Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#8

"Um... kan kopi bikinan Icha enak, Icha mau nanya-nanya tapi dijawab ya?" pinta Icha tak nyambung.

Sudah tau Dimas tak akan repot-repot menanggapi, Icha langsung melanjutkan ucapannya. "Kak Dimas suka sama Icha nggak?" tanya nya setelah memutus urat malu.

"Enggak."

Halah, kalo jawaban yang nyelekit aja cepet banget nanggepinnya, cibir Icha dalam hati.

"Kalau gitu, kapan rencana suka sama Icha?"

"Kayak nya saya lebih berencana jauh-jauh dari pengganggu kayak kamu." balas Dimas yang untuk pertama kali nya di hari ini menatap Icha saat berbicara pada nya.

Tapi bukan Icha nama nya kalau diam sekarang. Ia malah memanfaatkan pilihan kata Dimas untuk membalikkan kalimat itu. "Jadi kalau Icha gak ganggu, Kak Dimas bakal suka sama Icha? Icha bisa kok nggak ganggu."

Terlihat Dimas menghela napas nya. Mungkin mengatur emosi daripada kelepasan dan mendorong gadis ini keluar jendela.

"Kamu bisa nggak pergi aja dari hadapan saya?"

"Bisa!" tanggap Icha semangat dan segera berlari keluar ruangan. Untuk pergi sesuai perintah Dimas? Tentu saja tidak. Gadis itu bahkan hanya memberi waktu satu detik untuk pintu menutup sempurna dan kembali membuka nya dari luar.

"Tuh barusan Icha udah pergi. Sekarang Kak Dimas suka kan sama Icha?"

Dimas hanya menggelengkan kepala nya samar sebelum kembali fokus ke layar laptop. Tak ingin lebih lama menanggapi mahluk yang rasa nya sudah tidak mungkin dikategorikan waras itu.

Yang diacuhkan pun hanya terkekeh. Kembali memasuki ruangan setelah menengok pada keributan yang samar terjadi di antara para pegawai. Entah ada apa, yang jadi urusan Icha kan hanya Dimas.

"Ya udah deh ganti tema. Kak Dimas punya mantan berapa?" tanya nya lebih berdasarkan rasa penasaran karena ia dan Jean sempat membahas perihal informasi misterius ini.

Dimas lanjut mengacuhkan Icha.

"Kak, please... jawab dong. Mantan nya Kak Dimas berapa?"

"Satu."

"Eh? Satu?" ulang Icha heran. Cowok sesempurna ini mantan nya cuma satu? "Emang satu mantan nya atau cuma satu yang dianggap mantan?"

"Sama saja."

"Beda dong, Kak. Kalau cuma satu, ya berarti cuma sekali pacaran, terus putus. Kalau cuma satu yang dianggap mantan, berarti beberapa kali dalam masa pacaran, tapi yang berkesan cuma satu. Jadi nya yang dianggap cuma satu."

Dimas lagi-lagi tak menanggapi ocehan nya. "Ya udah deh, iya sama. Nama nya siapa, Kak?"

"Siapa?"

"Mantan Kak Dimas."

"Vio."

"Nama panjang nya?"

Obrolan mereka terinterupsi keributan di luar dan pintu yang tiba-tiba terbuka, memunculkan sosok wanita berparas cantik tengah menangis.

"Violinne Dara Wildblood," ucap Dimas dengan tatapan yang terkejut bukan kepalang menatap siapa yang hadir.

Mendengar nama lengkap nya disebut oleh Dimas, wanita itu berlari memeluk erat sang mantan.

"Udah cukup kita kayak gini, Di. Aku bakal dijodohin bulan depan. Aku nggak mau. Aku masih punya harapan untuk kita." ucap wanita itu parau dalam pelukan Dimas.

Napas Icha tercekat ketika melihat tangan Dimas yang bergerak dan membalas pelukan wanita itu. Bahkan perlahan naik mengelus lembut kepala belakang wanita yang masih bertumpu pada nya.

"Vio..."

Sesak, tapi ia tau wanita ini lebih merasa sakit dibandingkan nya. Entah apa alasan nya, tapi tidak mungkin wanita itu menghampiri Dimas dengan derai air mata jika tidak benar-benar genting.

"Kak, aku-"

"Kamu mau apa lagi sih? Nanya lagi? Ini Vio mantan saya kalau kurang jelas. Kamu punya otak, kan? Sekarang bisa kamu nggak mengganggu?" sentak Dimas seperti nya benar marah.

Icha dengan susah payah mencoba menelan saliva nya. Padahal maksudnya memanggil tadi hanyalah untuk menawarkan bantuan. Entah itu mengambilkan minum atau apalah untuk menenangkan Vio.

Tanpa berbicara apa-apa lagi, Icha meletakkan tissue yang dibawanya dalam persis ke meja Dimas. Menjelaskan secara singkat apa maksudnya memanggil tadi. Dan segera melangkahkan kaki keluar dari ruangan itu.

Sambil berlari, ia mengutuk diri. Untuk apa merendahkan diri dan berjuang sepenuh hati untuk seseorang yang tak tercapai walau dalam ekspektasi.

Tanpa sadar, air mata nya turun. Sial, benar ancang-ancang nya untuk mundur sesaat sebelum berangkat menemui Dimas. Ia benar-benar sudah mencampur adukkan perasaan di permainan konyol nya ini.

Tolol banget sih lo, Cha! umpat nya dalam hati selagi kedua kaki nya terus berlari keluar dari gedung perkantoran itu. Lagi-lagi ia harus merutuk diri kala alam bawah sadar nya membawa kepala nya untuk melirik ke belakang. Tentu saja tak akan menemukan hal yang diharapkan nya.

Bodoh, mengharapkan apa yang tak mungkin didapatkan.

*

"Udah nangis nya, Cha."

"Ah gw tolol banget, Jen. Masih butuh pembuktian sakit hati beneran sebelum mundur dari permainan. Kenapa sih bisa beneran suka sama cowok yang baru gw temuin lima kali?! Mana cowok nya yang nggak bakal bisa didapetin lagi."

Jean mengelus bahu sahabat nya lembut, memberi semangat.

"Gw nggak pernah berencana jatuh cinta beneran padahal, Jen. Dia juga nggak pernah ngasih alasan untuk gw naruh hati. Tapi kenapa sakit nya beneran, Jen?" rengek Icha disela tangis yang sudah lama tidak luruh.

"Ya perasaan nggak mungkin sesuai rencana semua. Anggep aja pelajaran, Cha."

Icha terdiam. Setia dalam posisi berpangku tangan tanpa melepaskan pandangan dari minuman berperisa buah di hadapan nya.

"Lo nya udah bawa perasaan, jadi kalau pun berhasil jadi gandengan nya Dimas, tetep aja lo bakal berakhir di titik ini. Gw bukan nya nggak mau dukung lo, apalagi sekarang beneran suka yang arti nya lo bakal berhenti main-main. Tapi bagi gw, kemungkinan hubungan ini sukses tuh kecil, Cha. Nyaris nggak ada. Dimas tuh cowok dewasa. Kalau punya hubungan, pasti udah mikir ke arah pernikahan. Emang lo siap kalau dinikahin sekarang. Enggak kan? Ya udah, mulai sekarang jangan aneh-aneh lagi."

Jean menghela napas karena Icha yang tak memberi persetujuan. "Ayolah, cepetan move on. Ancang-ancang dapet undangan pernikahan."

"Ah, Jean bangsat," rengek Icha menanggapi candaan Jean. Namun seperti nya Jean tidak bermaksud untuk bercanda kali ini. Ia serius dengan ucapan nya.

"Dimas sampai ngebentak lo kayak tadi, ya cukup jelas lah arti nya apa, Cha."

Icha menggusar rambut nya. Tak berhenti di situ, jari-jari nya yang menyisir rambut kini dengan sengaja menjambak dan mengacak-acak rambut nya sendiri.

Ia marah sekali pada diri nya. Kenapa membiarkan diri merasa sakit hati dalam permainan yang ia ciptakan. Ambisi nya kemarin adalah untuk membuat Dimas yang patah hati setelah beberapa bulan ke depan ia perjuangkan. Kenapa malah jadi berbalik dalam hitungan minggu?!

"Cha, tapi pikir deh. Awal-awal lo mutusin ngejar Dimas itu spontan banget, dan baru tadi lo mikir untuk mundur karena takut suka beneran, tapi saat itu juga lo narik balik ambisi lo buat dilanjutin. Dan sekarang, saat belum ada kejelasan apa-apa soal fakta yang terjadi, lo udah benci dan nggak mau lagi berurusan sama Dimas. Kita tuh... terlalu payah, terlalu plin-plan ngadepin ini, Cha. Nggak ada dewasa-dewasa nya. Emang nggak akan berhasil kalau dipaksain sekarang."

Sesaat, Icha menatap Jean sebagai pembenaran atas simpulan itu. Tapi ya nama nya sedang patah hati, biar lah sekarang-sekarang ini ia lanjut bermellow dulu.

"Udah ah nangis nya. Udah jam lima, mau ujan juga. Balik yuk."

"Lo duluan aja gih."

Tentu Jean membujuk Icha lagi. Hujan, malam, sendirian, dan patah hati merupakan kombinasi sempurna untuk mendapati Icha dalam musibah setelah ini. Tapi dengan kondisi Icha yang ingin sendiri dan keharusan nya untuk pulang cepat, memaksa Jean menyetujui saran Icha tadi.

"Gw telpon Ipi aja ya? Nyusul lo ke sini." tawar Jean sebelum beranjak dan hanya ditanggapi gelengan oleh Icha.

Jean menghela napas nya pasrah, "Kalau gitu janji telpon gw ya kalau ada apa-apa."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel