketika rambutku dijambak.
Sejak kecil, apa pun yang kulakukan tak pernah bisa membuat ibuku tersenyum. Hanya pada saat-saat ketika aku berhasil melindungi Nona besar dari bahaya, dia baru akan menunjukkan senyum yang jarang sekali kulihat. Tapi aku tahu, senyum itu bukan untukku, melainkan senyum lega karena Nona besar tidak terluka.
Namun, jika Nona besar merasa sedikit tersakiti atau dirugikan. Ibuku akan menangis penuh belas kasihan, meratapinya seolah-olah Nona besar sangat malang. Lalu mengalihkan semua kepadaku. Memarahi dan memukulku, menyalahkanku atas segala yang terjadi.
Hanya karena aku anak seorang pembantu, Keluarga Sudarta menganggapku sebagai pembantu mereka, bahkan nyawaku seakan berada di tangan mereka.
Dan ibuku, tidak pernah sekali pun memberiku kesempatan untuk memilih. Hidupku sudah ditentukan sejak lahir. Seperti yang selalu ibuku katakan, aku selamanya hanya pantas menjadi "anjing" di sisi Nona besar.
Setelah kembali dipukuli oleh Nyonya besar dan ibuku sendiri, aku merasa hidup ini begitu membosankan.
Budi atas nyawaku yang dulu pernah diselamatkan sudah kulunasi berulang kali. Sayangnya, tidak ada yang peduli.
Dengan tenang, aku melompat ke dalam danau.
Air danau mengalir masuk ke dalam hidung, mulut, dan telingaku.
Rasa sesak membuat seluruh organ tubuhku terasa perih. Namun, aku tidak merasakan sakit sedikit pun.
Penderitaan yang kuterima selama ini dari ibuku jauh lebih menyiksa dibandingkan ini.
Dan, ketika aku membuka mata lagi, aku telah menjadi Lia Sudarta.